Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah adalah seorang ahli hukum Islam sekaligus hukum adat Indonesia pertama dari kalangan putra Indonesia. Ia termasuk salah seorang nasionalis dan intelektual muslim Indonesia yang berpendidikan Barat (Belanda). Nama lengkapnya adalah Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah Harahap.
Hazairin Gelar Pangeran Alamsyah adalah putra Zakaria Bahari, seorang guru sekolah rakyat; kakeknya bernama Ahmad Bakar, seorang ulama dan mubalig dari Bengkulu. Pendidikan agama sudah diperoleh Hazairin sejak kecil di lingkungan keluarga. Pendidikan agama ini lah yang membentuk sikap keagamaannya yang demikian kuat dalam perjalanan karier dan hidupnya serta mewarnai pemikirannya meskipun secara formal ia banyak menuntut ilmu di lembaga pendidikan Hindia Belanda.
Hazairin menjalani pendidikan formal pertama di HIS (Hollands Inlandsche School) di Bengkulu dan tamat pada 1920; lalu melanjutkan pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Padang dan tamat pada 1924; kemudian meneruskannya lagi ke AMS (Algemene Middlebare School) di Bandung dan tamat 1927.
Ia melanjutkan pendidikannya di Rechtskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (kini, Jakarta) dan lulus serta meraih gelar doktor di bidang hukum adat pada 29 Mei 1936 setelah mempertahankan disertasinya dengan judul De Redjang.
Sejak 1935 sampai 1938 Hazairin menjadi asisten dosen pada almamaternya dalam mata kuliah hukum adat dan antropologi. Tiga tahun setelah lulus ujian sampai datangnya Jepang, Hazairin ditugaskan pemerintah Hindia Belanda di Pengadilan Negeri Padangsidempuan dengan tugas tambahan sebagai peneliti hukum adat Tapanuli Selatan. Karena pengetahuannya yang luas tentang hukum adat setempat, masyarakat Tapanuli Selatan memberinya gelar “Pangeran Alamsyah Harahap”.
Pada masa pendudukan Jepang, yaitu 1945, Hazairin pernah menjadi anggota Gerakan Pemuda Bawah Tanah, suatu organisasi rahasia di kalangan pemuda pergerakan yang bertujuan mengusir penjajah dari tanah air. Anggotanya terdiri dari para pemuda, baik yang bergabung dalam Peta (Pembela Tanah Air) ataupun bukan.
Pada masa perang kemerdekaan antara 1945–1949 Hazairin bergabung dengan Tentara Pelajar. Pada 1946 ia menjadi komandan Brigade Tentara Pelajar di Kalimantan. Pada tahun itu juga ia menjadi bupati Sibolga. Pada 1946–1950 ia diangkat pemerintah Republik Indonesia menjadi residen Bengkulu sekaligus menjadi wakil gubernur militer Sumatera Selatan sampai 1953. Pada 1953
Hazairin diangkat menjadi pegawai tinggi yang bertugas sebagai kepala bagian hukum perdata Kementerian Kehakiman. Setahun kemudian, dari Agustus 1953 sampai Oktober 1954, ia diangkat menjadi menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Ali Sostroamidjojo-Wongsosuseno-Muhamad Roem.
Sebagai aktivis politik, pada 1948 ia ikut mendirikan partai Persatuan Indonesia Raya (PIR), pecahan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), yang kemudian diketuai Wongsonegoro dan Hazairin duduk sebagai wakil ketua I. Di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara sebelum diadakan pemilu pertama, PIR mempunyai tiga orang wakil, yaitu Wongsonegoro, Roosseno, dan Hazairin sendiri.
Dalam kedudukannya sebagai salah seorang pemimpim PIR itulah ia duduk dalam Kabinet Ali-Wongso-Roem sebagai menteri Dalam Negeri, dengan tugas utama mempersiapkan pemilihan umum pertama. Pemilihan umum terlaksana pada 1955 setelah Hazairin tidak lagi menjabat menteri Dalam Negeri.
Dalam pemilu pertama tersebut PIR mengalami kekalahan total. Salah satu penyebab kekalahannya adalah pecahnya PIR menjadi dua, beberapa tahun sebelum pemilu tersebut, sehingga ada PIR Hazairin/ Tajuddin Noor dan ada PIR Wongsonegoro.
Sampai 1959 Hazairin berstatus sebagai pegawai tinggi Kementerian Kehakiman. Pada tahun yang sama ia dipindahkan ke Kementerian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan sebagai guru besar hukum adat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Di samping itu ia juga mengajar di Akademi Hukum Militer, Pendidikan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan Universitas Islam Jakarta (UIJ).
Pada 1950 Hazairin bersama teman-temannya mendirikan Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam. Dari yayasan inilah lahir Universitas Islam Jakarta. Sebagai pendiri dan ketua yayasan tersebut, pada tahun itu juga Hazairin diangkat sebagai rektor pertama universitas tersebut sampai 1960. Sejak 1960 sampai akhir hayatnya, Hazairin tercatat sebagai anggota dewan kurator Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (kini: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Pemikirannya tertuang dalam publikasi ilmiah di berbagai media massa, jurnal, dan buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia, Belanda, dan Perancis. Karya monumentalnya tidak kurang dari 17 buku, antara lain De Redjang (disertasi doktoral) dalam bahasa Belanda, ditulis 1936; De Gevolgen van de Huwelijksontbinding in Zuid Tapanuli (Akibat Perceraian Perkawinan di Tapanuli Selatan), hasil penelitiannya semasa bertugas menjadi penyelidik hukum adat Tapanuli, 1941; Le Droit Sur Le Sol en Indonesia (Hukum tentang Pertanahan di Indonesia), Belgia, 1952;
Indonesia Satu Masjid, Jakarta, 1952; Pergolakan Penyesuaian Adat kepada Hukum Islam, Jakarta, 1952; Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta, tanpa tahun; Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Jakarta, 1958; Hendak ke Mana Hukum Islam, Jakarta, 1960; Hadis Kewarisan Bilateral, Jakarta, 1962; Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta, 1962; Isa al-Masih dan Roh, Jakarta, 1969; Demokrasi Pancasila, Jakarta, 1970; dan Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta, 1973.
Meskipun mendapat pendidikan ilmu hukum di lembaga pendidikan Barat yang sekuler, Hazairin juga secara autodidak mempelajari hukum Islam. Pemikirannya, khususnya dalam bidang hukum, selalu dikembalikan kepada sumber ajaran agama yang dianutnya, Al-Qur’an dan hadis. Pemikirannya itu muncul bukan saja karena ia seorang muslim yang taat, tetapi juga atas dasar kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia menganut agama Islam.
Di antara pemikirannya yang paling terkenal adalah serangannya terhadap teori receptie yang dikembangkan ahli hukum Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje dan Lodewijk William van den Berg sampai gurunya sendiri van Vollenhoven. Menurut teori receptie, hukum Islam yang berlaku di Indonesia hanyalah hukum Islam yang sudah diterima sebagai hukum adat.
Teori ini cukup banyak berpengaruh di kalangan sarjana hukum Indonesia, termasuk sarjana hukum muslim. Hazairin memperingatkan mereka dengan mengatakan bahwa teori receptie adalah “teori iblis”, teori yang memusuhi berlakunya hukum Tuhan di bumi Indonesia. Bagi Hazairin, hukum Islam harus diberlakukan bagi orang Islam, baik sudah menjadi hukum adat atau belum.
Dalam karyanya, Hazairin menganjurkan umat Islam Indonesia agar berijtihad, menggali hukum Islam secara langsung dari sumbernya, menuju pembentukan mazhab baru yang sesuai dengan kondisi sosiokultural khas masyarakat Indonesia, dan tidak bertaklid kepada suatu pendapat atau mazhab. Sebagai contoh, Hazairin mengemukakan teori tentang hukum waris, yang dituangkannya dalam buku Hukum Kewarisan Bilateral.
Dalam bukunya tersebut antara lain Hazairin mengatakan bahwa sistem kemasyarakatan yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah sistem kemasyarakatan bilateral. Ia merujuk surah an-Nisa’ (4) ayat 23 dan 24. Oleh sebab itu, menurutnya, sistem kewarisan yang ada dalam Al-Qur’an adalah sistem kewarisan bilateral. Pendapat Hazairin ini berbeda dengan pendapat ulama yang terdapat dalam kitab kuning yang sudah dikenal secara luas di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang merumuskan sistem kewarisan bercorak patrilineal.
Adanya istilah “Fikih Indonesia”, adanya “Kompilasi Hukum Indonesia”, dan terbentuknya “Sistem Peradilan Agama” di Indonesia secara historis tidak terlepas dari rangkaian sejarah, dan Hazairin merupakan salah seorang yang ikut berperan di dalamnya.
Hazairin wafat dan dikebumikan dalam suatu upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasanya, pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya Satyalancana Widya Satia, Bintang Gerilya, dan Bintang Bhayangkara.
DAFTAR PUSTAKA
Hazairin. Hadis Kewarisan Bilateral. Jakarta: t.p., 1962.
_______. Hendak ke Mana Hukum Islam. Jakarta: Tinta Mas, 1976.
_______. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadis. Jakarta: Tintamas, 1982.
_______. Pergolakan Penyesuaian Hukum Islam dengan Adat. Jakarta: t.p., 1956.
________. Tujuh Serangkai Hukum. Jakarta: Tinta Mas Indonesia, 1974.
Panitia Penerbitan Buku Untuk Memperingati Prof. Dr. Hazairin. Pembangunan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1976.
Redaksi Tempo. Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1981–1982. Jakarta: Grafiti Press, 1982.
Atjeng Achmad Kusaeri