al-Hadarah

Secara kebahasaan, al-hadarah berhubungan dengan produk kehidupan masyarakat perkotaan. Dalam bahasa Arab, al-iqamah fi al-hadar berarti “bertempat tinggal di bandar atau kota” sebagai lawan kata al-badawah yang berarti “bertempat tinggal di padang pasir atau desa”. Dalam konteks Islam, ada yang mengartikannya sebagai “kebudayaan atau peradaban Islam”.

Menurut filsuf Jamil Shaliba dalam bukunya al-Mu‘jam al-Falsafi (Kamus Istilah Filsafat), al-hadarah pertama kali dipakai Ibnu Khaldun (1332–1406). Dialah pakar sosiologi Islam yang banyak melakukan penelitian terhadap situasi, perkembangan, dan adat istiadat suatu wilayah.

Menurutnya, al-badawah adalah sumber al-hadarah (kebudayaan) karena mereka melakukan kegiatan pertanian dan memelihara hewan ternak untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, sedangkan al-hadar adalah orang yang telah mengalihkan kegiatan usahanya ke bidang industri dan perdagangan sehingga hasil usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lebih beragam daripada yang dihasilkan orang yang tinggal di pedesaan.

Dengan demikian, al-badawah merupakan sumber atau cikal bakal kebudayaan, sedangkan al-hadarah menunjuk ke suatu keadaan akhir kehidupan pedesaan atau kebudayaan yang lebih maju.

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai pengertian al-hadarah dan as-saqafah. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa kedua kata tersebut menunjuk ke satu pengertian atau makna yang sama. Sebagian lagi berpendapat bahwa kata as-saqafah digunakan untuk menunjuk ke arti perkembangan segi pemikiran dan perasaan, sedangkan al-hadarah ke arti perkembangan kehidupan sosial kemasyarakatan, khususnya segi kehidupannya yang bersifat fisik-materiil.

Selanjutnya ada pula yang berpendapat bahwa as-saqafah mengacu pada hasil perkembangan kehidupan materiil atau kebendaan, sedangkan al-hadarah pada hasil perkembangan pemikiran dan rohani manusia.

Dalam bahasa Indonesia, kata al-hadarah biasanya diterjemahkan dengan “kebudayaan”, yang berasal dari kata buddhaya (bhs. Sanskerta) dari kata buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian dari segi kebahasaan, kebudayaan banyak­ berhubungan dengan hasil akal dan budi manusia.

Namun demikian, kata al-hadarah tidak seluruhnya cocok diartikan dengan “kebudayaan”. Kata al-hadarah, sebagaimana dikemukakan Ahmad Syalabi, pakar di bidang kebudayaan Islam dari Mesir, dalam bukunya History of Muslim Education (Sejarah Pendidikan Islam), mengacu pada kebudayaan­ Islam.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa jika ingin memahami al-hadarah atau kebudayaan Islam, seseorang terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur’an berikut macam dialeknya, sebab turunnya, tafsirannya, dan sejarah bangsa Arab.

Selain itu ia juga harus memiliki pengetahuan tentang hadis, fikih, usul fikih, tauhid, tarikh tasyri‘ al-Islami (sejarah pembinaan hukum Islam), dan pengetahuan agama Islam lainnya. Menurutnya, jika ingin mengetahui kebudayaan Islam tanpa memiliki pengetahuan tentang keislaman sebagaimana tersebut di atas, seseorang akan sulit menghindarkan diri dari kesalahan.

Upaya menciptakan produk kebudayaan yang dilandasi nilai ajaran Islam tersebut di atas sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang menempatkan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang bertugas antara lain memanfaatkan dan mengolah alam raya dengan segala isinya sesuai dengan petunjuk-Nya.

Dalam melaksanakan tugas tersebut manusia memanfaatkan segenap potensi dan dayanya, baik potensi fisik melalui tubuh dan pancaindra maupun potensi nonfisik dengan akal, hati nurani, dan potensi psikologis lainnya, termasuk insting, perasaan estetika, ekonomi, dan politik.

Al-Qur’an berisikan banyak ayat yang menyuruh manusia mempergunakan segenap potensi yang dimilikinya, baik potensi fisik maupun nonfisik, khususnya akal, kalbu, hati nurani, dan perasaan (QS.2:76; 12:2; 22:46; 39:22; dan 67:10).

Pembagian al-hadarah.
Dalam sejarah Islam terlihat dengan jelas bahwa umat Islam termasuk sangat aktif melakukan kegiatan di bidang kebudayaan, seperti terlihat di zaman klasik Islam (650–1250).

Menurut Harun Nasution, guru besar teologi dan filsafat Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini: UIN Syarif Hidayatullah), pada zaman itulah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di barat dan melalui Persia sampai ke India di timur.

Daerah itu tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damascus, dan terakhir di Baghdad. Di masa ini pulalah berkembang dan memuncak ilmu pengetahuan, baik di bidang agama maupun nonagama, dan kebudayaan Islam. Zaman inilah yang melahirkan ulama besar di berbagai cabang ilmu, antara lain di bidang:

(1) hukum: Imam Hanafi (699–767), Imam Malik (716–795), Imam Syafi‘i (767–820), dan Imam Hanbali (780–855);
(2) filsafat dan ilmu pengetahuan: al-Kindi (801–869), al-Farabi (870–950), Ibnu Sina (980–1037), al-Ghazali (1058–1111), dan Ibnu Rusyd (1126–1198);
(3) hadis: Imam Bukhari (810–870), Imam Muslim (817–875), an-Nasa’i (830–915), dan Abu Isa Muhammad at-Tirmizi (824–892);
(4) ilmu pasti dan pengetahuan alam: Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780–850), Abu al-Abbas Ahmad al-Fargani (abad ke-9), Abul Rayhan al-Biruni (973–1048), Umar Khayyam (1048–1131);
(5) kedokteran: Hunain bin Ishak (809–877), Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (w. 932 H), Abu Marwan bin Zuhr (1092–1162);
(6) pertanian/peternakan: Abu Zakaria Yahya bin Awwam (w. 1185), Ibnu Baitar (w. 1248), al-Asma’i (740–828), Abu Usman Amr bin Bahar bin Mahbub al-Jahiz (776–869), al-Kazwini (1203–1283), dan ad-Damiri (1341–1405); dan
(7) ilmu sosial: Abdullah al-Hamawi (1179–1229), Ibnu Batutah (1304–1377), dan Ibnu Khaldun (1332–1406).

Semua bidang tersebut di atas termasuk ke dalam bidang kebudayaan nonfisik yang dikembangkan umat Islam. Selanjutnya dalam kebudayaan yang bersifat fisik, sebagaimana dijelaskan Saleh Iskandar Poeradisastra dalam bukunya Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, umat Islam telah mengembangkan teknik pengairan.

Menurutnya, daerah tandus yang luas di Spanyol mereka suburkan dengan sistem pengairan yang baik dan meluas. Untuk keperluan tersebut mereka membuat bendungan, saluran, dan talang air yang besar. Dalam sistem pengairan, kaum muslimin menggunakan kincir yang mengangkat air dari bawah dan menuangkannya ke dalam talang yang lebih tinggi untuk seterusnya dialirkan.

Selanjutnya, di bidang pembuatan kapal, kaum muslimin juga memiliki kemahiran. Pada 1090 untuk pertama kalinya orang Tionghoa memberitakan pemakaian pedoman yang dibuat kaum muslimin. Mereka pun ahli di bidang pelayaran dan perpetaan. Armada kaum muslimin pernah menguasai Laut Tengah.

Di bidang arsitektur, kaum muslimin mempunyai kemampuan yang besar pula. Pada 675 Uqbah bin Nafi (w. 685), salah seorang panglima perang Dinasti Umayah, membangun Masjid Agung Qairawan, yang kemudian direnovasi Ali bin Yusuf (penguasa Dinasti al-Murabitun, 1107–1143) pada 1135.

Pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (memerintah 685–705) dibangun kubah bukit batu di Darussalam. Selanjutnya pada 705 Khalifah al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan (705–715) membangun masjid di Damascus. Istana Bani Umayah di Syam (Suriah) mulai dibangun 744 dan masih banyak lagi masjid yang dibangun umat Islam di seluruh negara yang dikuasainya.

Pada masa itu menara masjid berpotongan kecil ramping, padahal belum ada beton bertulang. Bahkan ada menara yang mencapai ketinggian 84 m, seperti menara Masjid Sultan Hassan di Cairo, Mesir. Panjang masjid ini mencapai 345 m, sedangkan lebarnya 327 m. Di tengahnya terdapat sebuah air mancur. Di sebelah kirinya terdapat sebuah pintu dari pualam hitam dan putih yang menuju ke sebuah madrasah yang memiliki 365 ruangan.

Selanjutnya terdapat istana Alhambra di Granada, Andalusia, yang terkenal dengan air mancur dan taman indah yang dibangun 1251. Terkenal pula istana Giralda di Sevilla. Masjid Cordoba di Spanyol, yang kini dikenal dengan nama La Mezquita, didirikan Abdurrahman ad-Dakhil (Khalifah Abdurrahman I; memerintah 756–788) dan merupakan masjid jami yang besar.

Di Agra, India, terdapat pula Taj Mahal yang dibangun antara 1632–1648 oleh raja Mughal, Syah Jehan (memerintah 1628–1658), untuk makam permaisuri (Mumtaz Mahal) yang amat disayanginya. Bangunan makam ini, yang terbuat dari pualam putih dan dikelilingi kolam bening dengan pagar cemara, merupakan karya seni arsitektur Islam yang menjadi kebanggaan rakyat India.

Selain itu di Damsyiq (Damascus, Suriah), Baghdad, Samarkand, Cairo, Tunisia, dan Istanbul, abad ke-8 meninggalkan bukti masa kejayaan Islam yang ditandai dengan kemajuan di bidang kebudayaan.

Kepiawaian arsitek muslim, sebagaimana dikatakan Poeradisastra, telah mendapat pengakuan dunia internasional. Bahkan menurut ahli sejarah Jacques-Antoine Dulaure (1755–1835), mereka disewa untuk membangun Katedral Notre Dame di Paris.

Menurut Sayid Husein Nasr, kemajuan di bidang kebudayaan tersebut merupakan hasil perkawinan antara semangat yang memancar dari wahyu Al-Qur’an dan ilmu dari pelbagai peradaban yang diwarisi Islam. Islam telah membentuknya melalui daya rohaniahnya menjadi sebuah “zat baru”, yang sekaligus berbeda dari dan bersambung dengan yang sebelumnya. Sifat internasional dan kosmopolitan peradaban Islam berasal dari watak internasional wahyu Islam dan terpantul dalam penyebaran dunia Islam.

Daftar Pustaka

Ahmad, Zainal Abidin. Sejarah Islam dan Umatnya: Perkembangan dari Zaman ke Zaman. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Asyari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.

Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Poeradisastra, S.I. Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern. Jakarta: P3M, 1986.

Shaliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1978.

Abuddin Nata