Istighasah

(Ar.: al-istigatsah)

Istighasah berasal dari kata Arab gatsa yang berarti “hujan”. Karena itu, istighasah bisa diartikan “minta hujan”. Arti lain istighasah adalah “memohon pertolongan atau ampunan Allah SWT atas segala dosa dan kesalahan”. Dalam struktur budaya Arab, hujan merupakan simbol keberkahan dan kemakmuran.

Dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad SAW berdoa agar Allah SWT memberikan hujan yang dapat menumbuhkan pohon dan biji-bijian. Imam Nawawi al-Bantani (atau Syekh Nawawi al-Jawi; 1813–1897), seorang ulama besar dari Banten yang menetap di Mekah, memberi judul salah satu karyanya Qathr al-Ga’its (Tetesan Hujan) dengan harapan agar bukunya tersebut menjadi “tetesan hujan” yang menenteramkan hati pembacanya.

Arti lain istighasah adalah minta tolong atau minta ampun. Bagaikan hujan ampunan Tuhan menyirami bumi yang gersang.

Pengertian istighasah semacam ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam Islam. Tuhan sering kali disebut al-Mugits (Yang Memberi Pertolongan) atau bisa diartikan “Yang Menurunkan Hujan”. Adapun orang yang meminta pertolongan disebut mustagits.

Dalam bahasa Arab, istigatsah dikenal sebagai sebuah frasa yang menggambarkan seseorang meminta tolong. sigatnya dibentuk dengan cara menambahkan lam (huruf jar) kepada sebuah isim (kata benda), namun lam tersebut diberi harakat fathah yang didahului huruf ya nida’, misalnya ya lal murtada (wahai murtada), dan seterusnya.

Pada saat tarekat mengalami zaman keemasan, banyak terdapat aliran yang senantiasa memanjatkan doa secara bersama-sama bahkan massal. Jumlah mereka bisa ribuan bahkan puluhan ribu orang. Acara ini disebut istighasah, yang dipimpin oleh seorang syekh atau ulama yang sangat senior.

Biasanya istighasah dilaksanakan di tempat terbuka. Dalam acara ini mereka membacakan doa yang sudah ma’tsur (doa yang berasal dari Nabi SAW) atau doa yang dikarang ulama tertentu. Di samping itu, mereka juga membaca ayat Al-Qur’an dan selawat kepada Nabi SAW. Inilah sebenarnya acara inti istighasah, namun karena diadakan secara massal dan dalam festival, fenomena ini menjadi menarik.

Di Indonesia istighasah sering kali dilakukan oleh kalangan umat Islam dari Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan bisa dikatakan NU-lah yang memopulerkan istighasah di Indonesia. Sebelumnya istighasah hanya dilakukan oleh kalangan tertentu dengan peserta yang sangat terbatas.

Tarekat Naqsyabandiyah-Kadiriyah, baik cabang Suryalaya (Tasikmalaya) yang dipimpin oleh Syekh Abah Anom, maupun cabang Pesantren Peterongan Rejoso (Kediri) yang dipimpin KH Mustain Ramli, sering kali mengadakan doa bersama secara massal.

Namun, mereka tidak menamakan acaranya dengan istighasah, melainkan khataman atau haulan. Dalam acara ini jumlah jemaah yang berkumpul bisa mencapai puluhan ribu orang. Meskipun demikian, pada prinsipnya khataman, haulan, dan istighasah, sama saja, yaitu memanjatkan doa kepada Allah SWT.

Tidak ada informasi, apakah kelompok Islam lain juga suka mengadakan istighasah. Yang jelas pada mulanya istighasah adalah praktek doa dan zikir kaum tarekat yang kemudian diambil alih oleh masyarakat Islam biasa. Kini, hal tersebut bisa dilakukan oleh siapa saja. Hanya saja istilahnya berbeda-beda, ada yang menyebutnya doa bersama, tabligh akbar, atau istighasah.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Muhammad. Minhaj al-‘abidin. t.tp: Syirkah Nur Asia, t.t.

al-Makki, Sayyid Bakri. Kifayah al-Atqiya’ ila thariq al-Auliya’. Surabaya: Maktabah Ahmad bin Dahlan wa Auladuhu, t.t.

ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pedoman Dzikir dan Doa. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Ahmadie Thaha