Zamzam

(Ar.: az-zamzam)

Dalam hadis Nabi SAW Sumur Zamzam  disebut juga Sumur Ismail yang penamaannya dihubungkan dengan sejarah asal mula sumur tersebut pada masa Nabi Ismail AS. Sumur Zamzam terletak di Masjidilharam, Mekah, di sebelah tenggara Ka’bah, berlawanan dengan sudut tempat Hajar Aswad.

Kedalaman Sumur Zamzam mencapai 140 kaki (sekitar 43 m) dan berada dalam kubah yang anggun. Zamzam yang berarti “air yang melimpah” berasal dari kata zamzama yang berarti “minum dengan regukan sedikit”.

Dalam hadis Bukhari diceritakan bahwa ketika masih bayi Ismail dibawa ayahnya, Nabi Ibrahim AS, bersama ibunya, Siti Hajar, ke tempat yang tidak ditumbuhi pepohonan dekat lokasi Ka’bah.

Nabi Ibrahim AS kemudian meninggalkan anak dan istrinya itu dengan bekal sedikit berupa kurma dan air. Ketika Nabi Ibrahim AS hendak beranjak pergi, istrinya memohon kepadanya agar tidak meninggalkan dia dan putranya di lembah yang tiada berpenghuni dan gersang itu.

Ia memohon berulang-ulang, tetapi Nabi Ibrahim AS tidak menjawab. Kemudian Siti Hajar berkata, “Apakah Allah yang memerintahmu melakukan ini?” Ibrahim mengiyakan, dan setelah itu Siti Hajar berkata, “Kalau demikian pasti Tuhan tidak akan menelantarkan kami.” Ibrahim AS lalu pergi dan di sebuah puncak bukit ia menadahkan tangan sambil berkata,

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS.14:37).

Selama beberapa hari, Siti Hajar menyusui putranya, sementara ia sendiri minum dari perbekalan. Setelah air habis, ia kehausan sehingga tidak dapat menyusui anaknya. Anaknya menangis kehausan. Dalam kebingungan, Siti Hajar berlari mendaki Bukit Safa untuk mencari air dan pertolongan. Kemudian dari Bukit Safa ia lari turun menuju Bukit Marwah.

Tujuh kali ia berlari pulang balik antara Safa dan Marwah (Haji). Ketika sampai pada lari yang ketujuh kali, pada saat itu ia berada di puncak Bukit Marwah, Hajar mendengar suara tanpa melihat ada seseorang. Mulanya ia menganggap suara itu adalah suara dirinya sendiri, namun setelah yakin bahwa suara itu bukan suaranya, lalu ia memohon pertolongan dari suara itu.

Tiba-tiba ia melihat Malaikat Jibril berada di dekat putranya. Jibril menggali tanah sampai keluar air yang memancar. Siti Hajar segera mendekati dan mencedok air itu dan dimasukkan ke tempat air minumnya. Lalu ia minum dan menyusui anaknya.

Disebutkan oleh Ibnu Abbas (sahabat Nabi SAW dan periwayat hadis) bahwa Nabi SAW bersabda, “Semoga Tuhan merahmati ibu Ismail, seandainya ia biarkan air Zamzam atau tidak dicedoknya, Zamzam akan menjadi mata air yang memancar.”

Diceritakan pula bahwa pada suatu ketika serombongan kafilah yang lewat dekat Mekah melihat ada burung terbang dan turun pada suatu lembah. Mereka tahu bahwa burung itu turun pada tempat yang ada airnya, padahal sebelumnya di tempat yang mereka lalui itu tidak ada sumber air.

Lalu mereka mendatangi tempat yang dituju burung itu dan menemukan air yang dijaga ibu Ismail. Lalu mereka minta izin untuk mengambil air. Ibu Ismail mengizinkan, tetapi ia mengatakan bahwa sumber air itu adalah miliknya sendiri.

Setelah kafilah itu pulang ke negerinya, mereka memberitahu keluarga dan kaumnya dari Suku Jurhum tentang adanya Sumur Zamzam di Mekah. Kemudian mereka pindah untuk menetap di dekat Sumur Zamzam.

Di zaman kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib, lokasi Sumur Zamzam tidak diketahui lagi, karena tertutup tanah. Tidak diketahui pula kapan sumur itu mulai tertutup. Hanya disebutkan bahwa orang Suku Jurhum memasukkan barang berharga ke dalam sumur itu.

Disebutkan bahwa sumur itu ditemukan dan digali kembali oleh Abdul Muthalib. Ia mengetahui lokasi sumur itu melalui mimpinya ketika tidur di hijir Ismail (salah satu dinding Ka’bah).

Abdul Muthalib menggali Sumur Zamzam itu dengan hanya ditemani putranya, Haris bin Abdul Muthalib. Pada mulanya usaha penggalian itu dicegah orang Quraisy, karena lokasinya dekat dengan tempat dua berhala, Asaf dan Nailah, yang dipuja orang Quraisy dengan menyembelih korban di dekatnya.

Tetapi Abdul Muthalib tetap bersikeras melaksanakan penggalian sesuai petunjuk mimpinya, hingga orang Quraisy membiarkannya. Dalam sumur itu ditemukan dua patung kijang dari emas, beberapa bilah pedang, dan perisai. Kemudian pedang dan kijang emas itu dilebur dan dijadikan pintu Ka’bah.

Selanjutnya, Sumur Zamzam berada di bawah pengawasan Abdul Muthalib dan keturunannya dari Bani Abdul Manaf. Lalu air Zamzam ini disediakan untuk air minum orang yang berkunjung ke Mekah.

Bagi jemaah haji, air Zamzam mempunyai khasiat bagi kesehatan, sehingga pada umumnya mereka membawa pulang air tersebut ke negeri masing-masing sebagai minuman khas dari Tanah Suci.

Keyakinan ini didasarkan pada sabda Nabi SAW bahwa air Zamzam itu dapat menyembuhkan penyakit dan dapat membawa berkat sesuai dengan doa yang dibaca sewaktu meminumnya (HR. Ibnu Majah). Ibnu Abbas mensyaratkan bagi orang yang meminum air Zamzam agar menghadap Ka’bah, menyebut nama Allah SWT, bernapas tiga kali, dan mengucapkan alhamdulillah (segala puji bagi Allah) setelah minum air Zamzam tersebut.

Pada masa sekarang air Zamzam ini dialirkan ke tempat dan bak yang disediakan dengan menggunakan pompa listrik modern serta melalui enam buah pipa besar. Jemaah haji dapat meminum dan mengambil air Zamzam yang memancar dari kran pada bak yang terdapat di atas sumur dan di beberapa sudut Masjidilharam. Di halaman Masjidilharam juga tersedia penampungan air melalui kran untuk keperluan jemaah haji dan umrah yang ingin membawa pulang air Zamzam.

Daftar Pustaka
Bakdasy, Sa‘id. Fadhu MÎ’i Zamzama. Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, 1996.
Gibb, Hamilton A.R. dan J.H. Kramers. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1974.
al-Hasani, Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki. Fi Rihab al-Bait al-haram. Jiddah: Dar al-Qiblah, 1985.
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. al-Bidayah wa an-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Kararah, Abbas. ad-Din wa Tarikh al-haramain asy-Syarifain. Mekah: Maktabah Markaz al-Haramain at-Tijari, 1984.
al-Mahrajan. Makkah al-Mukarramah al-‘Asimah al-Muqaddasah. Mekah: al-Mahrajan, 1415 H.
Snouck Hurgronje, Christiaan. Perayaan Mekah, terj. Supardi. Jakarta: INIS, 1989.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiah al-Jadidah, t.t.

Rusydi Khalid