Ayyam Al-‘Arab

Secara kebahasaan ayyamul Al-Arab berarti “hari-hari bangsa Arab”. Adapun yang dimaksud dengan istilah ini adalah hari-hari perang antarkabilah pada siang hari. Di kalangan masyarakat Arab pra-Islam (Jahiliah) sering terjadi konflik perebutan kepemimpinan, sumber air, dan padang rumput untuk ternak, yang mengakibatkan pertumpahan darah. Perang dihentikan jika malam tiba.

Peperangan itu adakalanya dinamakan sesuai nama lokasi terjadinya atau nama sumber air yang menjadi penyebabnya, seperti Perang ‘Ain Abagh, Perang Zi Qar, dan Perang Syi‘b Jabalah. Adakalanya pula peperangan dinamakan dengan nama orang, hewan, atau apa saja yang menjadi latar belakang terjadinya peperangan itu, seperti Perang al-Basus (nama seorang wanita tua, al-Basus) dan Perang Dahis wa al-Gabra’ (nama kuda jantan dan unta betina, Dahis dan al-Gabra’).

Peperangan antarkabilah Arab itu sering terjadi sehingga dapat dikatakan sudah menjadi tradisi. Oleh karena itu, “undang-undang” yang ditaati bangsa Arab, baik yang kuat maupun yang lemah, pada waktu itu adalah “pembalasan dendam” (al-akhz bi as-sa‘r). Apabila anggota kabilah A membunuh anggota kabilah B, kabilah B berhak membunuh­ anggota kabilah A. Peperangan baru berakhir setelah didamaikan pihak ketiga, biasanya, dengan menetapkan denda yang harus dibayar pihak yang bersalah.

Sering kali pula, pihak yang dirugikan tidak bersedia menerima denda, karena itu dapat menjatuhkan reputasi kabilah. Inilah yang biasanya menyebabkan peperangan berkelanjutan sampai beberapa generasi.

Peperangan juga terjadi karena masalah sepele. Misalnya, anggota dari satu kabilah menghina anggota kabilah lainnya atau perbedaan pendapat yang berkenaan dengan hak perseorangan yang segera melibatkan kabilah masing-masing. Peperangan antara dua kabilah sering mendahsyat karena keterlibatan kabilah lain yang menjadi sekutu dua kabilah yang terlibat peperangan.

Ada beberapa Ayyam al- ‘Arab yang dicatat sejarah, antara lain sebagai berikut.

1. Perang al-Basus. Perang yang terjadi antara kabilah Bakr dan kabilah Taghlib pada akhir abad ke-5 H/627 M, berlangsung berulang-ulang selama 40 tahun. Peperangan ini bermula dari seekor unta milik wanita tua, al-Basus, dari kabilah Bakr. Unta itu memasuki padang rumput yang diakui Kulaib, ketua kabilah Taghlib, sebagai wilayah kekuasaan-nya.

Dalam peperangan panjang dan berulang-ulang itu kemenangan dan kekalahan silih berganti di antara kedua kabilah itu. Pada Perang ‘Unaizah, peperangan­ berlangsung seimbang; pada Perang Wardat, kemenangan­ berada pada kabilah Taghlib; dan pada Perang Quddah kemenangan be-rada pada kabilah Bakr. Setelah 40 tahun, kedua kabilah itu kemudian didamaikan oleh al-Haris bin Amr al-Kindi.

Pada masa perkembangan Islam, kisah peperangan­ ini masih terus diingat orang, bahkan bercampur­ dengan legenda, terutama tentang kepahlawanan saudara laki-laki Kualib yang bernama al-Muhalhal. Kisah ini diabadikan dalam bentuk syair dengan judul az-Za’ir as-Salam (Peziarah yang Selamat).

2. Perang Dahis dan al-Gabra’. Perang yang terjadi antara Qais bin Zuhair dari kabilah Abbas dan Hamal bin Badar dari kabilah Zabyan; disebut juga Perang Qais. Perang ini berawal dari taruhan kecepatan antara kuda jantan Qais bin Zuhair (Dahis) dan unta betina Hamal bin Badar (al-Gabra’).

Untuk itu mereka mempertaruhkan 100 ekor unta. Mereka kemudian sepakat bahwa pertandingan itu akan dilaksanakan 40 hari kemudian, karena kedua hewan itu perlu dipersiapkan. Pada hari yang telah ditentukan, kedua hewan dibawa ke gelanggang.

Hamal bin Badar menempatkan beberapa pemuda di jalan setapak di pinggiran bukit dan memerintahkan mereka untuk membelokkan­ arah lari kuda Qais bin Zuhair jika tiba lebih dulu, sehingga menjauh dari tujuan. Ketika kuda jantan dan unta betina dilepas, ternyata unta betina itu keluar dari semak belukar lebih dahulu.

Hamal bin Badar mengatakan­ bahwa ia telah memenangkan pertaruhan itu, tetapi Qais bin Zuhair menyangkalnya, karena kudanya belum keluar dari semak. Dahis keluar dari semak dan berhasil melampaui al-Gabra’. Ketika Dahis hampir mencapai finis, para pemuda tadi melompat dan berhasil membelokkannya sehingga kuda jantan itu menjauhi garis finis.

Hal inilah yang menyebabkan peperangan antara kedua kabilah. Peperangan itu terjadi berulang-ulang selama 40 tahun. Banyak syair digubah untuk mengabadikannya.

3. Perang Fujjar. Perang yang terjadi pada bulan haram (Rajab, Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam) antara kabilah bangsa Arab. Perang Fujjar terjadi beberapa kali dengan latar belakang yang berbeda. Perang Fujjar pertama terjadi antara kabilah Kinanah dan kabilah Hawazin. Perang ini tidak begitu dahsyat.

Perang Fujjar kedua terjadi antara kabilah Quraisy dan kabilah Hawazin. Beberapa orang dari kedua kabilah terbunuh. Kedua belah pihak berhasil didamaikan oleh Harb bin Umayah. Perang Fujjar ketiga terjadi antara kabilah Kinan-ah dan kabilah Hawazin yang disebabkan utang yang tidak dibayar oleh seseorang dari kabilah Kinanah.

Perang Fujjar yang terkenal adalah yang keempat, yaitu antara kabilah Quraisy dengan Kinanah di satu pihak dan kabilah Hawazin di lain pihak. Perang terakhir ini terjadi ketika Muhammad SAW berusia 14 tahun.

4. Perang-perang kecil lain. Jumlahnya banyak, antara lain adalah Perang al-Khazaz (perang antara kabilah Rabi‘ah dan kabilah Yaman), Perang Takhfah (perang antara kabilah al-Munzir bin Ma’ as-Sama’ dan Yarbu), Perang Uwarah I (perang antara kabilah Uwarah dan Bakr), Perang Uwarah II (perang antara kabilah Uwarah dan kabilah Tamim), Perang Zuhr ad-Dahna’ (perang antara kabilah Asad dan kabilah Ta’), Perang Kulab (perang antara kabilah Bakr dengan kabilah Tamim di satu pihak dan kabilah Taghlib dengan kabilah an-Namr di lain pihak), Perang Hawzah (perang antara kabilah Sulaim dan kabilah Gatafan), dan Perang al-Liwa (perang an-tara kabilah Gatafan dan kabilah Hawazin).

Peristiwa perang antarkabilah Arab tersebut diabadikan dalam bentuk syair dan kisah yang diselang-selingi dengan syair. Tujuannya adalah untuk membanggakan satu kabilah terhadap kabilah lainnya. Syair dan kisah itu diwariskan turun-temurun secara lisan. Pada abad ke-2 H/ke-8 M, syair dan prosa itu dihimpun dalam buku. Abu Ubaidah (w. 211 H/827 M), sejarawan Arab masa awal Islam, telah menghimpun 1.200 peristiwa perang dalam kumpulan syairnya yang kemudian menjadi sandaran bagi yang datang sesudahnya.

Buku ini tidak ditemukan lagi, tetapi dijumpai penjelasan para kritikus sastra atau sejarawan terhadap syair yang terdapat di dalamnya, seperti pada buku al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah yang Lengkap) karya Ibnu Asir dan al-‘Iqd al-Farud (Kalung yang Unik) karya Ibnu Abd Rabbih.

Kumpulan syair dan prosa tentang peperangan antar­ kabilah tersebut di atas mempunyai ciri tersendiri: (1) al-madh (pujian), yaitu memuji-muji kepahlawanan seseorang,­ teruta-ma yang berasal dari kabilah penggubah; (2) al-haja’ (hinaan), yaitu merendahkan kabilah musuh; (3) al-gazl (rayuan); dan (4) fanatisme kabilah.

Sebagai karya bangsa Arab pra-Islam, kumpulan syair Ayyam al-‘Arab dipandang para sejarawan di kemudian hari sebagai sumber sejarah yang sangat penting. Sebelum hijrah, bangsa Arab belum mengenal tahun. Masa selalu dikaitkan dengan peristiwa besar yang biasanya dijadikan sebagai awal penghitungan tahun.

Ketika peristiwa besar terulang kembali, peristiwa lama dilupakan dan penghitungan  tahun dimulai dari peristiwa yang baru. Oleh karena itu, perkembangan bangsa Arab pra-Islam secara kronologis dapat diketahui dari kumpulan syair tersebut meskipun tidak seluruhnya menggambarkan kenyataan. Ibnu Asir (1160–1233), sejar-awan muslim terkenal, dalam kitabnya al-Kamil fi at-Tarikh berusaha memaparkan peristiwa perang antarkabilah Arab itu secara kronologis.

Haji Khalifah, sejarawan Arab, dalam kitabnya yang berjudul Kasyf az-Zunun ‘an Asami al-Kutub wa al-Funun (Mengungkap­ Praduga tentang Kitab dan Ilmu Penting) mengatakan bahwa ilmu Ayyam al-‘Arab merupakan ilmu yang membahas peristiwa besar di antara kabilah Arab, dan ilmu ini selayaknya menjadi salah satu cabang ilmu sejarah.

Sebagai karya sejarah, Ayyam al-‘Arab mempunyai ciri khas. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

(1) Perhatian khususnya terletak pada kehidupan masyarakat kabilah. Kisah peperangan diturunkan secara lisan dalam bentuk prosa yang diselang selingi dengan syair. Syair itu mempunyai peran pokok karena memberikan dinamika dan pengaruh mendalam. Dalam perkembangan selanjutnya, syair itu justru menjadi sumber sejarah (nasab) dan rujukan bahasa Arab pra-Islam.

(2) Penggubah syair yang terdapat dalam kisah Ayyamul al-‘Arab itu tidak dikenal lagi, sehingga riwayat atau kisah kabilah yang diturunkan­ secara lisan itu sudah menjadi milik bersama kabilah yang bersangkutan.

(3) Kronologi peristiwa peperangan sangat rumit, karena itu ada yang berpendapat bahwa kumpulan peristiwa itu tidak dapat dikatakan sebagai karya sejarah.

(4) Objektivitasnya diragukan karena digubah untuk tujuan memuliakan dan melebih-lebihkan satu kabilah dan merendahkan kabilah lain.

(5) Isinya mengandung­ kebenaran faktual dan historis meskipun tidak secara keseluruhan.

Daftar Pustaka

Duri, Abdul Aziz. Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm at-Tarikh ‘Ind al-‘Arab. Beirut: Dar al-Masyriq, 1993.
–––––––. The Rise of Historical Writing among the Arabs. Princeton: Princeton University Press, 1983.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa as-Saqafi wa al-Ijtima. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1964.
Ibnu al-Asir. al-Kamil fi at-Tarikh. Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1977.
Kasyif, Sayidah Ismail. Masadir at-Tarikh al-Islam wa Manahij al-Bahs fih. Cairo: Maktabah al-Khanji, 1976.
Nashshar, Husain. Nasy’at at-Tadwin at-Tarikhi ‘Ind al-‘Arab, Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, t.t.

Badri Yatim