Hijrah

(Ar.: al-Hijrah)

Secara kebahasaan, al-hijrah berarti “berpindah”, “meninggalkan”, “berpaling”, dan “tidak mempedulikan lagi”. Dalam terminologi Islam, al-hijrah mempunyai beberapa pengertian: (1) kaum muslimin meninggalkan negeri asalnya yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan kafir, (2) menjauhkan diri dari dosa, dan (3) permulaan tarikh Islam.

Hijrah dalam sejarah Islam biasanya dihubungkan dengan kepindahan Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah. Dalam hubungan ini, hijrah berarti “berkorban karena Allah SWT”, yaitu memutuskan hubungan dengan yang paling dekat dan dicintai demi tegaknya kebenaran dengan jalan berpindah dari kampung halaman ke negeri lain. Hijrah seperti ini telah menjadi pusaka para rasul sebelum Nabi Muhammad SAW dan terbukti telah menjadi prelude (babak pendahuluan) bagi kebangkitan perjuangan para rasul.

Sejarah. Dalam melaksanakan tugas kerasulannya di Mekah, Nabi Muhammad SAW berhadapan dengan masyarakat jahiliah, masyarakat pemeluk nilai warisan Nabi Ibrahim AS yang telah mereka simpangkan dari bentuk yang sebenarnya. Inti warisan itu adalah ajaran pengesaan Allah SWT (tauhid Allah).

Pada masa itu, penyembahan terhadap berhala dan perbuatan syirik lainnya telah merusak ajaran tauhid. Nama Allah SWT, meskipun masih ada dalam kepercayaan mereka, telah tenggelam dalam nama dan sembahan lainnya. Kepercayaan semacam ini telah mengundang banyak pemeluknya untuk datang ke Ka’bah untuk menunaikan ibadah haji sambil berdagang, sehingga Mekah menjadi pusat perdagangan yang ramai oleh para pengunjung.

Suku Quraisy, terutama para penguasa dan pemukanya, menjadi kaya. Akhirnya, Ka’bah dan kepercayaan dipandang sebagai sumber utama kekayaan mereka. Oleh sebab itu, ketika Nabi Muhammad SAW memulai tugasnya dengan menekankan aspek keesaan Allah SWT, mereka segera membangkitkan sikap permusuhan terhadapnya.

Sikap permusuhan orang Quraisy yang semula berbentuk cemoohan dan serangan verbal lainnya berkembang dan meningkat menjadi pengejaran dan penganiayaan secara kasar dan keras. Akar penentangan ini datang dari keluarga Umayah dari suku Quraisy. Ketika melihat kondisi di Mekah memburuk, Nabi Muhammad SAW mengizinkan sebagian pengikutnya untuk mencari perlindungan di negeri Abessinia (Ethiopia) yang penduduknya beragama Nasrani dan rajanya bernama Najasyi (Negus) yang dikenal adil dan bijaksana.

Kematian istri Nabi SAW, Khadijah, dan pamannya, Abi Thalib, pada saat yang hampir bersamaan, yakni tahun ke-10 dari kenabian, membuat kehidupan dan ruang gerak Nabi SAW menjadi semakin sempit, sehingga tahun itu dikenal sebagai ‘Am al-huzn (tahun dukacita). Kelapangan diharapkan datang dari negeri Ta’if (kurang lebih 65 km dari Mekah) yang dipimpin kerabatnya dari Bani Saqif.

Akan tetapi, ketika Nabi SAW berkunjung ke negeri itu, penduduknya melemparinya dengan batu yang membuatnya terluka. Nabi SAW yang ketika itu disertai Zaid bin Harisah memutuskan untuk kembali ke Mekah setelah mendapat jaminan perlindungan dari Mut‘im bin Adi.

Peristiwa Isra dan Mikraj telah memberikan penawar hati bagi Nabi SAW. Segala penderitaan yang diterima dari kaumnya bukan karena Allah SWT telah meninggalkan atau memurkainya, tetapi merupakan sunatullah, yaitu sunah dakwah islamiah bagi orang yang mencintai dan dicintai Allah SWT. Peristiwa ini, di samping menjadi ujian keimanan bagi para pengikutnya, juga sekaligus mengandung mandat baginya untuk melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah.

Pada tahun ke-11 kenabian, persiapan untuk mengembangkan Islam di Yatsrib (sekarang Madinah) memasuki babak permulaan. Pada musim haji, ketika duduk di dekat Aqabah (bukit atau tugu batu antara Mina dan Mekah) Nabi SAW bertemu dengan enam orang dari Suku Khazraj. Setelah mendengarkan ajaran dan seruan dari Nabi SAW, mereka menyatakan diri memeluk Islam.

Pada tahun ke-12 kenabian, datang dua belas orang lainnya (10 orang Khazraj dan 2 orang Aus). Pengislaman keenam orang yang belum masuk Islam di antara mereka diikuti dengan perjanjian kesetiaan terhadap Islam yang dikenal dengan nama Bai‘at al-‘Aqabah (Perjanjian Aqabah I). Kepulangan mereka ke Yatsrib disertai Mus‘ab bin Umair yang ditugasi Nabi SAW untuk mengajarkan Al-Qur’an dan ajaran Islam kepada penduduk Yatsrib.

Pada musim haji tahun ke-12 kenabian, Mus‘ab mengantar muslimin Yatsrib bersama sejumlah besar orang yang masih musyrik. Pengislaman mereka diikuti dengan perjanjian kesetiaan Bai‘at al-‘Aqabah (Perjanjian Aqabah II) yang isinya tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Perjanjian ini diikuti 75 orang. Mereka berjanji untuk berjihad dan melindungi Nabi SAW dengan segala kemampuan. Di samping itu, mereka juga menunjukkan keinginan yang besar agar Nabi SAW berhijrah ke Yatsrib.

Setelah Perjanjian Aqabah II, Nabi SAW mengizinkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Yatsrib, sedangkan ia sendiri tinggal menunggu perintah dari Allah SWT. Kaum muslimin mulai melakukan hijrah dalam jumlah besar secara bergelombang, sementara sejumlah besar lainnya bertahan di Mekah untuk beberapa waktu karena miskin dan kekurangan bekal (QS.4:75).

Peristiwa ini membuat orang kafir Mekah menjadi marah. Apalagi ketika mereka mendengar berita tentang turunnya wahyu yang mengizinkan Nabi SAW dan kaum muslimin berperang melawan musuh mereka (QS.22:39–40). Maka ketika mendengar berita tentang kemungkinan berhijrahnya Nabi SAW, mereka segera menyusun rencana untuk membunuhnya. Akan tetapi, Nabi SAW telah mendapat wahyu (QS.8:30).

Sesuai dengan rencana yang telah diatur para pemimpin Quraisy dalam pertemuan di Darun Nadwah, para kepala suku diharuskan berpartisipasi di dalam pembunuhan terhadap Nabi SAW, agar Bani Hasyim tidak mampu melawan mereka semua. Pada saat yang telah ditentukan mereka mengelilingi rumah Nabi SAW dan menunggu sampai Nabi SAW keluar.

Akan tetapi, Nabi SAW telah mendapat informasi tentang bahaya itu dan telah diperintahkan untuk berjaga-jaga pada malam itu dan selanjutnya berhijrah ke Yatsrib. Maka Nabi SAW memberi kepercayaan kepada Ali bin Abi Thalib untuk menempati tempat tidurnya.

Setelah mengatur segalanya, Nabi SAW keluar dari rumah seraya membaca surah Yasin. Ini adalah bukti keimanan yang dalam kepada Allah SWT dan keberanian yang luar biasa, yang dipertunjukkan olehnya ketika meninggalkan rumah melalui kerumunan orang yang haus darah. Allah SWT telah membuat mata mereka tidak melihat, sekalipun mereka berjaga-jaga sepanjang malam. Ketika fajar tiba, mereka segera masuk menyerbu rumah.

Akan tetapi, mereka terkejut ketika melihat bahwa orang di tempat tidur itu adalah Ali RA. Dengan kesal orang Quraisy segera menyebarkan para algojonya untuk melacak jejak Nabi SAW seraya menjanjikan hadiah seratus unta bagi siapa pun yang berhasil menangkapnya.

Dalam pada itu, setelah keluar dari rumahnya, Nabi SAW pergi menemui Abu Bakar as-Siddiq dan memberitahukan apa yang dikehendaki Allah SWT. Maka Abu Bakar RA mempersiapkan dua ekor unta dan meminta putri sulungnya, Asma, mempersiapkan perbekalan bagi kepergian mereka.

Selanjutnya mereka bersembunyi di Gua Sur (sekitar 3 mil dari Mekah). Mereka tinggal di gua selama 3 hari 3 malam. Sementara itu, para penyelidik sempat sampai ke mulut gua, sehingga Abu Bakar RA merasa ketakutan. Akan tetapi, Nabi SAW menenteramkannya seraya berkata, “Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita” (QS.9:40).

Pada malam keempat mereka keluar dari gua dan menyewa seorang kafir yang dapat dipercaya, Abdullah bin Uraiqit, sebagai penunjuk jalan. Perjalanan dilakukan hanya di malam hari dan menghindar dari jalan umum. Selama dalam perjalanan, Abu Bakar melihat kegembiraan Nabi SAW, meskipun mereka hampir tertangkap Suraqah bin Malik yang tergiur oleh hadiah 100 unta.

Penduduk Yatsrib telah mendengar berita tentang perginya Nabi SAW dari Mekah dan tidak sabar menunggu kedatangannya. Setiap hari mereka keluar dari kota untuk memberinya penyambutan yang hangat. Akhirnya, Nabi SAW tiba di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Quba (dekat Yatsrib) pada Senin, 8 Rabiulawal 13/20 September 622, setelah 7 hari di perjalanan.

Di tempat ini dia menetap selama 4 hari dan membangun masjid yang dilukiskan dalam Al-Qur’an sebagai berikut: “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (Masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang membersihkan diri” (QS.9:108).

Pada Jumat, 12 Rabiulawal 13/24 September 622, Nabi SAW meninggalkan Quba dan tiba di Yatsrib. Di tengah perjalanan, di Bani Salim, Nabi SAW mengadakan salat Jumat yang diimaminya. Inilah salat Jumat yang pertama dalam sejarah Islam. Seusai melaksanakan salat, Nabi SAW melanjutkan perjalanan menuju Yatsrib.

Nabi SAW disambut Bani Najjar, suku perkotaan yang terkenal dan mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi SAW dari garis ibu. Setiap orang merasa senang dan gembira menyambutnya. Di antara mereka ada yang menaiki pohon, atap rumah, dan tempat tinggi.

Setiap orang dalam kota memohon untuk menjadi tuan rumah bagi tamu agung ini. Akan tetapi, karena sulit untuk menentukan tempat tinggal, Nabi SAW membiarkan untanya berjalan seraya berkata kepada penduduk, bahwa ia akan tinggal di rumah tempat unta itu berhenti.

Keberuntungan jatuh pada Abu Ayyub al-Ansari karena unta berhenti dan berlutut tepat di depan rumahnya, di tanah kosong milik dua anak yatim, yakni Sahl dan Suhail. Di tanah kosong itu beliau membangun Masjid Nabawi. Abu Ayyub merasa sangat gembira. Ia mempunyai rumah bertingkat dua dan tingkat paling atas ditawarkannya kepada Nabi SAW. Akan tetapi, Nabi SAW lebih menyukai lantai bawah agar memudahkannya menerima tamu.

Di samping itu, Abu Ayyub menyediakan segala kemudahan bagi Nabi SAW yang tinggal di rumahnya selama 7 bulan. Selanjutnya Nabi SAW memanggil anggota keluarganya istrinya, Saudah, kedua putrinya, Fatimah dan Ummu Kalsum melalui anak angkatnya, Zaid, dan seorang budak, Abu Rafi‘. Sejak saat itu Nabi SAW tinggal di Yatsrib yang namanya diubah menjadi Madinah an-Nabi atau Madinah al-Munawwarah.

Pekerjaan pertama yang dilakukan Nabi SAW di Madinah adalah membangun landasan utama bagi terbentuknya masyarakat (negara) yang baru:

(1) membangun masjid sebagai pusat kegiatan rohaniah, pusat pemerintahan, dan kegiatan lainnya;

(2) mempersaudarakan seluruh kaum muslimin, khususnya antara orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah (disebut Muhajirin), dan orang muslim penduduk asli Madinah yang menolong perjuangan Islam (disebut Ansar); dan

(3) menyusun dustur (undang-undang dasar) yang mengatur kehidupan kaum muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan kaum lainnya, khususnya kaum Yahudi.

Dengan demikian, hijrah menandai berakhirnya masa pra-Islam yang disebut masa jahiliah, serta merupakan titik balik bagi keberuntungan Nabi Muhammad SAW dan babak baru dalam sejarah pergerakan Islam. Dengan berdirinya sebuah masyarakat (negara) islami di Madinah, Islam kini mencapai keluhuran dan keagungan rohani dengan dimensi yang tak terduga sebelumnya.

Tarikh. Pengagungan kaum muslimin terhadap peristiwa hijrah terlihat pada pengadopsiannya sebagai permulaan kalender Islam yang dilembagakan 17 tahun kemudian oleh Khalifah Umar bin Khattab. Perhitungannya didasarkan atas peredaran bulan kamariah (Ar.: qamariyyah) yang rata-rata satu tahun berlangsung selama 354 hari.

Bulan kamariah dengan durasi (lamanya) adalah Muharam (30 hari), Safar (29), Rabiulawal (30), Rabiulakhir (29), Jumadilawal (30), Jumadilakhir (29), Rajab (30), Syakban (29), Ramadan (29), Syawal (30), Zulkaidah (29), dan Zulhijah (30). Karena 1 tahun kamariah lebih pendek 11 hari dibanding dengan 1 tahun syamsiah (menurut perhitungan matahari), untuk sama dengan 33 tahun syamsiah, tahun kamariah memakan waktu kurang lebih 34 tahun. Dengan demikian, ada perbedaan kira-kira 3 tahun antara 1 abad kamariah dan 1 abad syamsiah.

Meskipun awal Muharam dipandang sebagai permulaan tahun baru Hijriah, permulaan hijrah Nabi SAW sendiri sesungguhnya jatuh pada tanggal 2 (4) Rabiulawal 13 kenabian/14 (16) September 622, bukan pada awal Muharam yang ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622. Antara permulaan hijrah Nabi SAW dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 62 atau 64 hari, dan antara keduanya terdapat bulan Safar.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Khan, Madjid. Muhammad, The Final Messenger. New Delhi: Idarat Adabi, 1980.
Ali, Syed Ameer, A Short History of the Saracens. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
al-Attas, Syed Muhammad Naquib. “Hijrah: Apa Artinya?,” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Fiqh as-Sirah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Esposito, John L. Islam the Straight Path. New York: Oxford University Press, 1988.
Haekal, Muhammad Husain. Hayah Muhammad. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1971.
Hughes, Thomas Patrick. Dictionary of Islam. New Delhi: Cosmos Publications, 1986.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: al-Halabi, 1936.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.

Hery Noer Aly