Al-Mutanabbi (lengkap: Abu Tayyib Ahmad bin Husain bin Murrah bin Abdul Jabbar al-Ju‘fi al-Kindi al-Kufi) adalah seorang penyair Irak yang sangat terkenal pada masanya. Nama al-Ju‘fi yang disandangnya diambil dari nama kakeknya, Ju‘fi bin Sa‘ad. Sebutan al-Kindi dan al-Kufi berasal dari nama kampung kelahirannya, Kindah, yang terletak di Kufah, Irak. Ia sering pula dikenal dengan nama Abu Tayyib al-Mutanabbi.
Ayahnya, Husain bin Murrah, adalah seorang petugas pengairan yang menyalurkan air untuk penduduk Kindah. Neneknya dari pihak ibu seorang wanita Kufah yang saleh berasal dari kabilah Hamdan. Al-Mutanabbi tidak pernah menggunakan nama keluarga atau kabilahnya.
Nama al-Mutanabbi sebenarnya bukan nama yang dipilihnya sendiri, tetapi diberikan orang kepadanya sejak ia muda. Banyak cerita yang mengungkapkan asal-usul nama ini. Secara etimologis, al-mutanabbi berarti “orang yang mengaku dirinya nabi”.
Tetapi menurut al-Khatib al-Baghdadi (1002–1071, ahli sejarah), Abu Tayyib Ahmad digelari al-Mutanabbi karena mengaku berasal dari keluarga Alawi Hasani (keturunan Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib), kemudian mengaku sebagai nabi. Pengakuan ini dibuatnya ketika ia tinggal di Kalb, satu tempat di Syam (Suriah). Tetapi setelah diteliti, pengakuan ini ternyata tidak benar.
Cerita lain menyebutkan bahwa pada suatu hari Abu Tayyib Ahmad diminta untuk mengendarai unta liar betina oleh Bani Adi, salah satu kabilah di Suriah. Jika ia berhasil, ia akan diakui sebagai nabi. Ternyata ia berhasil mengendarainya dan membuat unta itu tenang seperti hewan jinak. Kejadian itu membuat Bani Adi yakin bahwa Abu Tayyib mempunyai kekuatan tertentu yang sama dengan nabi.
Diceritakan pula bahwa pada suatu ketika ada seseorang luka parah terkena pisau. Abu Tayyib Ahmad meludahi lukanya dan menekannya dengan erat sehingga luka itu sembuh. Peristiwa ini membuat kabilah itu makin yakin bahwa ia adalah nabi.
Cerita lain lagi menyebutkan bahwa penyair ini pada suatu ketika pernah mengaku sebagai nabi. Pada waktu itu ia membaca 114 kalimat dari Al-Qur’an dan memperlihatkan kemukjizatannya dengan menahan hujan yang turun agar tidak membasahi tempatnya berdiri. Hujan hanya turun di sekelilingnya. Peristiwa ini memperkuat pengakuannya bahwa ia adalah nabi.
Menurut Ibrahim al-Yajizi (ahli bahasa dan sastra Arab), cerita di atas tidak benar dan tidak berdasar. Ibrahim al-Yajizi mengumpulkan syair al-Mutanabbi dalam sebuah buku yang berjudul Diwan al-Mutanabbi (Kumpulan Syair al-Mutanabbi).
Ia menyatakan bahwa Abu Tayyib Ahmad digelari al-Mutanabbi karena syair yang dilantunkannya sangat membuat kagum para pendengarnya. Bait yang dituangkan dalam syairnya menyerupai kalimat orang yang diberi mukjizat.
Pernyataan ini diperkuat pula oleh keterangan as-Sa’alibi (ahli bahasa Arab, w. 1038) yang menyatakan bahwa sejak kecil Abu Tayyib telah menampakkan kemampuannya yang besar. Ia mampu mengungkapkan kata, ungkapan, dan syair yang sangat mengagumkan para pendengarnya.
Al-Mutanabbi lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Walaupun begitu, ia dan ayahnya sering berkunjung ke berbagai wilayah. Ibunya meninggal ketika ia masih muda. Ia menikah sesudah tahun 938 dengan seorang wanita asal Suriah.
Sejak kecil al-Mutanabbi telah menunjukkan kepintaran dan kekuatan hafalannya, serta terkenal mencintai ilmu dan sastra. Ia banyak bergaul dengan para sastrawan, ulama, dan penulis pada masanya.
Diceritakan bahwa pada suatu hari ia berada di rumah salah seorang penulis. Lalu datanglah seseorang ingin menjual sebuah buku nahu yang terdiri dari 30 halaman. Al-Mutanabbi mengambil buku itu dan membuka halaman demi halaman sampai halaman terakhir.
Karena bosan menunggu, pemilik buku itu berkata, “Wahai pemuda, engkau telah menghalangiku untuk menjual buku ini, dan sekiranya engkau ingin menghafalnya, maka engkau tidak mungkin melakukannya sekarang.” Mendengar ucapan itu al-Mutanabbi menyatakan, “Sekiranya aku dapat menghafal isinya, apa yang akan engkau hadiahkan kepada saya?” Laki-laki itu menjawab, “Aku akan memberi buku itu kepadamu.”
Penulis yang menjadi tuan rumah lalu memegang buku itu dan membukanya sementara al-Mutanabbi membaca apa yang tertulis dalam buku itu sampai selesai seluruhnya.
Ia berguru kepada banyak ulama (seperti as-Sukkari, Naftawih, dan Ibnu Dastawaih) dan kepada para ahli bahasa dan sastra (seperti Muhammad bin Duraid, Abu al-Qasim Umar bin Saif al-Baghdadi, dan Abu Imran Musa).
Al-Mutanabbi adalah penyair yang sering bepergian ke tempat di sekitar Kufah. Pada 924, ketika Kufah diserang golongan Qaramitah, ia meninggalkan kota itu dan tinggal di daerah pedalaman selama 2 tahun. Di sana ia bergaul dengan orang Arab Badui.
Ia kemudian kembali ke Kufah dan tinggal di sana selama setahun. Pada 927 ketika kaum Qaramitah mengalahkan tentara Abbasiyah, ia meninggalkan Kufah untuk kedua kalinya. Peristiwa ini sangat berkesan di dalam dirinya, sehingga dinyatakan dalam bait syairnya. Pada 319 H/931 M ia terpaksa pindah ke Baghdad bersama sebagian penduduk Kufah lainnya karena Qaramitah masih menguasai Kufah.
Pada 933 ia pergi ke Suriah. Saat itu Suriah terbagi atas dua bagian, yaitu yang dikuasai Muhammad bin Tugj al-Ikhsyid (memerintah 935–946) dari Dinasti Ikhsyidiyah dan yang dikuasai Ibnu Ra’iq, gubernur Damascus dari Dinasti Hamdaniyah.
Selama di Suriah ia banyak melantunkan syair puji annya kepada para pembesar kerajaan ketika itu, seperti Musawir bin Muhammad ar-Rumi, Husain bin Abdullah bin Tugj (kemenakan al-Ikhsyid), dan Tahir al-Alawi.
Al-Mutanabbi tinggal di Suriah selama 15 tahun. Pada 935 ia dipenjara karena dituduh mengaku sebagai nabi. Di negeri ini ia sangat populer dan terkenal dengan berbagai macam syairnya. Di sini ia menyusun 44 kasidah yang ditujukan kepada para pembesar istana yang jumlahnya mencapai 32 orang.
Para pembesar istana yang dipujinya antara lain adalah Badr bin Amr al-Asadi, Na’ib bin Ra’iq, dan Musawir bin Muhammad ar-Rumi. Di samping popularitas, ia juga mendapatkan banyak uang dari para penyanjungnya. Karena itulah sebagian kasidahnya dinamakan al-qasa’id ad-danariyyah (kasidah yang dibayar dengan dinar).
Meskipun sangat dekat dengan para raja dan sultan, ia hidup miskin sampai 947. Akan tetapi, ada satu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa ia orang terpandang, sangat mandiri, dan meyakini hak yang harus diperolehnya dari orang pada zamannya. Ia sering kali bangga dengan syairnya yang dikagumi dan disenangi para pembesar.
Melihat kehebatannya ini Hasan bin Ubaidillah bin Tugj (saudara al-Ikhsyid) mengajaknya pergi ke kota Ramlah di Palestina. Kesempatan ini memberinya peluang untuk mengadakan hubungan dengan Abu al-Asya’ir bin Hamdan, wali kota Antakya (bagian utara Suriah), yang merintis jalan baginya untuk sampai ke Saifuddawlah Ali bin Abdullah bin Hamdan (amir Suriah, memerintah 945–967). Amir ini melimpahkan kemewahan kepadanya.
Hasan bin Ubaidillah bin Tugj juga membawanya menghadap Sultan Ali bin Tugj. Kasidah yang dilantunkannya menggugah hati Sultan untuk menghadiahkan kepadanya uang seribu dinar. Ia cukup lama tinggal bersama Ibnu Tugj. Ketika berada di Ramlah, ia juga memuji Abu al-Qasim Tahir bin Husain bin Tahir al-Alawi (pembesar kerajaan di kota itu) atas perintah Ibnu Tugj. Abu al-Qasim juga mengaguminya.
Ia meninggalkan Ramlah pada 947 melalui Baalbek, kota di sebelah timur laut Beirut, menuju Antakya. Di Baalbek ia bertemu dengan Ali bin Askar (seorang ahli bahasa) yang memintanya untuk tinggal bersamanya. Ali bin Askar pun tidak luput dari syair pujiannya.
Al-Mutanabbi berangkat menuju Mesir pada 957 dan menetap di sana selama 4,5 tahun. Di Mesir ia bertemu dengan Abu al-Misk Kafur al-Ikhsyid (memerintah 966–968) dan memujinya selama 3 tahun. Untuk ini ia menyusun 9 kasidah dengan 370 bait syair atau seperempat dari syair yang diucapkannya untuk Saifuddawlah. Ia meninggalkan Mesir menuju Kufah pada 961.
Perjalanan keliling al-Mutanabbi menghabiskan waktu 30 tahun. Pada waktu ia kembali ke Kufah, negeri Irak ketika itu sudah 16 tahun berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi. Di sini ia tinggal selama hampir 3 tahun. Selama di Kufah ia tidak hanya menjadi penyair, tetapi juga pernah ikut berperang melawan tentara Bani Kilab (dari Arabia Selatan) yang menyerang Kufah.
Pada 963 ia meninggalkan Kufah menuju Baghdad. Di kota ini ia bertemu dengan al-Mahlabi (salah seo-rang menteri dalam pemerintahan Mu‘izz ad-Daulah, dari Bani Buwaihi) dan tinggal bersamanya selama 3 bulan. Setelah itu ia pergi ke Faris, satu kota di Iran dekat Teluk Persia.
Di kota ini ia diterima Abu al-Fadl bin al-Amid (seorang sastrawan besar) yang sebelumnya tidak senang kepadanya. Ia berada di sini selama 2 bulan. Dari Faris ia menuju Syiraz, kota dekat Faris, dan tinggal di sana selama 3 bulan. Kemudian ia ke Baghdad dan terus ke Kufah, kampung halamannya. Tidak lama kemudian ia meninggal dunia dalam usia 50 tahun.
Al-Mutanabbi tidak meninggalkan karya tulis mengenai syair yang diucapkannya. Syairnya hanya ditulis oleh juru tulis para pembesar kerajaan yang disanjungnya dan kemudian dihimpun dalam Diwan al-Mutanabbi.
Daftar Pustaka
Abdullah bin Muslim, Abu Muhammad. asy-Syi‘r wa asy-Syu‘ara’. Cairo: al-Maktabah, t.t.
al-Hasyim, Josef. Abu at-Tayyib al-Mutanabbi. Beirut: Dar asy-Syarq al-Jadid, 1962.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan Education Ltd., 1970.
Lajnah min al-Asatizah bi al-Aqtar al-‘Arabiyah. al-Mujaz fi al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhuh, al-Adab al-‘Abbasi. Libanon: Dar al-Ma‘arif, t.t.
A. Thib Raya