Transaksi muamalah yang dilakukan tidak tunai, seperti jual beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam, mengakibatkan utang-piutang.
Dalam bahasa Arab utang-piutang disebut al-mudayanah, yang berasal dari kata dain (utang). Dain dan din (agama atau pembalasan) bersuku kata sama: dal, ya’, dan nun.
Menurut ahli bahasa Arab, arti kata al-mudayanah selalu merujuk pada hubungan antara dua pihak, yang satu berkedudukan lebih tinggi daripada yang lain. Dalam hal utang, kedudukan pemberi utang (kreditor) lebih tinggi daripada penerima utang (debitor). Seperti halnya dalam agama, kedudukan Tuhan lebih tinggi daripada manusia sebagai pemeluk agama.
Kata dain disebut hanya empat kali dalam Al-Qur’an: satu kali dalam surah al-Baqarah (2) ayat 282 dan tiga kali dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11–12. Surah al-Baqarah (2) ayat 282, yang dikenal sebagai ayat terpanjang dalam Al-Qur’an –dan juga ditambah ayat 283– memuat petunjuk praktis pelaksanaan utang-piutang.
Dalam dua ayat itu disebutkan bahwa praktek utang-piutang seyogianya (disunahkan) dilakukan secara tertulis dengan melibatkan pihak ketiga yang dipercaya serta melibatkan saksi yang terdiri dari dua orang laki-laki atau –jika tidak ada– satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.
Apabila transaksi dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada orang yang dapat diminta menjadi penulis, maka pihak debitor dapat menyerahkan suatu jaminan kepada kreditor kecuali jika mereka saling percaya.
Tuntunan praktis yang agak terperinci tentang utang-piutang dalam surah al-Baqarah (2) ayat 282–283 dimaksudkan sebagai tindakan preventif, baik bagi kreditor maupun debitor.
Proses pencatatan dan kesaksian dalam transaksi mudayanah ini di satu pihak memberi jaminan bagi kreditor bahwa ada alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan jika terjadi wanprestasi dari pihak debitor, dan di pihak lain membuat debitor berhati-hati serta amanah untuk memenuhi janji sesuai kontrak transaksi.
Transaksi utang-piutang berdasarkan surah al-Baqarah (2) ayat 282 haruslah menyebutkan batas waktu pelunasan (‘ajl mutsamma) dalam kontrak. Dengan demikian, sebelum memutuskan untuk bertransaksi debitor harus memikirkan sumber penghasilan yang akan menutupi utangnya agar tidak terjadi wanprestasi.
Dalam konteks ini, sebaliknya kreditor berhak mengetahui dan menanyakan bagaimana utang akan dilunasi, karena utang merupakan perbuatan hukum yang tidak akan hilang kecuali dengan melunasinya dan akan menghalangi amal ibadah dan kebajikan manusia di dunia jika tidak dilunasi.
Atas dasar itulah Rasulullah SAW tidak mau menyalati mayat orang yang berutang dan menyamakan utang dengan kekufuran. Dain dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 11–12 dikaitkan dengan ketentuan mawarits (hukum pembagian harta peninggalan orang yang telah meninggal).
Sebelum pelaksanaan pembagian harta waris, dalam ayat ini dinyatakan bahwa harus dikeluarkan terlebih dahulu harta untuk wasiat dan utang orang yang meninggal (jika ada), karena utang akan menjadi penghalang bagi mayat untuk amal ibadah lain selama hidup. Adapun wasiat terkait dengan amanat yang harus direalisasikan.
Utang yang harus dibayar, meskipun seseorang sudah meninggal, adalah utang yang berhubungan dengan sesama manusia (duyun al-‘ibad/an-nas). Bagi yang telah meninggal kewajiban membayar utang jatuh kepada ahli waris dengan mengambil harta warisan yang ditinggalkan pengutang.
Apabila harta tersebut tidak mencukupi, maka ahli waris harus melunasinya dengan hartanya sendiri; apabila masih belum cukup juga, maka negara akan memÂbantu melunasinya atau kreditor memberi keringanan.
Menurut jumhur ulama, duyun Allah (utang kepada Allah SWT) juga wajib dilunasi meskipun yang bersangkutan telah meninggal dunia. Misalnya, utang zakat harus dibayarkan ahli waris dengan mengambil bagian harta warisan, baik diwasiatkan maupun tidak, jika ada yang mengetahuinya.
Demikian juga utang yang berkaitan dengan ibadah lain, misalnya haji. Menurut jumhur, ahli waris mempunyai kewajiban untuk melunasi utang kepada Allah SWT tersebut.
Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa kewajiban membayar duyun Allah hilang ketika seseorang meninggal dunia. Duyun Allah dalam bentuk konkretnya adalah ibadah yang memerlukan niat dan ikhtiar tertentu yang tidak bisa dilakukan orang yang sudah meninggal.
Karena itu, kewajiban melunasi duyun Allah hilang secara bersamaan dengan hilangnya status manusia sebagai hamba ketika meninggal. Akan tetapi orang yang tidak melunasi duyun Allah terkena dosa dan wajib mempertanggungjawabkannya di akhirat.
Akad duyun secara operasional ditemukan dalam beberapa bentuk transaksi ekonomi, seperti jual beli, akad salam/salaf, kredit, hiwalah (pengalihan utang), dan kafalah (jaminan), yang dalam batas tertentu terkait dengan hukum taflis (kepailitan).
Dalam transaksi jual beli, mudayanah mengambil bentuk seperti pembelian dan pengambilan barang di muka dengan pembayaran di belakang atau secara mencicil dengan harga yang sama.
Kebalikan dari bentuk ini adalah transaksi salam. Salam adalah pembelian barang yang diserahkan belakangan sementara pembayaran dilakukan di muka. Salam adalah salah satu dari bentuk utang karena terdapat disparitas waktu antara pembayaran dan pengambilan barang.
Bentuk lain mudayanah terlihat dalam jual beli kredit, yaitu transaksi penjualan dengan membedakan harga kontan dengan cicilan; harga cicilan menjadi lebih mahal daripada harga kontan karena adanya rentang waktu yang cukup lama.
Sebagian ulama mengharamkan jual beli kredit karena di dalamnya terkandung unsur riba. Namun menurut mayoritas ulama, kredit diperbolehkan karena tidak ada nas secara jelas melarangnya dan tidak mengandung unsur riba.
Dalam konsep ekonomi Islam yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini, mudayanah dapat pula berbentuk transaksi hiwalah dan kafalah.
Hiwalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhill) kepada orang lain yang wajib menanggungnya (muhall ‘alaih), sedangkan kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Yang termasuk dalam contoh mudayanah adalah kafalah bi al-mal, yaitu jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
Titik temu konsep mudayanah dengan taflis terletak pada asal-usul taflis. Seseorang dinyatakan pailit (muflis) apabila ia tidak mampu membayar utangnya (wanprestasi) kepada kreditor pada saat jatuh tempo meskipun dengan seluruh harta benda yang dimilikinya.
Pernyataan pailit hanya dapat dijatuhkan dengan putusan pengadilan melalui gugatan/ permohonan kreditor. Hukum kepailitan dimaksudkan untuk menjaga kepentingan kreditor agar debitor tidak mempergunakan hartanya di luar tujuan pelunasan utang.
Untuk itu, seluruh harta muflis berada di bawah penguasaan dan pengawasan seorang kurator. Ibnu Hazm (994–1064) dalam kitabnya al-Muhalla menggabungkan pembahasan al-mudayanah dan taflis dalam satu bab karena saling terkait dan menentukan.
Selanjutnya ulama juga membagi duyun dari segi waktunya dalam dua bagian: duyun al-halah dan duyun al-mu‘ajjalah.
Duun al-halah adalah utang yang sudah jatuh tempo untuk dilunasi oleh debitor, sedangkan duyun al-mu‘ajjalah adalah utang yang masih pembayarannya ditunda karena belum jatuh tempo.
Daftar Pustaka
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah: Suatu Pengantar Umum. Jakarta: Tazkia Institute, 2000.
Dahlan, Abdul Aziz, et al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Ibnu Hazm. al-Muhalla. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
Shihab, M. Quraish. Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah. Bandung: Mizan, 1999.
–––––––. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: PT Lentera Hati, 2000.
Ya’qub, Hamzah. Kode Etik Dagang Menurut Islam: Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi. Bandung: CV Diponegoro, 1992.
Ahmadie Thaha