Dalam tasawuf dzauq diartikan sebagai dorongan hati yang kuat, perasaan batin, kekuatan merasakan sesuatu, kegemaran, rasa hati, atau akal bijak.
Secara kebahasaan dzauq berasal dari kata kerja dzaqa-yadzuqu yang berarti merasa, mengecap, atau mengenyam. Sebagai kata benda dzauq berarti rasa atau merasakan sesuatu (cita rasa yang ada di mulut), seperti dalam ungkapan auq al-lugah (rasa bahasa) dan dzauq at-ta‘am (rasa makanan).
Dalam Al-Qur’an pada umumnya dzauq digunakan untuk menerangkan azab (siksa) dan sedikit sekali digunakan untuk menjelaskan rahmat. Contoh yang berkenaan dengan siksa, ayat Al-Qur’an menyatakan, “Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan pertemuan dengan harimu ini (hari kiamat); sesungguhnya Kami telah melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal disebabkan apa yang selalu kamu kerjakan” (QS.32:14).
Adapun yang berkenaan dengan rahmat, ayat Al-Qur’an menyatakan, “Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa” (QS.30:36).
Bagi ahli tasawuf, istilah ini juga berarti alat yang dapat digunakan untuk memperoleh ilmu tertinggi dan terdalam, seperti makrifat, mauhibah (ilmu pemberian dari Allah SWT kepada orang yang dikehendakiNya), laduni, dan al-isyraqiyyah (limpahan atau pancaran dari Tuhan). Selain itu, istilah ini juga diartikan sebagai kondisi kejiwaan yang menyertai mahabah.
Menurut Abu Rayyan (pakar filsafat dan tasawuf Mesir), dzauq adalah istilah filsafat yang berarti alat untuk menangkap pesan spiritual dari Allah SWT. Menurutnya, dzauq berbeda dengan pancaindra. Alat indra hanya dapat menangkap pesan yang bersifat lahiriah, sedangkan dzauq dapat menangkap pesan yang bersifat batiniah.
Selain itu, dzauq dicapai melalui muraqabah, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui pancaindra harus berdasarkan masukan dari luar atau pengetahuan empiris.
Menurut Mahmud Qasim (pakar filsafat dan tasawuf Mesir), dzauq tidak memiliki hubungan dengan akal, tetapi bertumpu pada daya rasa yang mendalam yang terdapat dalam diri manusia. Dzauq merupakan awal terbukanya tajali. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah (Petunjuk Kota Mekah).
Ilmu yang dihasilkan dzauq melalui tajali dinamakannya an-nazariyyah (ilmu yang bersifat renungan mendalam), darbiyyah (ilmu hasil pemberian Tuhan), rawiyyah (ilmu yang disampaikan oleh Tuhan), atau lahziyyah (ilmu yang datang tiba-tiba).
Orang yang memperoleh pengetahuan melalui dzauq disebut al-‘arifin. Mereka selalu berusaha untuk melaksanakan dzauq yang diterimanya, apabila dzauq tersebut dipandang benar.
Ibnu Arabi menyatakan bahwa semua ilmu yang dimilikinya diperoleh melalui dzauq. Dalam dzauq yang dialaminya dikatakan bahwa nur as-saym (cahaya yang terang benderang) terbuka dengan cara daf‘ah wahidah (sekali limpahan). Kemudian dzauq an-nazr (perasaan berpikir) ini terjadi dengan cara musyahadah (menyaksikan kebesaran kekuasaan Tuhan secara batin). Setelah itu dilanjutkan dengan cara mufaja’ah (secara tiba-tiba), tafkir lafzi (berpikir secara sungguh-sungguh dan tiba-tiba).
Alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan melalui dzauq adalah daya mutakhayyilah (daya merenung yang mendalam dan sungguh-sungguh). Pusat perhatian dzauq an-nazr adalah pengetahuan rohani yang bersumber dari Allah SWT. Karenanya, dzauq berhubungan dengan aspek ontologi (sumber pengetahuan) dan epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan).
Menempatkan Allah SWT sebagai sumber pengetahuan pada konsep dzauq sejalan dengan pernyataan Allah SWT dalam Al-Qur’an, “Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui (Allah)” (QS.12:76).
Ibnu Sina juga mempunyai pengalaman memperoleh pengetahuan melalui dzauq. Ia memiliki kebiasaan untuk segera mendekatkan diri kepada Allah SWT apabila menghadapi kesulitan. Zauq juga dialami Muhammad Qutb (pakar pendidikan Islam Mesir) saat akan menulis buku Manahij at-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Sistem Pendidikan Islam).
Diceritakan bahwa suatu malam hatinya berada dalam kegelapan, lalu ia membaca Al-Qur’an berulang kali. Kemudian ia merasakan adanya gambaran yang jelas dalam jiwanya tentang sistem pendidikan Islam yang sempurna yang belum pernah terlintas sama sekali dalam benaknya.
Pengalaman serupa juga dialami Imam Syafi‘i ketika mengadukan masalah yang dihadapinya dalam memperoleh pengetahuan kepada gurunya, Waqi‘ (salah seorang ulama fikih di Irak). Kemudian sang guru memberi petunjuk kepada Imam Syafi‘i agar meninggalkan perbuatan maksiat (dosa) seraya berkata bahwa ilmu adalah cahaya Allah SWT yang tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat berdosa.
Daftar Pustaka
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Abu Rayyan, Muhammad Ali. Qira’at fi al-Falsafah. Iskandariyah: Dar al-Qaumiyyah, 1967.
al-Ahwani, Ahmad Fu’ad. Ahwal an-Nafs fi an-Nafs wa Baqa’uha wa Maudu‘uha li asy-Syaikh ar-Ra’is Ibn Sina. Mesir: Isa al-Babi al-Halabi wa Syuraka’uh, 1952.
IAIN Sumatera Utara. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, 1981/1982.
al-Isfahani, Ragib. Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Marbawi, Abdurra’uf. Qamus al-Marbawi. Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
Qasim, Mahmud. Dirasah fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Mesir: Dar al-Fikr, 1970.
Abuddin Nata