Istilah zindik dalam pemakaiannya menunjuk kepada pengingkaran prinsip ajaran Islam dan segala macam bid’ah dalam pemahaman/penafsiran nas agama atau ajaran Islam menurut hawa nafsu sendiri.
Istilah zindik dinisbahkan untuk golongan atau orang yang membuat penyimpangan dalam menafsirkan nas Al-Qur’an dan hadis. Istilah ini juga dinisbahkan kepada orang yang anti-agama. Karena menyimpang dalam menafsirkan nas agama, mereka merusak kehidupan agama dan negara. Sering pula zindik diartikan untuk orang yang pada lahirnya Islam, tetapi pada batinnya kafir.
Zindiq sendiri berarti kotoran yang membahayakan; bentuk jamaknya adalah zanadiqah. Istilah ini pada mulanya berasal dari bahasa Persia yang diarabkan di Irak pada 125 H (742 M) ketika terjadi eksekusi terhadap Ja’ad bin Dirham yang dipandang sebagai seorang zindik.
Menurut Muhammad Sabit al-Fandi, dalam Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah (Ensiklopedi Islam), apabila istilah yang dibawa ke dalam bahasa Arab itu adalah zind, maka istilah itu berarti sama dengan tafsir atau takwil.
Dengan demikian zindik yang dimaksud di sini adalah tafsir atau takwil yang keluar dari batas yang semes-tinya, yaitu takwil yang tidak dapat diterima menurut prinsip ajaran Islam (seperti apa yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis).
Karena itu Imam Hanbali menolak penafsiran kaum zindik karena mereka menakwilkan ayat Al-Qur’an dengan penakwilan yang merusak ajaran Islam. Istilah zindik menurut Imam Hanbali sama dengan istilah bid’ah (mengadaada) atau ilahd (ateis).
Menurut Abu Hasan Ali al-Mas‘udi (w. 345 H/956 M), seorang ahli sejarah dari Cairo, istilah zindik itu pada mulanya tertuju kepada pengikut aliran Mazdak yang membuat penafsiran baru terhadap kitab suci Avesta (Zendavesta), yaitu dengan menakwilkan sendiri isi kitab suci tersebut yang sangat bertentangan dengan maksud yang sebenarnya.
Menurut al-Biqa‘i, istilah zindik ditujukan kepada mereka yang mengingkari adanya wujud Allah SWT atau mengingkari hukum-Nya. Sementara itu al-Ghazali di dalam kitabnya al-Munqidz min ad-dalal (buku yang membahas berbagai aliran teologi yang saling bertentangan) mengatakan bahwa kaum zindik adalah orang yang mengingkari adanya wujud Allah SWT, alam ini kadim, dan hari akhirat tidak ada.
Di pihak lain al-Mukri, seorang ahli tasawuf, mengatakan bahwa kaum zindik itu ialah orang naturalis yang mengingkari adanya nabi serta kitab yang diwahyukan kepada mereka. Sebuah hadis riwayat mengatakan, “Barangsiapa yang memahami atau menafsirkan nas-nas agama dengan kemauannya sendiri, maka ia termasuk golongan zindik” (HR. at-Tirmizi).
Adapun ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa yang termasuk zindik ada lima golongan:
(1) al-Mu’attilah, yaitu mereka yang mengingkari adanya pencipta dan pengatur alam semesta ini;
(2) al-Manuwiyah, yaitu golongan yang memiliki keyakinan politeisme;
(3) al-Mazdakiyah, yaitu golongan yang memiliki keyakinan sama dengan al-Manuwiyah;
(4) al-Abdakiyah, yaitu para zahid (orang yang hidup hanya dengan beribadah) dari aliran Imamiyah yang berada di Kufah mereka ini tidak mau memakan daging hewan; dan
(5) ar-Rohaniyah, yaitu sufi yang berusaha melepaskan diri dari ikatan hukum syariat dengan jalan cinta rohaniah kepada Allah SWT dan menganggap dirinya telah bersatu dengan Allah SWT karena itu, ia memandang bahwa tidak ada beda antara Khalik (Pencipta) dan makhluk, dan seterusnya makhluk tidak terikat lagi dengan hukum syariat dan tidak wajib menjalankannya (selaku mukalaf).
Ulama Mazhab Maliki di Barat (Andalusia, Spanyol) menetapkan bahwa orang yang menghina Nabi SAW adalah orang zindik, seperti keputusan ulama kepada Abu al-Khair di Cordoba pada masa pemerintahan al-Hakam II dan Ibnu Abi Hatim al-Azdi di Toledo pada 457 H (1064 M). Keputusan yang sama juga dilakukan ulama Mazhab Hanafi, khususnya pada masa pemerintahan Usmani (Kerajaan Usmani/Ottoman).
Dalam bidang kalam, kaum Muktazilah pada awalnya dikatakan sebagai golongan zindik karena ajaran-ajarannya dipandang bermaksud untuk melepaskan diri dari kewajiban syariat, dan menurut al-Ghazali mereka tidak percaya atau mengingkari adanya Tuhan sebagai pengatur alam semesta ini.
Namun kemudian tidaklah demikian adanya. Ternyata sebagian di antara mereka ada yang menjadi ulama besar, fukaha (ahli fikih), mutakallimin (ahli ilmu kalam), dan bahkan menjadi kadi besar (hakim agung), seperti Abdul Jabar.
Secara khusus dalam bidang tasawuf, orang sufi tertentu sering dipandang sebagai orang zindik karena ajaran atau ucapannya dianggap menyimpang dari ajaran agama yang benar, sebagaimana diungkapkan Kamil Mustafa asy-Syaibi, seorang ulama tasawuf.
Zunnun al-Misri mula-mula juga dipandang oleh ulama (fukaha) Mesir sebagai orang zindik, karena dia membicarakan ilmu laduni yang tidak dikenal oleh orang Mesir. Fukaha melalui pengadilan menjatuhkan keputusan hukuman gantung kepada al-Hallaj karena ia dipandang sebagai seorang zindik yang berbahaya bagi keselamatan agama dan negara.
Al-Hallaj mengatakan bahwa dirinya adalah Tuhan (“Ana al-haqq”). Hukuman yang dijatuhi terhadapnya tidak hanya karena tuduhan tersebut tetapi lebih bercorak politis karena ia adalah seorang tokoh Syiah Qaramitah.
Dalam pada itu Syiah yang moderat mengatakan bahwa golongan Syiah Gulat yang berpandangan ekstrem adalah orang zindik karena ajarannya tentang ketuhanan. Mereka mengajarkan bahwa Tuhan menjelma (inkarnasi) ke dalam diri Ali bin Abi Thalib RA.
Orang yang mempunyai pemikiran bebas dengan kemauannya sendiri ketika memahami atau menafsirkan nas-nas agama, yaitu yang tidak terikat pada bunyi lahir nas, sering pula dipandang sebagai zindik.
Daftar Pustaka
al-Fandi, Muhammad Sabit. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah. Cairo: Dar asy-Sya‘b, t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Munqidz min ad-dalal. Turki: Hakikat Kitabevi, 1981.
Nicholson, Reynold A. Studies in Islamic Mysficism. t.tp.: Cambridge University Press, 1921.
asy-Syaibi, Kamil Mustafa. as-silah baina at-Tasawwuf wa at-Tasyayyu‘. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1969.
Asmaran As