Hizbullah adalah barisan semi-militer pemuda muslim sebagai cadangan Pembela Tanah Air (Peta). Hizbullah didirikan atas dasar Islam untuk menjunjung perintah Islam, menginsafkan umat Islam, dan membulatkan tenaga membela tanah air di jalan Allah SWT. Diharapkan, barisan Hizbullah ini menjadi teladan bagi umat dan membantu terciptanya kemakmuran bersama di Asia Timur Raya dan mencapai Indonesia merdeka.
Hizbullah didirikan oleh Masyumi 4 Desember 1944. Cikal bakalnya berasal dari pesantren Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari Masyumi, bahkan menjadi milik umat Islam. Berdirinya Hizbullah tidak terlepas dari sikap Jepang terhadap bangsa Indonesia yang melihat peranan agama cukup dominan di kalangan penduduk pribumi.
Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, Jepang membentuk beberapa lembaga keagamaan seperti Shumubu (semacam kantor urusan agama) dan Shumuka yang terutama bertugas untuk mengurus hal yang antara lain bertalian dengan perkawinan, perceraian, dan pengurusan zakat. Pembentukan lembaga ini tidak terlepas dari upaya penaklukan Jepang di wilayah Pasifik Selatan.
Politik Jepang yang demikian itu lebih jauh tercermin dari usahanya mengirim beberapa orang mahasiswa Jepang untuk mempelajari Islam di Timur Tengah dan membentuk Persatuan Islam Jepang di Tokyo. Pada 1938 perkumpulan ini mengadakan Konferensi Dunia Islam di Tokyo.
Untuk kalangan pemuda, Jepang mendirikan beberapa perkumpulan, seperti Pusat Tenaga Rakyat (Putera), Peta, Fujinkai, Keibodan, Seinendan, dan Hookokai. Para pemuda diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam organisasi tersebut. Akan tetapi tujuan utama Jepang adalah menyatukan pemuda supaya mudah dikomandokan dalam rangka menaklukkan Asia di bawah kekuasaan Jepang.
Lebih dari itu Jepang juga mengirim beberapa ekspedisi dari kalangan pemuda dan rakyat yang masuk dalam organisasi tersebut ke beberapa perusahaan Jepang di Indonesia, seperti di Kalimantan dan Sumatera. Para pemuda yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren, madrasah, dan agama dijadikan Jepang sebagai pendorong berdirinya barisan Hizbullah.
Hizbullah berpusat di Jakarta dengan susunan pengurus yang ditetapkan pada Februari 1945 sebagai berikut: Zainul Arifin (ketua); Mr. Mohamad Roem (ketua muda); S. Surawijono dan Sujono (urusan umum); Anwar Tjokroaminoto, KH Imam Zarkasyi, dan Mashudi (urusan propaganda); Sunaryo Mangunpuspito, Mr. Yusuf Wibisono, dan Muhammad Djunaidi (urusan rencana); dan RHO Djunaidi dan Prawoto Mangkusasmito (urusan keuangan). Meskipun pendirian Hizbullah dibayangi kehendak Jepang, para pemuda Indonesia cukup banyak mendapat manfaat, terutama dalam latihan kemiliteran.
Hizbullah sebagai barisan pemuda yang dibentuk khusus bagi para pemuda Islam menerima anggotanya hanya dari kalangan pemuda yang berlatar belakang pendidikan pesantren, madrasah, dan keagamaan, berumur antara 17–25 tahun, berbadan sehat, belum beristri, dan mendapat izin dari orangtua/wali.
Dalam struktur kepemimpinan Hizbullah, pimpinan tertinggi berada pada pimpinan pusat yang berkedudukan di Jakarta dan di bawahnya ada pimpinan daerah. Pimpinan pusat bertugas mengkoordinasi pimpinan daerah.
Pada 28 Februari 1945 dibuka pusat latihan Hizbullah di Cibarusa (Jawa Barat) oleh Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang). Latihan diikuti 500 pemuda Islam dari berbagai kota di Jawa. Latihan difokuskan pada latihan kemiliteran dan pendidikan keagamaan. Latihan kemiliteran dikoordinasi kapten Yanagawa dan dibantu 20 personel Cudancho (komandan kompi) yang beragama Islam.
Dalam kesempatan itu para pemuda dilatih dalam hal: (1) pencegahan serangan udara dan bahaya kebakaran serta melindungi penduduk dan membasmi mata-mata musuh; (2) pengerahan tenaga pada waktu genting; dan (3) latihan keprajuritan secara lengkap. Adapun latihan keagamaan dipimpin ulama yang diambil dari organisasi Islam yang ada ketika itu. Latihan diarahkan untuk:
(a) mempertebal semangat keislaman, seperti tauhid, hukum Islam, dan akhlak;
(b) mendidik semangat Nippon;
(c) mempertinggi solidaritas agar secara sukarela mengerjakan berbagai kepentingan umum dan mengerjakan amal ibadah yang telah ditentukan; dan
(d) menebalkan dan membangkitkan semangat kerja dengan membuktikannya dalam perbuatan nyata.
Latihan tersebut dilaksanakan selama 3 bulan dan ditutup di Jakarta (20 Mei 1945) oleh KH Abdul Wahid Hasyim, ketua Masyumi, dan dihadiri Soomobutyoo/Somubuco (istilah untuk tokoh di Jepang) dan anggota Masyumi yang ada di Jawa. Para pemuda yang telah dilatih itu kemudian kembali ke daerah masing-masing dan mendirikan barisan Hizbullah di daerahnya.
Kontribusi para anggota Hizbullah cukup besar dalam melucuti senjata Jepang dan sebagai kader perjuangan bangsa selanjutnya, terutama di Jawa. Ketika terbentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945, banyak anggota Hizbullah yang memasuki badan ini.
Demikian pula ketika pemerintah Indonesia menyerukan para pemuda mantan anggota Peta, Heiho, Gyu Gun, KNIL, dan lain-lain untuk bergabung menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 9 Oktober 1945; banyak pula di antara anggota Hizbullah yang ikut bergabung. Malahan di Yogyakarta satu battalion Hizbullah menjadi batalion dari 25 resimen dan 22 divisi III TKR di bawah komandan Mayor A. Basuni. Para anggota Hizbullah yang tidak masuk BKR/TKR terus berjuang di bawah naungan Masyumi.
Di Jawa, barisan Hizbullah memegang peranan penting dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Jawa Barat, Zainul Bachri dan Syamsul Bahri masing-masing memimpin satu divisi barisan Hizbullah.
Tokoh Hizbullah yang cukup terkenal meliputi antara lain Huseinsyah, Qodar Sholihat, H Djunaidi, Kamran Gofur, Zainal Abidin, Syahbandar, Mochtar, Aminuddin Hamzah, Palar Sofyan, Sholeh Iskandar, dan Damanhuri.
Mereka dan anggota lainnya bekerjasama dengan TKR mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut Belanda. Oleh karena itu wajarlah jika pada 1946 banyak di antara anggota Hizbullah yang bergabung dengan Divisi Siliwangi, seperti Batalion V Hizbullah yang masuk ke Brigade I Tirtayasa, Divisi I Siliwangi.
Di Jawa Tengah Hizbullah cukup aktif dalam mempertahankan kemerdekaan, terutama barisan Hizbullah di Banyumas, Kedu, Semarang, Pekalongan, Pati, Yogyakarta, dan Surakarta. Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) terbentuk pada 3 Juni 1947, sebagian besar barisan Hizbullah Jawa Tengah menggabungkan diri ke dalam TNI.
Satu batalion Hizbullah Yogyakarta bergabung dengan Divisi III Diponegoro. Satu resimen Hizbullah Surakarta masuk ke Divisi IV Senopati. Demikian pula satu batalion Hizbullah Pati bergabung dengan Divisi Ronggolawe.
Barisan Hizbullah Jawa Timur yang bermarkas di Malang cukup berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tokoh seperti Zainal Arifin, Wahib Wahab, Abdullah Siddiq, dan Masykur mempunyai peranan penting dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mereka bekerjasama dengan Angkatan Laut RI, Pesindon, dan BPRI (Badan Perjoangan Rakyat Indonesia) dalam mempertahankan pangkalan VII yang membujur pada wilayah Gempol sampai muara Kali Brantas di bawah komando Letkol Abdul Latif.
Lapangan usaha Hizbullah mencakup: (1) kegiatan yang disumbangkan untuk penyelesaian peperangan sebagai cadangan bagi tentara Peta dan (2) kegiatan yang ditujukan ke arah pembentukan masyarakat baru sebagai hamba Allah SWT yang taat berbakti. Hizbullah sebagai cadangan tentara Peta berupaya untuk: melatih diri, jasmani dan rohani; menjaga bahaya udara; mengintai mata-mata musuh; dan menguatkan usaha untuk kepentingan peperangan.
Sebagai seorang muslim, anggota Hizbullah giat membentuk masyarakat baru dengan usaha menyiarkan ajaran Islam, memimpin umat agar taat menjalankan ajaran Islam, dan membela agama serta umat Islam Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Ben. Java in a Time of Revolution and Resistance: 1944–1946. New York: Cornell University, 1972.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Pendudukan Jepang 1942–1945, terj. Jakarta: Pustaka Jaya, 1985.
Ma’arif, A. Syafi‘i. Islam dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: IAIN Suka, 1988.
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Yunasril Ali