Khawarij

(Ar.: al-Khawarij)

Aliran kalam pertama dalam sejarah Islam pada abad ke-1 H adalah Khawarij. Nama itu berasal dari kata Arab kharaja yang berarti “keluar”. Kelompok ini disebut Khawarij karena keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib (al-Khulafa’ ar-Rasyidun; w. 661) sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui perdamaian dengan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan (khalifah Umayah; 602–680).

Kemunculan aliran Khawarij dilatar­belakangi adanya pertikaian politik antara Ali dan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, yang pada waktu itu menjabat gubernur Syam (Suriah). Mu‘awiyah menolak membaiat Ali yang terpilih sebagai khalifah sehingga Ali mengerahkan bala tentara untuk menggempur Mu‘awiyah. Mu‘awiyah juga mengumpulkan pasukannya untuk menghadapi Ali.

Pertempuran pun terjadi antara kedua belah pihak di Siffin. Pihak Ali memperlihatkan tanda akan menang dan berhasil mendesak pasukan lawan. Amr bin As yang ikut berperang di pihak Mu‘awiyah mengusulkan kepada Mu‘awiyah agar memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat minta berdamai.

Pada mulanya Ali tidak mau menerima tawaran damai tersebut. Tetapi, karena didesak sebagian pengikutnya, terutama para qurra’ (pembaca) dan huffadz (penghafal), diputuskanlah untuk mengadakan arbitrase (tahkim).

Sebagai penengah, diangkat Abu Musa al-Asy‘ari yang mewakili kelompok Ali dan Amr bin As yang mewakili kelompok Mu‘awiyah. Perundingan Abu Musa al-Asy‘ari yang dikenal lurus dan Amr bin As yang licik berakhir dengan kerugian di pihak Ali.

Keputusan Ali menerima arbitrase ternyata tidak didukung semua pengikutnya. Mereka yang tidak setuju dengan sikap Ali keluar dari barisan lalu mengangkat Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin mereka yang baru. Kelompok ini kemudian memisahkan diri ke Harurah, suatu desa dekat Kufah. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kaum Khawarij.

Arti nama Khawarij, bentuk jamak dari kharij (orang yang keluar), adalah “orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib”. Ada juga yang mengatakan bahwa nama Khawarij itu didasarkan atas surah an-Nisa’ (4) ayat 100 yang pengertiannya “keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah”. Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang keluar dari rumah semata­mata untuk berjuang di jalan Allah SWT.

Selain nama Khawarij, ada beberapa nama lagi yang diberikan kepada kelompok ini, antara lain al-Muhakkimah, Syurah, Haruriyah, dan al-Mariqah. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal la hukma illa li Allah (tiada hukum kecuali hukum Allah) atau la hakama illa Allah (tidak ada pembuat hukum kecuali Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali. Bagi mereka, yang berhak memutuskan perkara hanyalah Allah SWT, bukan arbitrase.

Mereka juga menyebut diri mereka Syurah, yang berasal dari bahasa Arab yasyri (menjual). Penamaan ini didasarkan pada surah al-Baqarah (2) ayat 207 yang berarti: “Ada manusia yang mengorbankan dirinya untuk memperoleh keridaan Allah.”

Mereka disebut pula kelompok Haruriyah, berasal dari kata Harurah, tempat mereka berkumpul setelah meninggalkan barisan Ali. Tempat ini kemudian mereka jadikan pusat kegiatan. Adapun nama al-Mariqah diberikan kepada mereka karena mereka dianggap telah keluar dari agama. Kata ini berasal dari kata maraqa yang berarti “anak panah keluar dari busurnya”. Nama ini diberikan lawan mereka.

Seiring dengan perjalanan waktu, kaum Khawarij di Harurah berhasil menyusun kekuatan dan memperoleh banyak pengikut. Mereka lalu menyatakan pembangkangan terhadap Ali. Menurut keyakinan mereka, Ali dan Mu‘awiyah serta semua yang menyetujui arbitrase dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu, mereka harus ditentang dan dijatuhkan.

Untuk menumpas mereka, Ali menyiapkan sepasukan tentara. Di suatu tempat yang bernama Nahrawan pasukan Ali dan Khawarij bertemu, dan terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan tentara Ali dan hampir seluruh kekuatan Khawarij dapat dimusnahkan.

Menurut Muhammad Abdul Karim Syahristani, tidak sampai sepuluh orang kaum Khawarij yang selamat dari pertempuran ini, yang lainnya gugur di medan perang, termasuk pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi.

Akan tetapi, kekalahan total di Nahrawan tidak membuat kaum Khawarij patah semangat. Akhirnya salah seorang di antara mereka yang bernama Abdur Rahman bin Muljam berhasil membunuh Ali pada l7 Ramadan 40/24 Januari 661.

Sepeninggal Ali, kaum Khawarij melakukan pemberontakan terhadap penguasa Islam resmi, baik pada zaman Dinasti Bani Umayah maupun Dinasti Abbasiyah. Alasan mereka mengadakan perlawanan adalah bahwa para penguasa dianggap telah menyeleweng dari ajaran Islam.

Meskipun pada mulanya muncul karena persoalan politik, dalam perkembangannya Khawarij lebih banyak bercorak teologis. Menurut keyakinan mereka, semua masalah harus diselesaikan dengan merujuk kepada hukum Allah SWT, sesuai dengan surah al-Ma’idah (5) ayat 44 yang berarti: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”

Berdasarkan ayat ini Ali, Mu‘awiyah, dan semua orang yang menyetujui tahkim, menurut mereka, telah menjadi kafir karena mereka memutuskan sesuatu bukan dengan merujuk kepada Al-Qur’an. Bagi mereka, arbitrasi tidak mempunyai dasar dalam Al-Qur’an.

Selanjutnya, kaum Khawarij menyinggung soal iman dan kafir. Iman, menurut paham Khawarij, tidak cukup hanya dengan pengakuan “tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu Rasul-Nya”, melainkan harus disertai dengan amal saleh. Dengan perkataan lain, iman bukan hanya sekadar tasdik, tetapi juga amal atau makrifat. Yang dimaksud dengan kafir adalah pengingkaran terhadap adanya Allah SWT dan Rasul-Nya serta berbuat dosa besar.

Pada mulanya yang mereka pandang kafir hanyalah orang yang menyetujui arbitrase, tetapi kemudian mereka mengembangkan artinya sehingga termasuk semua orang yang berdosa besar. Yang termasuk dosa besar antara lain membunuh tanpa alasan yang sah dan berzina. Jadi, sungguhpun seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, namun karena berdosa besar tetap dipandang kafir dan keluar dari Islam.

Ada lagi doktrin Khawarij yang mendasar, yaitu tentang khilafah. Mereka berpendirian bahwa khalifah seharusnya dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukan hanya terbatas dari suku Quraisy, bukan pula hanya orang Arab, melainkan semua orang Islam boleh menjadi khalifah selama memiliki kapasitas untuk memangku jabatan itu.

Selanjutnya, khalifah wajib ditaati hanya apabila ia bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Tetapi jika ia menyeleweng dari ajaran Islam, ia harus dibunuh. Dalam penilaian mereka, hanya Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab yang dapat dikatakan adil dan tidak menyeleweng dari ajaran Islam.

Mengenai jumlah sekte Khawarij, ulama berbeda pendapat. Abu Musa al-Asy‘ari menyebut lebih dari 20 sekte. Al-Baghdadi (ahli usul fikih) berpendapat ada 20 sekte. Sementara itu, Syahristani hanya menyebut 18 sekte. Ada pula ulama yang hanya menghitung sekte utama. Misalnya Mustafa asy-Syak’ah (seorang ahli ilmu kalam) menyebut 8 sekte, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-Ajaridah, as-Sa’alibah, al-Ibadiyah, dan as-Sufriyah.

Adapun Muhammad Abu Zahrah (ahli fikih, usul fikih, dan kalam) menerangkan 4 sekte saja, yaitu an-Najdat, as-Sufriyah, al-Ajaridah, dan al-Ibadiyah. Sementara itu, Harun Nasution (ahli filsafat Islam dan mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dalam buku Filsafat Islam mengatakan ada 6 sekte penting, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, an-Najdat, al-Ajaridah, as-Sufriyah, dan al-Ibadiyah.

Paham dan ajaran pokok dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut.

(1) Al-Muhakkimah dipandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri dari pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka la hukma illa li Allah (menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah) yang merujuk kepada surah al-An‘am (6) ayat 57.

Mereka menolak arbitrase atau tahkim karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah SWT dalam surah al-hujurat (49) ayat 9 yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah SWT.

Selanjutnya, dalam paham sekte ini Ali, Mu‘awiyah, dan semua orang yang menyetujui arbitrase dituduh telah menjadi kafir karena telah menyimpang dari ajaran Islam, seperti tercantum dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 44. Kemudian mereka juga menganggap kafir orang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh tanpa alasan yang sah dan berzina.

(2) Al-Azariqah. Sekte ini lahir sekitar 60 H (akhir abad ke-7 M) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada pemimpin sekte ini, Nafi’ bin Azrak al-Hanafi al-Hanzali. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari amirulmukminin. Menurut al-Baghdadi, pendukungnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang.

Berbeda dengan al-Muhakkimah, al-Azariqah membawa paham yang lebih ekstrem. Paham mereka antara lain adalah bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Pengikut al-Azariqah yang tidak sudi berhijrah ke dalam wilayah mereka juga dianggap musyrik.

Menurut mereka, semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai dar al-Islam (darul Islam); di luar daerah itu dianggap dar al-kufr (daerah yang dikuasai/ diperintah orang kafir).

(3) An-Najdat. Sekte ini adalah kelompok yang dipimpin Najdah bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrem.

Pendapat Nafi’ yang mereka tolak adalah tentang musyriknya pengikut al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke dalam wilayah al-Azariqah dan tentang kebolehan membunuh anak-anak atau istri orang yang mereka pandang musyrik. Pengikut an-Najdat memandang Nafi’ telah menjadi kafir, begitu juga orang yang mengakuinya sebagai khalifah.

Paham teologi an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir. Orang seperti ini menurut mereka akan masuk neraka dan kekal di dalamnya. Pengikut an-Najdat sendiri tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Selanjutnya, bagi mereka dosa kecil dapat meningkat menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus-menerus.

Paham lain yang dibawa sekte ini adalah taqiyah, yaitu bahwa seorang Islam dapat menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya; dalam hal ini ia diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid at-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap an-Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada 69 H/688 M.

(4) Al-Ajaridah. Pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim bin Ajarrad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, pandangan kaum al-Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti yang diajarkan Nafi’, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil.

Bagi mereka, Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari Al-Qur’an.

(5) As-Sufriyah. Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Nama as-Sufriyah berasal dari nama pemimpin mereka, Ziad bin Asfar. Pendapatnya yang penting adalah istilah “kufur” atau “kafir” (mengandung dua arti, yaitu kufr an-ni‘mah‘ mengingkari nikmat Tuhan’ dan kufr bi Allah‘ mengingkari Tuhan’).

Untuk arti pertama, kafir tidak berarti keluar dari Islam. Tentang taqiyah, mereka hanya membolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir apabila terancam keamanan dirinya.

(6) Al-Ibadiyah. Sekte ini dimunculkan Abdullah bin Ibad al-Murri at-Tamimi tahun 686. Doktrin mereka yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, melainkan muwahhid (orang yang kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam).

Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itulah yang harus diperangi. Selain daerah itu, disebut dar at-tauhid (daerah yang dikuasai orang Islam), tidak boleh diperangi. Tentang harta yang boleh dirampas dalam perang, mereka menetapkan hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyah dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam aliran Khawarij.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah as-Siwa al-‘Aqa’id wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Maqalat al-Isamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin. Cairo: Matba’ah ad-Daulah, 1950.
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. al-Farq Bain al-Firaq. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1977.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Cairo: t.tp., 1967.
Wolfson, Harry Austyn. The Philosophy of the Kalam. Cambridge, Massachusetts and London, England: Harvard University Press, 1976.

Musdah Mulia