Zuhud berarti “tidak menginginkan sesuatu dengan meninggalkannya”. Zuhud dipandang sebagai landasan utama bagi seorang sufi dalam perjalanan spiritualnya mendekati hadirat Ilahi.
Dalam istilah tasawuf, zuhud berarti berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan suatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirat.
Zuhud dalam tasawuf adalah salah satu maqam (tingkatan) yang harus ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagi seorang sufi, maqam zuhud merupakan langkah awal dalam rangka menempuh beberapa maqam selanjutnya.
Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (tokoh fundamentalis tasawuf; w. 988) membagi maqam zuhud menjadi tiga tingkatan, yaitu:
(1) tingkat mubtadi’ (tingkat pemula), yakni orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya;
(2) tingkat mutahaqqiq (tingkat orang yang mengenal hakikat zuhud), yakni orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya; dan
(3) tingkat ‘Alim muyaqqin, yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai. Bagi kelompok ini dunia hanyalah sesuatu yang melalaikan orang dari mengingat Allah SWT.
Sifat Zuhud Menurut Imam al-Ghazali:
- Ia tidak gembira dengan apa yang dapat dicapai dan tidak berduka dengan yang hilang. Ini merupakan tanda zuhud pada harta benda.
- Ia bersikap sama dalam menerima pujian dan ejekan. Ini merupakan tanda zuhud menyangkut pangkat dan kedudukan.
- Hatinya senantiasa diliputi kemesraan dalam mengingat Allah SWT dan merasakan nikmatnya beribadah.
Al-Ghazali juga membagi zuhud atas tiga bagian, yaitu:
- meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik daripadanya,
- meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakhiratan, dan
- meninggalkan segala sesuatu selain Allah SWT karena mencintai-Nya.
Dari pembagian di atas terlihat bahwa pokok persoalan terletak pada pandangan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati dari mengingat tujuan perjalanan sufi, yaitu Allah SWT.
Bagi sufi, dunia ini tidak mempunyai nilai hakiki karena semuanya bersifat fana. Yang betul-betul mengandung nilai ialah surga di akhirat, tetapi itu pun belum mempunyai nilai hakiki. Nilai yang hakiki hanya ada pada asal segala nilai, yaitu Allah SWT. Karena itu para sufi hanya menghadapkan minat dan segenap harapannya kepada Allah SWT. Mereka tidak mementingkan dunia ini karena menganggap dunia penuh tipu daya.
Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan, dapatkah manusia memisahkan dirinya sama sekali dari harta dan segala bentuk kesenangan duniawi? Bukankah para sahabat utama Rasulullah SAW, misalnya Abu Bakar as-Siddiq, Usman bin Affan, dan Abdur Rahman bin Auf adalah orang kaya? Dengan pertanyaan di atas muncul lagi pendapat bahwa yang dikatakan zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi zuhud sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, betapa pun kayanya Nabi Sulaiman AS atau Usman bin Affan, mereka tetap orang zuhud dan hidup dalam keadaan zuhud. Mereka tidak terpengaruh oleh kekayaan itu dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT. Pengertian zuhud seperti ini dekat dengan maksud firman Allah SWT,
“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu” (QS.57:23). Oleh sebab itu harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak orang dalam menghampirkan diri kepada Tuhan.
Mendahului kajian mendalam tentang tasawuf, gerakan zuhud muncul pada akhir abad pertama Hijriah. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah khalifah dan keluarganya serta para pembesar negara yang merupakan dampak dari kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dalam pembebasan negeri Suriah, Mesir, Mesopotamia, dan Persia.
Jika sebelumnya kaum muslimin rata-rata hidup sederhana, corak kehidupan mulai berubah sepeninggal Rasulullah SAW dan sesudah masa empat khalifah. Para khalifah hidup dalam kemewahan dan di antara mereka dengan rakyat terdapat jurang pemisah yang sulit untuk dijembatani.
Rakyat tidak lagi dapat mengadukan nasib mereka secara bebas kepada para khalifah, karena para khalifah telah dikawal ketat oleh para penjaganya. Hal ini mulai terjadi sejak awal masa Dinasti Umayah, yang kemudian berlanjut pada dinasti sesudahnya.
Melihat hal-hal seperti di atas, muncullah orang-orang yang rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana seperti yang pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya. Aliran zuhud ini mulai muncul di Kufah dan Basrah.
Di antara para pemukanya terdapat al-Hasan al-Basri, Rabi’ah al-Adawiyyah, Sufyan as-Sauri, dan Abu Hasyim. Bertolak dari gerakan zuhud ini, kemudian muncullah kajian yang mendalam tentang cara mendekatkan diri kepada Tuhan, yang disebut juga dengan ilmu tasawuf. Zuhud ini berkembang ke arah sikap khauf (takut) dan raja’ (berharap), mahabbah (cinta), fana’ (menyatu dengan sang Ilahi), ma‘rifah (pengetahuan dengan hati sanubari), dan seterusnya.
Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Pelita Hidup Menuju Rida Ilahi. Jakarta: Kalam Mulia, 1991.
–––––––. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
HAMKA. Tasawuf Modern. Bukittinggi: N.V. Nusantara, 1959.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960.
Yunasril Ali