KH Hasan Basri adalah seorang ulama, mubalig, dan ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) sejak 1985. Ia merupakan anak kedua dari pasangan Muhammad Darun dan Fatmah. Sejak ayahnya meninggal (1923), ia dengan kedua saudara dan ibunya menjadi tanggungan Haji Abdullah, yakni kakeknya (dari pihak ibu).
Pada 1928, Hasan Basri disekolahkan kakeknya itu ke sebuah Volksschool (sekolah rakyat) di Muarateweh, sambil bersekolah di Diniyah Awwaliyah (setingkat SD) pada sore hari. Di sekolah tersebut terakhir ia memperoleh pelajaran sejarah, tafsir Jalalain, tafsir Ibn Katsir, Sirah Nabi Muhammad, ilmu tauhid, fikih, Al-Qur’an, hadis, dan bahasa Arab. Ia murid terpandai di kelas dan ketika duduk di kelas tiga ia sudah diminta mengajar di kelas yang lebih rendah.
Setamat dari Volksschool (1933), ia tidak langsung melanjutkan sekolahnya karena masih ditugaskan menjadi guru bantu di Diniyah Awwaliyah. Baru pada tahun 1935 ia melanjut ke Tsanawiyah Muhammadiyah (setingkat SMP) di Banjarmasin sampai tahun 1938. Di sekolah ini ia mempelajari tarikh Islam, fikih, kitab karangan Muhammad Abduh, al-Ghazali, Imam Syafi‘i, dan lain-lain.
Setamat dari Tsanawiyah, ia melanjutkan pendidikan ke Sekolah Zuama Muhammadiyah, Yogyakarta, sekolah kader ulama dan pemimpin Islam. Di sekolah ini ia dibina oleh para guru, antara lain KH Mas Mansur, KH Farid Ma’ruf, Prof. Kahar Muzakir, KH Baidhowi, dan Buya A. R. Sutan Mansur. Di luar kelas ia belajar politik dengan menghadiri rapat-rapat politik Partai Islam Indonesia (PII) yang digerakkan oleh Dr. Sukiman Wirjosandjoyo, Wiwoho Purbohadidjojo, Wali al-Fatah, KH Taufiqurrahman, Gafar Ismail, dan lain-lain.
Setamat dari sekolah di Yogyakarta pada tahun 1941, ia kembali ke Banjarmasin dan menikah dengan Nurhani binti Thawaf Saleh pada 8 November 1941. Kemudian, ia dan istrinya mengajar di Ibtidaiyah Muhammadiyah (setingkat SD) yang didirikan oleh Cabang Muhammadiyah di Marabahan (1942–1944). Pada tahun 1945 ia diangkat oleh pemerintah pendudukan Jepang menjadi kadi (kepala kantor urusan agama) di Muarateweh.
Tahun 1946–1949 ia duduk sebagai wakil ketua organisasi Sermi (Serikat Muslimin Indonesia) yang diketuai oleh Haji Abdurrahman Siddik di Banjarmasin. Organisasi Sermi kemudian bergabung dengan SKI (Serikat Kerakyatan Indonesia) menjadi Dewan Banjar.
Sebagai pengurus Dewan Banjar, atas nama rakyat Kalimantan Selatan, mereka berdua diutus menghadiri sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) di Malang pada 1947. Seusai sidang KNIP, mereka menemui Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta untuk menyatakan bahwa rakyat Kalimantan Selatan tetap tunduk dan mendukung negara Republik Indonesia.
Dewan Banjar membentuk Basmi (Barisan Serikat Muslimin Indonesia) sebagai bagian pemuda Sermi. Melalui Sermi, ia kemudian menjadi anggota Masyumi.
Pada 3 Desember 1945 dibentuk Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Marabahan yang dipimpin oleh H Abdul Murid. Hasan Basri serta Husin Rasyid (adiknya) memimpin departemen keamanan BPRI.
Oleh BPRI, Hasan Basri ditugasi menghimpun kekuatan massa dan menghubungi kesatuan laskar di Kalimantan. Gerakan ini pada 5 Desember 1945 dapat merebut kantor pemerintah NICA di Banjarmasin. Tetapi 2 hari kemudian datang serbuan dari tentara Belanda sehingga banyak pejuang tertangkap, termasuk Husin Rasyid. Hasan Basri berhasil lolos, kemudian melanjutkan perjuangan melalui politik.
Pada 1948, ia pergi ke Surabaya untuk membicarakan urusan perjuangan. Ia terus melibatkan diri dalam perjuangan politik sampai tercapai penyerahan kedaulatan RI pada 27 Desember 1949. Karena berjasa dalam perjuangan ini, ia mendapat penghargaan dari pemerintah RI dengan memberinya tanda jasa sebagai anggota veteran RI.
Pada tahun 1950 Hasan Basri menjadi anggota DPR RIS di Jakarta, mewakili daerah Kalimantan Selatan. Dalam DPRS (1950–1955), ia duduk sebagai anggota Komisi E yang membidangi agama, pendidikan, dan masalah sosial. Dalam DPR hasil Pemilu 1955, ia kembali menjadi anggota DPR RI dari fraksi Partai Masyumi.
Dalam muktamar Masyumi terakhir (1959), Hasan Basri terpilih sebagai anggota pengurus pusat Partai Masyumi bersama Mr. Kasman Singodimedjo, Anwar Harjono, KH Taufiqurrahman, Osman Raliby, dan lain-lain, dengan ketua Prawoto Mangkusasmito.
Pada tahun 1951, sesuai dengan hasil muktamar Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) di Medan, ia menjadi wakil ketua GPII Pusat sampai dibubarkan oleh Orde Lama pada tahun 1963. Setelah DPR hasil Pemilu 1955 dibubarkan pada tahun 1960, ia kembali menekuni bidang dakwah sebagai khatib dan mubalig.
Pada 7 April 1967 ia bersama KH Faqih Usman, Anwar Harjono, Agus Sudono, Ny. Syamsu Rijal, KH Engkin Zainal Muttaqien, dan Marzuki Yatim, membentuk panitia tujuh untuk merehabilitasi Partai Masyumi, namun gagal. Kendati demikian, mereka berhasil melahirkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Kegiatannya setelah tidak duduk lagi di DPR banyak ber hubungan dengan masjid dan urusan umat Islam. Pada 1973 ia menjadi wakil ketua PHI (Panitia Haji Indonesia) yang diketuai KH M. Dahlan.
Pada 1975 ia menjadi ketua umum Ikatan Masjid Indonesia dan pada periode 1972–1981 menjadi wakil ketua Dewan Masjid (Dewan Kemakmuran Masjid Indonesia). Pada periode 1975–1980 ia menjadi salah satu ketua MUI dengan ketua umum Prof. Dr. HAMKA.
Pada periode 1980–1985 ia kembali menjadi ketua MUI dengan ketua umumnya KH Syukri Ghazali, dan ia juga menjadi wakil ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada periode 1981–1984.
Ia juga dipercaya menjadi anggota Dewan Mustasyar DMI (periode 1984–1989 dan 1989–1994) dan ketua umum YPI (Yayasan Pendidikan Islam) al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta (periode 1986–1989 dan 1989–1992). Selama tiga periode (1985–1990, 1990–1995, dan 1995–1998) ia dipercaya sebagai ketua umum MUI.
Daftar Pustaka
Anshari, H M.I. KH Hasan Basri, Ulama Indonesia di Mata Dunia. Jakarta: Media Dakwah, 1989.
Departemen Penerangan RI. 10 Tahun Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: t.p., 1985.
Mardjoned, H. Ramlan. KH Hasan Basri 70 Tahun: Fungsi Ulama dan Peran Masjid. Jakarta: Media Dakwah, 1990.
M Rusydi Khalid