Istilah al-qunut mempunyai berbagai makna: “menahan diri dari berbicara”, “doa dalam salat”, “merendahkan diri dan mengakui bahwa hubungan seseorang dengan Allah SWT merupakan hubungan antara makhluk dan penciptanya”, dan “berdiri”. Semua makna ini terdapat dalam kamus, tafsir ayat Al-Qur’an, dan hadis (terutama bab “salat”).
Kunut lebih banyak dikenal dalam arti “doa dalam salat”. Dalam hal ini hukum kunut adalah sunah. Akan tetapi, fukaha (ahli fikih) berbeda pendapat tentang batasan salat yang memakai kunut. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kunut hanya dilakukan dalam salat witir sebelum rukuk, dan Mazhab Hanbali berpendapat sesudah rukuk. Keduanya menyebutkan tidak ada kunut dalam salat lainnya.
Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa kunut dalam salat subuh dilakukan sesudah rukuk, tetapi Mazhab Maliki menambahkan bahwa lebih baik sebelum rukuk. Golongan yang disebut terakhir ini selanjutnya berpendapat bahwa hukum kunut di luar subuh adalah makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan, tetapi tidak berdosa apabila dikerjakan).
Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa hukum kunut dalam salat fardu yang dilaksanakan ketika kaum muslimin menghadapi suatu nazilah (kejadian atau peristiwa yang dihadapi kaum muslimin seperti ketakutan, kelaparan, dan wabah) adalah sunah atau disukai.
Mazhab Hanbali mengkhususkan kunut nazilah ini dalam salat subuh dan Mazhab Hanafi dalam salat jahriyyah (salat yang bacaannya dibacakan dengan keras), yaitu pada salat magrib, isya, dan subuh. Uraian secara terperinci adalah sebagai berikut.
Pertama, kunut witir atau subuh. Mazhab Hanafi mengatakan bahwa seseorang melakukan kunut dalam salat witir dengan cara bertakbir sesuai dengan qiraah (membaca ayat) dan mengangkat kedua tangannya seperti dalam takbir iftitah (pembukaan), kemudian meletakkan kedua tangannya di bawah pusar, lalu membaca kunut, dan selanjutnya rukuk.
Tidak ada kunut selain dalam salat witir, kecuali karena suatu nazilah dan itu dilakukan dalam salat jahriyyah. Adapun kunut Nabi SAW dalam salat fajar selama sebulan telah dihapuskan atau mansukh. Hukum kunut witir menurut mazhab ini, dengan mengutip pendapat Abu Hanifah (Imam Hanafi), adalah wajib dan dilakukan sebelum rukuk pada rakaat terakhir. Lama waktu yang dipergunakan untuk membaca kunut itu sama dengan waktu untuk membaca surah al-Insyiqaq.
Kunut dibaca imam dan diikuti makmum dengan suara ringan. Jika pada saat salat lupa tidak melakukan kunut sampai rukuk, kemudian ingat sesudah mengangkat kepala dari rukuk, tidak usah kembali untuk melakukannya.
Dengan demikian, kunut menjadi gugur, tetapi ia harus melakukan sujud sahwi atau sujud karena lupa pada akhir salat sebelum salam. Jika ia kembali dan melakukan kunut tanpa mengulang rukuk, salatnya tidak rusak karena rukuknya dilakukan setelah qiraah yang sempurna.
Makmum juga melakukan kunut witir. Jika imam yang diikutinya adalah seorang yang bermazhab Syafi‘i, ia melakukannya setelah rukuk. Jika seseorang baru menjadi makmum pada rukuk ketiga dari witir, secara hukum ia telah melakukan kunut dan tidak perlu melakukannya pada akhir salat.
Golongan ini selanjutnya berpendapat, apabila imam melakukan kunut dalam salat fajar, maka makmum, menurut Abu Hanifah, hendaknya diam tanpa mengikutinya. Akan tetapi menurut Abu Yusuf al-Qadi (Kufah, 113 H/731 M–182 H/798 M), ahli fikih dan hakim agung pada masa Khalifah al-Mahdi dan Khalifah Harun ar-Rasyid, makmum harus mengikutinya karena ia adalah pengikut imam.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa kunut sunah dilakukan hanya dalam salat subuh dan hukumnya makruh jika dilakukan dalam salat witir dan salat lainnya. Kunut lebih utama dilakukan sebelum rukuk dan boleh sesudahnya. Imam, makmum, dan munfarid (orang yang salat sendirian) melakukan kunut dengan sirr (tanpa suara) dan diperbolehkan mengangkat kedua tangan.
Adapun Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa kunut sunah dilakukan dalam iktidal (waktu tegak) pada rakaat kedua salat subuh. Imam melakukannya dengan lafal jamak (lafal yang menggunakan lafal ‘kami’ bukan ‘saya’ atau ‘aku’). Disunahkan membaca selawat atas Nabi SAW pada akhir kunut.
Dalam berdoa disunahkan menengadahkan kedua telapak tangan ketika memohon penolakan bala dan membalikkannya ketika memohon agar memperoleh sesuatu. Sesudah berdoa tidak perlu mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Memperlamakan kunut adalah makruh.
Kunut termasuk sunah ab‘ad (sunah yang menjadi bagian) dalam salat. Jika ditinggalkan, hendaknya seluruh atau sebagian diganti dengan sujud sahwi. Dengan demikian, imam bermazhab Hanafi akan meninggalkan kunut dan imam bermazhab Syafi‘i akan melakukan kunut. Artinya, orang yang bermazhab Hanafi tidak melakukan kunut dan yang bermazhab Syafi‘i melakukan kunut.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kunut sunah dilakukan dalam salat witir pada rakaat terakhir sesudah rukuk; hukumnya tidak sunah dalam salat subuh dan salat lainnya. Kunut dilakukan sambil mengangkat kedua tangan dan mengusap wajah sesudahnya dan dibaca dengan suara keras, baik oleh imam maupun seorang munfarid. Jika mendengar kunut, makmum cukup mengucapkan amin tanpa membaca kunut, tetapi jika tidak mendengar, makmum harus membacanya.
Kedua, kunut ketika menghadapi nazilah. Mazhab Hanafi, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab Hanbali mensyariatkan kunut karena menghadapi nazilah tidak secara mutlak. Menurut Mazhab Hanafi kunut dilakukan hanya dalam salat jahriyyah. Menurut golongan lain kunut dilaksanakan dalam seluruh salat wajib.
Menurut Mazhab Hanbali kunut dibaca dalam salat wajib kecuali salat Jumat, karena dalam salat Jumat cukup dengan doa dalam khotbah. Pembacaan doa kunut itu hendaknya dilakukan dengan suara keras. Jika tertinggal dalam salat, tidak disunahkan mengganti kunut dengan sujud sahwi, karena menurut golongan Syafi‘i, kunut ini tidak termasuk sunah ab‘ad.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Sabiq, as-Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1971.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Authar Syarh Muntaqa al-Ikhbar. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Hery Noer Aly