Hasyasyin

(Ar.: al-hasysyasyiyyin)

Hasyasyin adalah salah satu sekte Syiah Ismailiyah, disebut juga Nizariyah karena mendukung Nizar al-Mustansir, putra sulung al-Mustansir (khalifah Fatimiyah, 1036–1094). Kata “hasyasyin” berasal dari kata Arab hasysyasyiyyun atau hasysyasyiyyin yang berarti “pengguna hasyis” (sejenis ganja). Pada Perang Salib mereka berhasil menduduki benteng di perbukitan Suriah dan Iran barat laut.

Hasyasyin pada mulanya dipimpin Hasan bin Muhammad bin Sabbah al-Himyari yang lebih dikenal dengan Hasan bin Sabah (w. 518 H/1124 M). Ia adalah putra seorang ulama Syiah dari keturunan Arab. Dalam sejarah Barat, Hasan bin Sabah dikenal sebagai pendiri Hasyasyin atau “Assassin” yang diartikan sebagai kaum pembunuh, tetapi bagi pengikutnya ia dijuluki sayyidina (junjungan kami).

Ia taat menunaikan semua aturan agama dan tidak membolehkan orang mabuk, menari, atau bermain musik di lingkungan kekuasaannya. Pengikut Hasyasyin dalam sejarah Islam kadang-kadang disebut kaum Ismailiyah Timur atau Alamutiyah atau Malahidah dari Kuhistan (“ateis” dari Kuhistan).

Hasan bin Sabah mempelajari dengan baik semua pengetahuan pada zamannya. Dikatakan bahwa pada suatu saat ia adalah teman belajar Nizam al-Mulk dan Umar Khayyam. Akan tetapi, cerita itu sekarang tidak dipercayai orang. Karena dirundung kecewa dalam ambisinya di istana Sultan Maliksyah (memerintah 1072–1092), ia pergi ke istana Khalifah al-Mustansir.

Sejak semula Hasan bin Sabah dekat dengan Khalifah al-Mustansir. Selama menetap di Mesir (1078–1080), ia sudah mulai mendukung putra mahkota Dinasti Fatimiyah, Nizar al-Mustansir. Karena ambisinya tidak tercapai, ia meninggalkan Mesir dan dapat menaklukkan Alamut 1090.

Sejak saat itu, ia secara diam-diam mulai mengorganisasi pengikutnya. Ketika tiba saat suksesi, sesudah al-Mustansir wafat, terjadi perebutan kekuasaan berdarah. Sebagian rakyat memihak dan mendukung Nizar, dan sebagian lainnya memihak al-Musta‘li, putra kedua al-Mustansir, yang mendapat dukungan militer. Dalam perebutan kekuasaan itu, Nizar akhirnya tewas mengenaskan dalam penjara.

Sepeninggal Nizar, pendukungnya diusir dari Mesir dan di bawah pimpinan Hasan bin Sabah mereka mendirikan sekte Ismailiyah di pengasingan dengan Alamut (Iran) sebagai markas perjuangan mereka.

Alamut terletak di puncak bukit yang amat sulit dicapai. Karena strategisnya, benteng itu disebut “Sarang Rajawali” (the Eagle’s Nest). Hasan bin Sabah menguasai benteng Alamut selama 35 tahun. Dari tempat itu ia mengendalikan sistem teror ke seluruh Asia, Afrika, dan Eropa Timur, melawan pedang dengan belati, dan membalas peng­aniayaan dengan pembunuhan.

Dalam pandangan Hasyasyin, Hasan bin Sabah bertindak sebagai pengganti imam. Dia mengorganisasi kekuasaan dan melahirkan satu basis politis yang disebut “Negara Ismailiyah Nizariyah”. Wilayah kekuasaannya meliputi Iran dan Suriah, dan dikendalikan dari Alamut oleh imam Ismailiyah dari garis keturunan Nizar. Negara ini mampu bertahan selama 150 tahun.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Hasyasyin menghadapi kondisi yang sulit dengan berdiamnya Dinasti Seljuk, penganut Suni berhaluan keras, di wilayah itu. Mereka menghadapi ancaman militer dan sekaligus kecaman teologis. Keadaan ini mendorong Hasyasyin untuk bertindak secara politis dan militer terhadap para penguasa Seljuk. Namun, tindakan itu justru memperkuat fanatisme kesunian dan sikap anti-Hasyasyin di kalangan rakyat.

Beberapa sultan Seljuk telah berupaya menghancurkan Hasyasyin, tetapi tidak satu pun yang berhasil dengan efektif. Hasyasyin dapat dikalahkan ketika bangsa Mongol berkuasa di Iran. Pada 1256 Hulagu Khan mengubrak-abrik sarang Hasyasyin. Mereka ditangkap dan dibunuh; yang selamat melarikan diri ke berbagai wilayah.

Penghancuran total pengikut Hasyasyin dilakukan oleh Baybars, sultan Mamluk keempat (1260–1277), pada 1272. Sejak itu Hasyasyin seakan musnah, tetapi sebenarnya tetap bergerak di bawah tanah dan mereka hanya terdiri atas kelompok-kelompok kecil di Suriah, Iran dan Asia Tengah. Pada abad ke-15 mereka mulai memasuki wilayah India dan Asia Tengah.

Pada abad modern sisa pengikut Hasyasyin muncul kembali dengan cukup mengejutkan di bawah komando imam mereka, Agha Khan Muhammad Syah al-Hali atau Agha Khan III (1877–1957) dan Agha Khan Abdul Karim (cucu Agha Khan III, sejak 1957). Kedua tokoh tersebut banyak berperan memperkenalkan kemajuan aktivitas Ismailiyah Nizariyah di dunia Islam dan Dunia Ketiga pada umumnya. Karena itu, penerus Hasyasyin dikenal juga dengan nama Aghakhanis.

Jumlah mereka di seluruh dunia diperkirakan mendekati 20 juta, yang tersebar di berbagai negara di Asia (terutama di pantai barat India; mereka menamakan diri kaum, “Khojah”), Timur Tengah, Barat, dan di Zanzibar. Mereka hidup membaur dengan sekte Syiah lainnya, bahkan dengan masyarakat Islam yang mayoritas Suni meskipun harus menyembunyikan identitas mereka.

Doktrin dan Pengikut Hasyasyin. Satu peristiwa monumental dalam sekte ini adalah pencetusan doktrin al-Qiyamah (Kebangkitan Agung) oleh Hasan bin Muhammad (pemimpin Hasyasyin, 1162–1166) pada 1164. Saat itu ia tidak hanya mengaku sebagai imam, melainkan juga secara khussus membebaskan dirinya dari ikatan hukum Islam.

Konsep al-Qiyamah tampak pada orang luar sebagai deklarasi pembaruan, tetapi sebenarnya merupakan penegasan doktrin Ismailiyah yang telah muncul sejak awal. Konsep ini secara simbolis merupakan penegasan tentang basis esoteris dari pemikiran Ismailiyah; lawan dari orientasi kesyariatan sebagaimana telah dikembangkan oleh aliran yang berbeda dalam pemikiran Islam.

Mengiringi kulminasi historis sekte Ismailiyah, konsep dan tidak dapat dimasuki sembarang orang. Pertama-tama al-Qiyamah ini menandai keunggulan makna spiritual atas mereka disuguhi minuman tertentu yang akan membuat tindakan lahiriah keagamaan. Meskipun demikian, bukan mereka tertidur lelap.

Mereka lalu dibawa masuk ke dalam berarti penampilan luar dari ritus yang terelaborasi dalam taman “surga”. Ketika terbangun, mereka mendapatkan diri syariat atau hukum keagamaan disepelekan atau dibuang mereka berada di tempat yang indah dengan gadis cantik sama sekali. Setiap pengikut Hasyasyin harus mengikuti jalan yang siap melayani mereka. Mereka merasa bahwa itulah spiritual tersebut.

Doktrin al-Qiyamah merupakan dasar spiritual bagi sang imam dalam transformasi batin kepada para pengikutnya. Transformasi batin merupakan dambaan semua anggota Hasyasyin. Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan Nasiruddin at-Tusi (w. 1274), ulama Syiah, adalah salah seorang yang tertarik akan nilai intelektual negara Ismailiyah Nizariyah dan selama tinggal di sana ia menjadi eksponen doktrin Ismailiyah.

Dalam perspektif esoterisnya, hubungan fisik antara sang imam dan pengikutnya ditentukan oleh perkembangan ikatan spiritual. Oleh karena itu, seseorang yang beriman harus dibimbing agar mengenal haqiqah (ilmu ha­kikat), suatu aspek Islam yang merupakan pelengkap syariat dalam pandangan sekte Ismailiyah, dan membentuk suatu tingkatan realitas yang paling tinggi dalam Islam.

Hidup keagamaan bagi kaum Ismailiyah tidak lain mencari transformasi batin secara terus-menerus dan melangkah setahap demi setahap menuju tingkatan perkembangan spiritual yang lebih tinggi.

Pengikut Hasyasyin dapat dibedakan ke dalam beberapa tingkatan: al-fida’i (teman), ar-rafiq (saha­bat), ad-da‘i (pahlawan), ad-da‘i al-kabir (pahlawan besar), dan da‘i ad-du‘ah (guru agung). Hasan bin Sabah sendiri adalah Guru Agung Pertama (1090–1124) meskipun ia secara formal­ selalu menghormati khalifah di Mesir.

Bahkan, Hasan bin Muhammad sebagai Guru Agung Keempat­ tidak segan-segan mengaku dirinya keturun­an Khalifah al-Mustansir melalui Nizar al-Mustansir untuk men­capai tujuannya. Guru agung lainnya yang memimpin­ Hasyasyin adalah Buzurg Ummid Rudbari (1124–1138), Muhammad bin Buzurg Ummid (1138–1162), Nuruddin Muhammad (1166–1210), Jalaluddin Hasan bin Muhammad (1210–1220), Aladdin Muhammad (1220–1255), dan Ruknuddin bin Muhammad (1255–1256).

Para pemimpin Hasyasyin menuntut kesetiaan pengikutnya dengan membuat mereka mabuk kepayang­ dengan hasyis. Dengan cara ini mereka me­rasakan kenikmatan dan kegirangan dalam “surga”,­ sehingga seorang pengikut Hasyasyin bersedia mati untuk memperoleh kembali kenikmatan“surgawi” itu.

Untuk membentuk pengikut seperti tersebut di atas, Guru Agung merekrut sejumlah anak muda yang berusia 12–20 tahun dari berbagai daerah dan memasukkan mereka ke dalam “surga” markas Hasyasyin di Alamut. Tempat itu tersembunyi dan tidak dapat dimasuki sembarang orang.

Pertama-tama mereka disuguhi minuman tertentu yang akan membuat mereka tertidur lelap. Mereka lalu dibawa masuk ke dalam taman “surga”. Ketika terbangun, mereka mendapatkan diri mereka berada­ di tempat yang indah dengan gadis cantik yang siap melayani mereka. Mereka merasa bahwa itulah surga yang sebenarnya.

Ketika Guru Agung merencanakan untuk membunuh pangeran, raja atau seorang pejabat, misalnya, dan memerintahkan­ pengikut Hasyasyin itu untuk melaksanakan­ tugas tersebut, ia bersedia karena Guru Agung menjanjikan­ akan membawanya­ kembali ke surga jika ia berhasil melaksanakannya; demikian juga apabila ia mati dalam tugas itu.

Salah satu korban pembunuhan Hasyasyin adalah­ Nizam al-Mulk. Kematian Sultan Maliksyah se­telah peristiwa itu pun tidak lepas dari akibat teror Hasyasyin.

Sekte ini tidak hanya menyerang para pemimpin Islam, melainkan juga kaum sipil dan orang non-Islam. Profesionalisme dalam aksi teror dan pembunuhan menjadikan Hasyasyin sebagai kelompok pembunuh bayaran­ yang dapat disewa oleh siapa saja dan untuk membunuh siapa saja. Bahkan, beberapa jen­deral Perang Salib juga meng­gunakan jasa mereka dalam melenyapkan musuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Syed Ameer. A Short History of The Saracens. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
____________. The Spirit of Islam. New York: Humanities Press, 1974.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1848.
Eliade, Mircea, ed. The Encyclopaedia of Religion. New York: Macmillan Publishing Company, 1987.
al-Fandi, Muhammad Sabit. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah. Cairo: Dar asy-Sya‘b, t.t.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1974.
Hourani, Albert. A History of the Arab Peoples. London: Faber and Faber Limited, 1991.
Kennedy, Hugh. The Prophet and the Age of the Caliphates. New York: Longman Inc., 1986.
Momen, Moojan. An Introduction to Syi’i Islam. London: Yale University Press, 1985.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. Syi‘a, terj. Sayid Husein Nasr. Iran: Qum, 1981.
Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1987.

Ahmad Asmuni