Zaid Bin Harisah

(w. Mu’tah, 8 H/629 M)

Zaid bin Harisah  termasuk orang pertama yang masuk Islam. Ia diangkat anak oleh Nabi Muhammad SAW, menjadi panglima perang Islam terkenal, dan ikut dalam Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Hudaibiyah, Perang Hunain, dan Perang Mu’tah.

Nama lengkapnya adalah Zaid bin Harisah bin Syarahil bin Ka‘b bin Abdul Uzza, dan nama kunyahnya (gelar) Abu Usamah. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi diperkirakan usianya 10 tahun lebih muda dari Nabi Muhammad SAW.

Ibunya bernama Su‘da binti Sa‘labah bin Abd Amir dari Bani Ma’n dari suku Tayi. Zaid bin Harisah dibawa ke Mekah sebagai budak belian oleh Bani Qain bin Jasr untuk dijual di pasar ‘Ukaz (± 6 km dari kota Mekah). Zaid kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam bin Khuwailid untuk bibinya Khadijah binti Khuwailid, dan selanjutnya Khadijah menyerahkan Zaid kepada Nabi Muhammad SAW.

Sumber lain menyebutkan bahwa Zaid dibeli dari pasar Hubasyah, lalu dihadiahkan Khadijah kepada Muhammad di Mekah sebelum kenabiannya. Umur Zaid pada waktu itu 8 tahun. Menurut sumber lain, Nabi Muhammad SAW sendiri melihat Zaid diumumkan akan dijual di sebuah padang di Mekah; kemudian Nabi Muhammad SAW pulang memberitahu Khadijah. Khadijah membeli Zaid, kemudian menghadiahkannya kepada Nabi Muhammad SAW. kemudian beliau memerdekakan Zaid dan mengangkatnya sebagai anak.

Disebutkan bahwa Zaid dicari oleh ayahnya dan kaumnya selama bertahun-tahun. Zaid di­culik Bani Qain bin Jasr ketika ia bersama ibunya dalam perjalanan menuju perkampungan kaumnya, Bani Ma’n. Secara kebetulan pada suatu musim haji, rombongan dari kaum ayahnya, yaitu Bani Kalb, bertemu dengan Zaid.

Zaid lalu meminta mereka memberitahu ayahnya bahwa ia tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di Mekah. Setelah diberitahu, ayahnya bersama pamannya, Ka‘b bin Syarahil, segera berangkat ke Mekah untuk membawa pulang Zaid dengan tebusan.

Mereka mendatangi Nabi Muhammad SAW dan memohon agar beliau sudi memerdekakan Zaid dan menerima tebusan. Nabi SAW tidak mau menerima tebusan, hanya menyuruh Zaid untuk memilih antara tetap bersama Nabi SAW atau pulang ke kampung ha­lamannya mengikuti ayah dan pamannya. Zaid ternyata lebih suka tetap tinggal bersama Nabi SAW.

Pilihan Zaid membuat ayah dan pamannya memarahinya­ dan menganggapnya lebih suka hidup dalam perbudakan daripada pulang ke kampung halaman. Zaid menjelaskan bahwa ia memandang Nabi SAW sebagai pengganti ayah dan pamannya, dan Nabi SAW bersikap amat baik kepadanya.

Nabi SAW kemudian membawa Zaid keluar ke serambi rumah, dan mengumumkan kepada­ orang banyak bahwa Zaid adalah anak (angkat)-nya dan ahli warisnya. Setelah mendengar pernyataan Nabi SAW, ayah dan paman Zaid merasa lega dan kemudian pulang kembali ke negerinya.

Sejak itu para sahabat memanggil Zaid dengan Zaid bin Muhammad sampai turunnya ayat Al-Qur’an, surah al-Ahzab(33) ayat 5, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.”

Ayat tersebut menyuruh umat Islam menyebut anak dengan nama ayah kandungnya. Zaid pun kembali dinamai Zaid bin Harisah. Zaid masuk Islam setelah Khadijah dan Ali bin Abi Thalib; dan menurut pendapat lain, ia masuk Islam setelah Abu Bakar as-Siddiq dan Ali bin Abi Thalib.

Setelah­ masuk Islam, ia turut berjuang mempertahankan Islam dari permusuhan kaum kafir. Ia ikut hijrah ke Madinah, dan dipersaudarakan oleh Nabi SAW dengan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan setelah Hamzah meninggal, ia dipersaudarakan dengan Usaid bin Hudair.

Ia termasuk anggota pasukan pemanah yang gagah berani yang ikut dalam Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perang Hudaibiyah, dan Perang Hunain. Ia ditunjuk menjadi pemimpin pasukan pada tujuh ekspedisi militer, seperti ke Qarada pada 2 H, al-Jamun dan al-’Is pada 6 H. Ia pernah ditugaskan memimpin penjagaan dan pengamanan kota Madinah sewaktu Nabi SAW keluar memimpin penyerbuan ke Muraisi.

Sebagai orang yang disayangi Nabi SAW, Zaid dikawinkan dengan sepupu Nabi SAW, yaitu Zainab binti Jahsy. Tetapi perkawinan ini tidak harmonis sebab Zainab merasa keturunan bangsawan yang bermartabat lebih tinggi dari suaminya yang bekas budak.

Zaid lalu menceraikan Zainab. Zainab kemudian selepas idahnya dinikahi oleh Nabi SAW untuk mengajarkan kepada umat Islam bahwa tidak haram menikahi bekas istri anak angkat sendiri. Hal ini dijelaskan Tuhan dalam surah al-Ahzab (33) ayat 37 dengan menyebut nama Zaid secara jelas.

Zaid kemudian dikawinkan Nabi SAW dengan Ummu Aiman, perempuan yang berasal dari Habsyi dan pelayan di rumah Nabi SAW. Dari Ummu Aiman, Zaid mendapat putra, yaitu Usamah bin Zaid yang kelak menjadi panglima pasukan Islam yang menaklukkan Syam (Suriah).

Zaid meninggal dalam peperangan melawan pa­sukan Bizantium di Mu’tah, ujung selatan Laut Mati (sekarang termasuk wilayah Yodania), pada 8 H/629 M. Ia meninggal dunia dalam kedudukan sebagai panglima perang.

Sepeninggalan beliau itu pimpinan pasukan dipegang oleh Ja‘far bin Abi Thalib yang juga gugur, kemudian terakhir diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Kepemimpinan dalam Perang Mu’tah ini sesuai dengan amanah Nabi Muhammad SAW ketika memberangkatkan para pasukan Islam itu. Ketika berita gugurnya Zaid dan Ja‘far sampai kepada Nabi SAW, Nabi SAW menangis dan menyaatakan mereka semua mati syahid.

Daftar Pustaka:

Ali, Abdullah Yusuf. The Holy Qur’an. Brentwood, Maryland: Amana Corporation, 1989.
Izz ad-Din bin al-Asir. Usd al-Gabah, ed., Muhammad Ibrahim al-Banna. t.tp.: asy-Sya’b, t.t.
Khattab, Mahmud Syit. Qadat Fath asy-Syam wa Miœr. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
an‑Namiri, Yusuf bin Abdullah. al‑Isti‘ab fi Asma’ al‑Ashab. Beirut: Dar al‑Fikr, 1978.
asy-Sya’di, Abdurrahman bin Nasir. Tafsir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-MannÎ\an. Jiddah: Dar al-Madani, 1988.

Rusydi Khalid