Hamdaniyah adalah salah satu dinasti di sebelah barat Baghdad yang muncul ketika Dinasti Abbasiyah telah melemah. Dinasti ini bertahan selama sekitar 75 tahun (317 H/928 M–394 H/1003 M). Nama Dinasti Hamdaniyah dinisbahkan kepada pendirinya, Hamdan bin Hamdun, yang berasal dari suku Taghlib (salah satu suku Arab terkenal).
Asal muasal berdirinya Dinasti Hamdaniyah sudah mulai tampak sejak masa pemerintahan Khalifah al-Mu‘tamid (khalifah Abbasiyah yang ke-15, memerintah 257 H/870 M–279 H/892 M). Pada masa ini kekuasaan Dinasti Abbasiyah sedang melemah.
Raja yang memerintah tidak lagi memiliki kewibawaan, bahkan menjadi boneka di tangan para pengawal yang umumnya tentara sewaan dari Turki. Daerah kekuasaan Abbasiyah yang terletak jauh dari pusat pemerintahan di Baghdad satu per satu melepaskan diri dari kekuasaan khalifah dan melahirkan dinasti baru.
Keluarga Hamdaniyah, yang menganut paham Syiah (paham mayoritas suku Arab di wilayah Suriah), mendalangi suatu pemberontakan terhadap Dinasti Abbasiyah yang ketika itu merupakan pendukung paham Suni. Pemberontakan ini dapat ditumpas penguasa Abbasiyah. Akibatnya, banyak anggota keluarga Hamdaniyah ditangkap dan dipenjarakan.
Pada masa Khalifah al-Muqtadir (khalifah Abbasiyah ke-18, memerintah 296 H/908 M–320 H/932 M), salah seorang anggota keluarga Hamdan, yakni Abdullah bin Hamdun, berhasil merebut simpati khalifah karena membantu khalifah menumpas gerakan Qaramitah. Sebagai imbalan atas jasanya, Khalifah al-Muqtadir mengangkatnya menjadi penguasa daerah Mosul (kota di tepi Sungai Eufrat di sebelah utara Baghdad) pada 293 H/905 M.
Di wilayah inilah kemudian Abdullah bin Hamdun menyusun kekuatan dan setelah merasa mampu berdiri sendiri ia membentuk satu dinasti independen, terlepas dari kekuasaan Abbasiyah di Baghdad, dengan Mosul sebagai ibukota pemerintahan.
Anak Abdullah bin Hamdun, antara lain Hasan bin Abdullah dan Abul Hasan Ali bin Hamdan, memperlihatkan kemampuan sebagai pemimpin dan lebih menonjol daripada anggota keluarga Hamdun lainnya. Karena keberanian dan keperkasaan mereka, Hasan bin Abdullah memperoleh gelar Nasiruddawlah (Pembela Negara) sedangkan Abul Hasan Ali bin Hamdan mendapatkan gelar Saifuddawlah (Pedang Negara).
Pada 333 H/944 M, Abul Hasan Ali bin Hamdan berhasil menaklukkan Haleb (Aleppo) di wilayah Suriah. Setahap demi setahap ia membangun kekuatan dan membentuk pemerintahan sendiri yang lepas dari kekuasaan Mosul. Dengan penaklukannya itu ia dipandang sebagai pendiri Dinasti Hamdaniyah cabang Haleb, Suriah.
Wilayah Hamdaniyah selanjutnya dibagi dua, yaitu wilayah Mosul yang diperintah Hasan bin Abdullah dan wilayah Haleb yang dikuasai Abul Hasan Ali bin Hamdan. Secara berurutan penguasa Dinasti Hamdaniyah di kawa san Mosul adalah sebagai berikut:
(1) Abdullah bin Hamdun yang bergelar Abul Haija’ (memerintah 293 H/905 M–317 H/928 M),
(2) Hasan bin Abdullah yang bergelar Nasiruddawlah (317 H/929 M–358 H/969 M),
(3) Abu Taghlib yang bergelar Uddatuddawlah atau ‘Alat Negara’ (358 H/969 M–379 H/981 M), dan
4) Ibrahim dan al-Husain (379 H/981 M–389 H/991 M).
Sementara itu di kawasan Haleb penguasa Dinasti Hamdaniyah secara berurutan adalah sebagai berikut:
(1) Abul Hasan Ali bin Hamdan yang bergelar Saifuddawlah (303 H/945 M–356 H/967 M),
(2) Syarif I yang bergelar Saiduddawlah atau ‘Yang Menguntungkan Negara’ (356 H/967 M–381 H/991 M),
(3) Sa‘id yang juga bergelar Saiduddawlah (381 H/991 M–392 H/1002 M), (4) Ali II (392 H/1002 M–394 H/1004 M), dan (5) Syarif II (394 H/1003 M).
Pada masa pemerintahan Abul Haija’ (Abdullah bin Ham dun), Dinasti Hamdaniyah mengalami kemajuan yang pesat. Ia berhasil melakukan konsolidasi dalam negeri dan membuat dinasti itu tumbuh dan berkembang.
Pertumbuhan dinasti tetap berjalan dengan baik di tangan penguasa selanjutnya, yaitu Nasiruddawlah (Hasan bin Abdullah). Akan tetapi, penggantinya, Abu Taghlib yang juga bergelar al-Gadanfar, tidak berhasil mempertahankan wilayah kekuasaan Dinasti Hamdaniyah dari serangan Buyid Amiruddawlah (salah seorang penguasa Dinasti Mazyadis yang terkenal karena keberaniannya, memerintah 369 H/979 M–379 H/989 M).
Dengan kekalahan ini Dinasti Hamdaniyah kemudian jatuh ke tangan Buyid Amiruddawlah dan selanjutnya Abu Taghlib diusir dari wilayah Mosul. Ia lalu meminta suaka politik kepada Dinasti Fatimiyah yang berpusat di Mesir.
Tetapi dua orang saudara Abu Taghlib yang bernama Ibrahim dan al-Husain diberi kesempatan oleh Buyid untuk memerintah Mosul secara bersamaan selama beberapa waktu (379 H/981 M–389 H/991 M) sampai kota itu jatuh ke tangan amir Arab lainnya, yakni Uqaylid (salah seorang pemimpin suku Badui keturunan Amir bin Sa’sa’a).
Dalam pada itu, kekuasaan Dinasti Hamdaniyah di Haleb tetap bertahan di bawah kepemimpinan Saifuddawlah (Abul Hasan Ali bin Hamdan, paman Abu Taghlib), yang berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Homs (Suriah) dan kota lainnya yang sebelumnya dikuasai Dinasti Ikhsyid (salah satu dinasti kecil yang juga terdapat di wilayah Suriah). Tetapi dalam perkembangannya wilayah Dinasti Hamdaniyah ini mendapat serangan dari penguasa Bizantium yang berada di Macedonia.
Pengganti Saifuddawlah, Saiduddawlah, ternyata lemah dan tidak mampu mempertahankan wilayahnya dari serbuan tentara Bizantium sehingga beberapa daerahnya, termasuk Homs dan sekitarnya, direbut Bizantium. Demikian juga penguasa selanjutnya, yakni Sa‘id (Saiduddawlah), Ali II, dan Syarif II, tidak mampu membangun kembali kejayaan Dinasti Hamdaniyah.
Mereka boleh dikatakan hanya menunggu kehancuran. Akhirnya, pada 1003, wilayah Hamdaniyah direbut Dinasti Fatimiyah yang ketika itu tampil sebagai kekuatan adikuasa di dunia Islam.
Prestasi penting yang dapat dicatat Dinasti Hamdaniyah dalam sejarahnya adalah (1) menaklukkan wilayah Suriah dan mempertahankannya hingga 1003, (2) menjadi benteng pertahanan bagi wilayah Islam dari serangan tentara Romawi, dan 3) di wilayah dinasti ini muncul ilmuwan besar Islam, seperti Abu Faraj al-Isfahani, al-Farabi, dan Abu Tayyib al-Mutanabbi (ahli bahasa dan penyair terkenal, w. 354 H/965 M).
Daftar Pustaka
Bosworth, Clifford Edmund. The Islamic Dynasties: A Chronological and Genealogical Handbook. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1980.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1970.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press, 1988.
O’Leary, De Lacy. Arabic Thought and Its Place in History. London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1954.
MusdaH Mulia