Abu Musa al-Asy‘ari adalah seorang sahabat Nabi SAW yang berperan sebagai hakam (juru damai) dari pihak Ali bin Abi Thalib pada Perang Siffin antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam (Suriah) pada Safar 37 H/657 M. Nama lengkapnya Abdul-lah bin Qais bin Sulaym bin Hadar bin Harb bin Amir bin Ganam.
Abu Musa al-Asy‘ari berasal dari Yaman. Tahun kelahirannya tidak diketahui dan tahun wafatnya diperkirakan antara tahun 42 H/663 M, 44 H/665 M, 50 H/670 M, 51 H/671 M, dan 53 H/673 M di Kufah. Ibunya bernama Tayyibah binti Wahhab yang masuk Islam dan meninggal di Madinah. Pada mulanya al-Asy‘ari tinggal di Ramalah, Palestina, lalu pindah ke Mekah setelah masuk Islam.
Ketika umat Islam di Mekah ditindas dan dianiaya orang kafir Quraisy, al-Asy‘ari berhijrah ke Abessinia (sekarang Ethiopia). Ada yang berpendapat bahwa ia kembali ke negeri kaumnya dan tidak ikut berhijrah ke Abessinia, karena namanya tidak tercantum dalam daftar nama orang yang berhijrah ke Abessinia yang ditulis Musa bin Uqbah, Ibnu Ishaq, dan al-Waqidi.
Setelah penaklukan Khaibar (perkampungan Yahudi yang terletak tidak jauh dari Madinah), al-Asy‘ari kembali menemui Nabi SAW di Madinah dan ditunjuk sebagai gubernur di sebagian daerah Yaman yang meliputi Zabid, Aden, dan daerah pesisirnya. Jabatan ini tetap dipangkunya semasa pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq.
Pada 17 H/638 M, atas perintah Khalifah Umar bin Khattab, al-Asy‘ari dijadikan gubernur Basrah, menggantikan Gubernur Mugirah bin Syu‘bah. Di masa jabatannya ini ia menaklukkan Ahwaz dan Isfahan. Pada 22 H/642 M ia dijadikan gubernur di Kufah. Hal ini untuk memenuhi permintaan penduduk Kufah yang tidak puas dengan gubernur sebelumnya.
Mereka mengajukan permohonan kepada Umar bin Khattab agar al-Asy‘ari ditunjuk sebagai gubernur mereka. Namun penduduk Kufah tidak juga merasa puas dengan usahanya. Karena itu, ia dikembalikan ke jabatannya di Basrah (setelah setahun menjadi gubernur Kufah).
Ketika Usman bin Affan menjabat khalifah, ia masih tetap menjadi gubernur Basrah selama 3 tahun. Kemudian ia diberhentikan dan digantikan Abdullah bin Amir dan selanjutnya ia menetap di Kufah.
Pada 34 H/654 M al-Asy‘ari kembali ditunjuk sebagai gubernur Kufah menggantikan Sa‘id bin As yang diberhentikan Khalifah Usman atas tuntutan penduduk Kufah. Pada 36 H/656 M, ia menyatakan baiat kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah setelah terbunuhnya Usman bin Affan.
Ketika terjadi Perang Unta (Harb al-Jamal) antara Ali dan Aisyah binti Abu Bakar, ia menyerukan penduduk Kufah untuk bersikap netral. Oleh karena itu, al-Asy‘ari dipecat dari jabatannya oleh Ali bin Abi Thalib. Kemudian ia meninggalkan Kufah selama berbulan-bulan karena mendapat ancaman dari pasukan Ali. Al-Asy‘ari kembali ke Kufah setelah Ali menjamin keselamatan jiwanya.
Dalam Perang Siffin, al-Asy‘ari ditunjuk untuk memimpin delegasi Ali setelah tercapai gencatan senjata. Di pihak lain, Ali tidak menyetujuinya sebagai hakim dan memilih Abdullah bin Abbas atau al-Asytar. Kedua orang ini ditolak pimpinan pasukan Ali, al-Asy‘as. Kemudian Ali menyerahkan keputusan kepada pimpinan pasukannya tersebut untuk memilih hakim yang mereka senangi. Akhirnya terpilihlah Abu Musa al-Asy‘ari.
Pada hari tahkim (arbitrase), Ramadan 37 H/657 M di Daumat al-Jandal (antara Madinah dan Irak), al-Asy‘ari berhadapan dengan Amr bin As dari pihak Mu‘awiyah. Kemudian ia diperdaya Amr bin As.
Semula keduanya setuju untuk memberhentikan Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah dari jabatan khalifah, kemudian menyerahkan pemilihan khalifah pada kesepakatan umat Islam. Al-Asy‘ari menginginkan Abdullah bin Umar bin Khattab sebagai khalifah yang baru, tetapi ditolak Amr bin As. Al-Asy‘ari diminta untuk menyampaikan pidato dan menurunkan Ali bin Abi Thalib dan setelah itu giliran Amr bin As untuk memecat Mu‘awiyah.
Ternyata Amr bin As dalam pidatonya menguatkan pemecatan Ali, kemudian menetapkan pengangkatan Mu‘awiyah sebagai khalifah. Setelah kegagalan tahkim ini, al-Asy‘ari lalu meninggalkan aktivitas politik dan pindah ke Mekah. Beberapa tahun sebelum meninggal, ia kembali ke Kufah.
Abu Musa al-Asy‘ari memiliki suara merdu dalam membaca Al-Qur’an. Karena itu Nabi SAW menyebutnya dikaruniai seruling Nabi Daud. Pada suatu malam, Nabi SAW dan istrinya, Aisyah, lewat di muka rumahnya. Keduanya berhenti ketika mendengar al-Asy‘ari membaca Al-Qur’an. Nabi SAW dan Aisyah baru beranjak dari tempatnya setelah al-Asy‘ari berhenti mengaji.
Sebagai sahabat Nabi SAW, al-Asy‘ari banyak menerima ayat Al-Qur’an dan hadis dari Nabi SAW. Ia juga menerima penyampaian hadis Nabi SAW dari al-Khulafaur Rasyidin (empat sahabat Nabi SAW) dan dari sahabat Mu‘az bin Jabal, Ibnu Mas‘ud, Ubay bin Ka‘b, dan Ammar.
Kemudian putra-putranya (Musa, Ibrahim, Abu Bardah, dan Abu Bakar) dan istrinya (Fatimah) juga meriwayatkan hadis darinya. Beberapa di antara sahabat yang meriwayatkan hadis dari al-Asy‘ari adalah Abu Sa‘id, Anas bin Malik, dan Tariq bin Syihab. Adapun dari tabiin dan generasi sesudahnya adalah Zaid bin Wahhab, Abu Abdurrahman as-Sulma, Ubaid bin Umair, dan Qais bin Abi Hazim.
Al-Asy‘ari bersama Mu‘az pernah diutus Nabi SAW ke Yaman untuk mengajarkan Al-Qur’an dan agama Islam kepada penduduk yang baru masuk Islam. Ia bersama Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Sabit dijuluki qadi al-ummah (kadi umat). Di masa Umar dan Usman, ia mengajarkan agama kepada penduduk Basrah dan Kufah.
Kesalehan dan ketakwaan al-Asy‘ari digambarkan dalam Hilyah al-Auliya’ (Permata para Wali). Pada suatu hari ia meng-umpulkan sekitar 300 orang kadi di Masjid Basrah, lalu mengingatkan bahwa Al-Qur’an dapat mendatangkan pahala dan dapat menimbulkan dosa. Ia berpesan, “Ikutilah Al-Qur’an, jangan Al-Qur’an mengikuti anda. Barangsiapa mengikuti Al-Qur’an, ia akan dibawa ke taman surga dan barangsiapa yang diikuti Al-Qur’an ia akan dicampakkan ke dalam neraka.”
Anas bin Malik menceritakan bahwa ia dan al-Asy‘ari pernah bepergian bersama. Ketika mendengar orang lain sibuk bercakap-cakap, ia mengajak Anas untuk mengingat Allah SWT. Ia bertanya kepada Anas mengapa orang melupakan Allah SWT. Anas menjawab bahwa hal itu disebabkan syahwat dan setan.
Ia membantah jawaban Anas dengan menjelaskan bahwa penyebabnya adalah karena dunia disegerakan pada manusia dan dapat mereka lihat, sedangkan akhirat tidak dapat terlihat. Ia berkata, “Seandainya akhirat dapat dilihat manusia, niscaya mereka tidak akan berpaling dari akhirat.”
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa as-Saqafi wa al-Ijtima. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1977.
al-Isfahani. Abu Nu’aim. Hilyah al-Auliya’. Cairo: Matba‘ah as-Sa‘adah, 1922.
al-Mas‘udi. Muruj al-Zahab. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Mulk. Beirut:Dar al-Fikr, 1987.
Rusydi Khalid