Menurut fikih Islam, kaum zimi adalah orang non-Islam yang mendapat jaminan Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum muslim untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam.
Secara kebahasaan, ahl adz-dzimmah berarti perjanjian, pemilik tanggungan, dan pemilik jaminan. Dalam istilah fukaha (ahli fikih) orang non-Islam yang bertempat tinggal di wilayah negara Islam dan mendapat perlindungan dari penguasa Islam di negara itu, termasuk perlindungan nyawa serta harta benda mereka.
Dapat pula dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kaum zimi ialah orang nonmuslim yang mengadakan perjanjian dengan orang Islam untuk hidup berdampingan secara damai dalam negara Islam. Untuk itu mereka dikenai jizyah (pajak pribadi).
Istilah ahl adz-dzimmah muncul setelah timbul pembagian negara yang didasarkan atas agama. Fukaha membagi negara menjadi dua bagian, yaitu darul Islam dan darul harbi. Darul Islam menurut istilah fukaha adalah setiap wilayah yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Adapun darul harbi diartikan sebagai wilayah yang dikuasai dan diperintah umat non-Islam yang memerangi darul Islam.
Suatu pemerintahan dikatakan sebagai darul Islam jika pemerintahnya orang Islam, penduduknya mayoritas Islam, dan dalam wilayah tersebut diterapkan pula hukum Islam. Ciri-ciri darul harbi ialah bahwa wilayah tersebut diperintah orang non-Islam, penduduknya pada mayoritas non-Islam serta di wilayah tersebut tidak diterapkan hukum Islam.
Jika antara darul Islam dan darul harbi terjadi kesepakatan perdamaian, warga wilayah darul harbi yang tinggal di wilayah darul Islam dijamin mengenai keamanan jiwa, harta benda, dan hak pribadinya sebagaimana yang diterima oleh warga muslim lainnya. Sebagai imbalan atas jaminan keamanan jiwa dan harta mereka serta hak lainnya yang diterima, kaum zimi diharuskan membayar jizyah.
Hak kaum zimi pada dasarnya sama dengan hak orang Islam lainnya karena di wilayah darul Islam ini suatu sikap toleran yang tinggi diberikan Islam kepada orang non-Islam. Prinsip menghormati hak non-Islam di daerah kekuasaan Islam didasarkan kepada ayat Al-Qur’an, sunah Nabi, dan atsar (perkataan/berita) para sahabat.
Dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menunjukkan bahwa dalam masalah keduniaan, hak dan kewajiban antara muslim dan non-muslim pada dasarnya tidak berbeda. Ini dapat dilihat antara lain dalam surah al-Anfal (8) ayat 61 yang menyatakan, “Dan jika mereka (non-Islam) condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah….”
Makna yang sama juga dapat dilihat dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 90 dan 94. Ayat tersebut mengandung prinsip damai antara warga negara Islam dan non-Islam. Kaum zimi dalam ayat tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum muslimin di wilayah darul Islam.
Prinsip ini baru dikenal dan dijalankan di Eropa setelah muncul Revolusi Perancis (1789). Kemudian dalam hadis Nabi SAW terdapat ucapan beliau yang sangat terkenal tentang kaum zimi, “Siapa yang mengganggu ahl adz-dzimmah, berarti dia telah mengganggu aku.”
Kemudian atsar sahabat dapat dilihat dari berbagai peris-tiwa penaklukan daerah non-Islam. Umar bin Khattab, umpamanya, tidak mau membagi kekayaan negeri Syam (Suriah) kepada para tentara sebagaimana lazimnya setelah negeri tersebut ditaklukkan orang Islam.
Ketika itu dia mengeluarkan pernyataan yang sangat bijaksana tentang hak orang non-Islam yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Umar berkata, “Jika harta mereka saya ambil, lalu dengan apa mereka hidup?”
Kaum zimi akan tetap aman dan damai di bawah pemerintahan penguasa Islam dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari, baik yang menyangkut hak politik, ekonomi, budaya, maupun kegiatan keagamaan selama mereka tidak mengganggu prinsip akidah Islam atau mengacaukan masyarakat.
Hak Kaum Zimi.
Pada dasarnya, perlakuan terhadap kaum zimi dalam sebuah darul Islam (negara Islam) sama dengan perlakuan terhadap kaum muslim. Mereka memiliki hak yang sama dengan kaum muslim, kecuali dalam hal-hal tertentu. Hak kaum zimi itu mencakup hak-hak seperti di bawah ini.
- Hak perlindungan. Hak ini meliputi perlindungan terhadap segala macam pelanggaran, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri. Perlindungan terhadap kaum zimi itu mencakup perlindungan atas: (a) jiwa dan raga, (b) harta benda, dan (c) kehormatan.
- Jaminan hari tua dan kemiskinan. Islam memberikan jaminan sosial berupa santunan hari tua dan kemiskinan atas kaum zimi serta keluarganya. Hal ini didasarkan atas ijmak para sahabat di masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Ini terlihat pada ‘aqd adz-dzimmah (perjanjian jaminan) yang ditulis oleh Khalid bin Walid (sahabat Nabi SAW, panglima perang yang ulung; w. 21 H/641–642 M) untuk penduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani: “Saya tetapkan bagi mereka, setiap yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja, atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya ia kaya kemudian jatuh miskin sehingga meminta sedekah dari teman-teman seagamanya, maka saya membebaskan mereka dari membayar jizyah, dan untuk selanjutnya ia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi tanggungan baitulmal (kas negara) kaum muslim.”
- Kebebasan beragama. Menurut ajaran Islam, setiap orang berhak memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Seseorang tidak boleh dipaksa meninggalkan agamanya untuk masuk agama Islam. Landasan hak ini ialah firman Allah SWT, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…” (QS.2:256).
- Kebebasan bekerja dan berusaha. Fukaha menegaskan bahwa kaum zimi berkedudukan sama dengan kaum muslim dalam berbagai lapangan pekerjaan. Mereka dapat menikmati kebebasan penuh dalam perdagangan, industri, keterampilan, pertanian, dan sebagainya. Hal ini terbukti dalam sejarah kaum muslim sepanjang masa. Pada masa Rasulullah SAW kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah senantiasa bebas melakukan pekerjaan mereka dalam berbagai lapangan usaha.
- Jabatan dalam pemerintahan. Ahl adz-dzimmah juga memiliki hak untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum muslim, kecuali jabatan-jabatan yang memiliki warna keagamaan, seperti imam, pemimpin tertinggi negara, panglima militer, dan hakim untuk kaum muslim serta penanggung jawab urusan Zakat dan sedekah.
Kewajiban Kaum Zimi.
Di samping hak yang diterima kaum zimi, mereka juga mempunyai kewajiban sebagai imbangan dari hak tersebut. Kewajiban mereka mencakup hal di bawah ini.
- Membayar jizyah, kharaj, dan pajak perdagangan. Jizyah adalah pajak tahunan atas setiap pria kaum zimi yang telah balig berupa sejumlah uang, sesuai dengan besar kekayaannya. Kalau seorang zimi berada dalam kondisi miskin, ia bebas sama sekali dari jizyah. Dasar kewajiban jizyah atas zimi adalah firman Allah SWT,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (QS.9:29).
Adapun yang dimaksud dengan kharaj ialah pajak uang yang dikenakan atas tanah yang masih tetap dalam kekuasaan kaum zimi. Dasar kewajiban kharaj dikiaskan kepada jizyah, karena keduanya merupakan imbalan atas keamanan jiwa raga, harta benda, dan kehormatan yang diberikan kaum muslim.
Adapun pajak perdagangan ialah pajak yang dikenakan atas kaum zimi sekali dalam setahun apabila mereka memindahkan barang dagangan itu dari suatu tempat ke tempat lain. Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa pajak perdagangan ini mirip dengan pajak pabean dewasa ini.
- Komitmen terhadap konstitusi Islam. Adanya kewajiban ini merupakan akibat dari perjanjian (‘aqd adz-dzimmah), yang menjadikan mereka memiliki kewarganegaraan daulah islamiah. Kalau mereka sudah berstatus demikian, sudah pasti harus mengikatkan diri dan tunduk kepada perundang-undangan yang berlaku, yang tidak menyentuh soal akidah dan ibadah mereka.
- Menjaga perasaan kaum muslim. Dalam hal ini, mereka tidak dibenarkan menunjukkan cercaan terhadap Islam, Nabi SAW, dan Al-Qur’an.
Daftar Pustaka
Hamid, Sultan. al-Qanun ad-Duwali al-‘Am fi Waqt as-Silm. Beirut: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1962.
Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Dar al-Ansar, 1977.
Muslim, Imam. Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1984.
Syaltut, Mahmud. al-Islam wa al-‘Alaqat ad-Dauliyyah. Cairo: Matba‘ah al-Azhar, 1951.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑‘Alaqat ad‑Dauliyyah fi al‑Islam: Muqaranah bi al‑Qanun
ad‑Dauli al‑hadits. Beirut: Mu’asasah ar-Risalah, 1981.
–––––––. Atsar al‑harb fi al‑Fiqh al‑Islami: DirÎsah al-Muqaranah. Beirut: Dar al‑Fikr, 1981.
Nasrun Haroen