Usmani Muda adalah perkumpulan golongan cendekiawan Kerajaan Usmani (Ottoman) yang menentang kuasa absolut sultan. Pada awalnya Usmani Muda (didirikan 1865) merupakan gerakan bawah tanah yang bertujuan mengubah Kerajaan Usmani dari pemerintahan absolut menjadi konstitusional.
Setelah gerakan Usmani Muda tercium dan aktivitasnya diketahui pemerintah, sebagian dari pemukanya berusaha melarikan diri dari Turki menuju Eropa. Di sanalah gerakan ini mendapat gelar Usmani Muda.
Sementara Niyazi Berkez, salah seorang penulis yang pernah menjadi guru besar di Islamic Studies, McGill University (Canada), menyatakan bahwa gerakan ini mempunyai beberapa nama, antara lain Muhafai Seriat (Pembela Syariat) dan Fedais (Pejuang).
Sikap otoriter yang digunakan sultan dan para Menteri dalam melaksanakan pembaruan yang dicetuskan kaum pemikir Tanzimat (gerakan pembaruan konstitusi) mendapatkan kritikan tajam.
Apalagi Sultan Mahmud II (1785–1839) sangat keras dalam tindakannya setelah kelompok Janissary dapat dipatahkan (1826). Sebelumnya kelompok Janissary ini merupakan suatu kekuatan kontrol bagi kegiatan sultan.
Demikian pula penghancuran Tarekat Bektasyi, yang didirikan seorang suci Islam, Bektasyi Veli (w. 1337), dan pengambilalihan dana dari tangan ulama membuat sultan lebih berkuasa dalam bertindak dan berbuat.
Pemikiran yang dikembangkan Usmani Muda mempunyai dampak positif bagi pembaruan setelah Tanzimat di Turki. Dalam usaha pengembangan ide pembaruan dan kritikan-kritikan terhadap pemerintahan absolut, saluran media massa banyak dipergunakan. Tahun 1861, Ibrahim Sinasi Effendi (l. 1242 H/1826 M) mendirikan sebuah surat kabar yang bernama Tasviri Efkar (Gambaran Pemikiran).
Sebagai akibat penilaian pemerintah yang sangat tajam, ia terpaksa meninggalkan Turki pada 1864. Selanjutnya surat kabar tersebut dipimpin Namik Kemal Pasya (1840–1888). Sebagaimana pimpinan pertama, Namik Kemal Pasya, pada 1867 juga harus meninggalkan Turki.
Pada 1867, di Perancis, Namik Kemal dan Ali Suavi yang juga melarikan diri dari Turki menerbitkan sebuah surat kabar lain yang bernama Mukhbir (Korespondensi). Akan tetapi, karena tekanan dari pihak pemerintah Perancis atas desakan Turki, penerbitan surat kabar tersebut harus dihentikan.
Selanjutnya surat kabar itu terbit di Inggris untuk jangka waktu beberapa bulan saja. Dalam pada itu, Namik Kemal menerbitkan sebuah surat kabar yang bernama Hurriyet (Kemerdekaan) pada 1868. Surat kabar ini juga tidak bertahan lama.
Pada 1871 Namik Kemal diizinkan kembali pulang ke Turki setelah penguasa yang ditentangnya, Perdana Menteri Ali Pasya, wafat. Pada tahun itu pula ia menerbitkan sebuah harian yang berjudul Ibret (Pelajaran), yang dapat bertahan sampai tiga tahun.
Karena tulisan-tulisannya yang bernada tajam dan dinilai berbahaya terhadap kebijaksanaan pemerintah, surat kabar tersebut mengalami nasib sama seperti yang telah lalu.
Keberadaan tokoh Usmani Muda di Eropa, di Perancis atau di Inggris, telah membuat mereka lebih mengenal dan Mustafa Kemal (paling kanan) bersama rekan-rekannya berupaya mengakhiri kekuasaan Sultan Abdul Hamid II berhubungan langsung dengan tokoh-tokoh liberal Eropa, seperti Leon Cahun dan Armenius yang mempunyai perhatian serius bagi perkembangan Turki.
Oleh karena itu bukanlah suatu hal yang mengherankan, jika pemikiranpemikiran yang dikembangkan kaum Usmani Muda bersifat liberal.
Zia Pasya (1825–1880), sebagai tokoh dan pemuka Usmani Muda, berpandangan bahwa kemajuan Eropa hanya dapat dicapai dengan pemerintahan yang bersifat konstitusional. Agar Turki menjadi negara maju, ia harus menanggalkan absolutism dan menggantinya dengan negara konstitusional.
Negara konstitusional tidaklah bertentangan dengan Islam. Islam tidak menyetujui pemerintahan absolut. Ia menjunjung tinggi nilai-nilai permusyawaratan. Sungguhpun mengakui kebesaran dan kemajuan Eropa, Zia Pasya tidak sepenuhnya menerima Barat dan menirunya dalam segala hal.
Umat Islam harus bersifat kritis terhadap nilai-nilai kemajuan dan kebudayaan-kebudayaan Barat. Dalam banyak hal, apa yang dimiliki oleh Barat dan membawa kemajuan adalah nilai-nilai yang mendapat legitimasi dari Islam.
Namik Kemal, yang terpengaruh pemikiran Ibrahim Sinasi Effendi, mempunyai pandangan yang sama dengan Zia Pasya dalam memajukan Turki. Ide Barat tak dapat diterima tanpa melalui seleksi agar sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Kebesaran jiwa Namik Kemal mengantarkannya untuk berani memberikan kritikan terhadap pembaruan yang dilancarkan Tanzimat yang sepenuhnya telah menerima Barat, yang menjurus ke sekular dan memasukkan institusi Barat yang belum tentu sejalan dengan ajaran Islam dan kebutuhan masyarakat dunia Timur.
Menurutnya, syariat Islam mampu membenahi bentuk-bentuk pemerintahan dan mampu menghadapi masuknya pengaruh Barat dalam urusan pemerintahan Islam.
Pemikira Namik Kemal yang menonjol adalah idenya tentang cinta kepada tanah air. Tanah air yang dimaksudkannya mencakup seluruh wilayah Kerajaan Usmani. Ini memberikan indikasi bahwa seluruh umat Islam perlu dihimpun dalam satu wadah kekuasaan di bawah kepemimpinan Kerajaan Usmani.
Negara dalam pandangan Namik Kemal berbentuk demokrasi dan negara semacam ini tidak bertentangan dengan Islam. Sistem baiat (sumpah setia kepada imam/ pemimpin) yang berlaku pada zaman pemerintahan al-Khulafa’ ar-Rasyidiun (Empat Khalifah Besar: Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib) pada hakikatnya mencerminkan kedaulatan rakyat.
Adanya ide al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dalam dalil syarak) dalam Islam memberikan arti bahwa segala sesuatu seharusnya berjalan sesuai dengan pandangan umum. Dalam menjalankan roda pemerintahan, khalifah tidak boleh menyimpang dari syariat, yang merupakan satu bentuk konstitusi. Nilai musyawarah sama dengan demokrasi dalam Islam.
Karena itu, negara yang berlandaskan konstitusi, dalam pandangan Namik Kemal, sejalan dengan Islam. Intervensi sistem tersebut ke dalam tubuh pemerintahan Usmani tidak pula merupakan suatu permasalahan baru.
Pemerintahan Usmani, lepas dari sifat otokrasi, adalah pemerintahan yang sah. Di dalamnya kaum ulama memegang kekuasaan legislatif, sementara sultan dan para menterinya memegang kekuasaan eksekutif. Kekuasaan kontrol berada di tangan kaum Janissary.
Midhat Pasya (1822–1883), sebagaimana dua pendahulunya, juga menginginkan kekuasaan sultan dibatasi konstitusi. Pada saat Midhat Pasya menjadi perdana menteri, ia mengajukan usul kepada sultan agar konstitusi segera diadakan bagi Kerajaan Usmani.
Konstitusi yang diajukan Midhat Pasya antara lain menentukan bahwa pemerintahan harus bertanggung jawab kepada parlemen; komposisi parlemen atas dasar nasionalisme Turki, bukan atas dasar agama atau etnis; wakil-wakil rakyat harus terlepas dari afiliasi agama dan etnis; dan otonomi harus diberikan kepada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya nonmuslim atau non-Turki.
Usul ketiga tokoh Usmani Muda untuk membatasi keabsolutan sultan-sultan Turki melalui konstitusi itu terwujud dengan keluarnya konstitusi 1876. Sungguhpun demikian, dalam pelaksanaan konstitusi itu terdapat kendala-kendala yang tak terelakkan. Konstitusi yang ditandatangani pada 23 Desember 1876 tersebut bukanlah konstitusi yang bersifat demokratis.
Dalam konstitusi tersebut terdapat ketentuan bahwa sultan tetap memiliki kekuasaan penuh dan mempunyai hak yang tidak terbatas. Pasal 3 mengungkapkan bahwa kedaulatan terletak di tangan sultan, bukan di tangan rakyat. Pasal 4 menyatakan bahwa sultan bersifat suci dan tidak bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya. Pasal 54, rencana undangundang baru dapat menjadi undang-undang kalau telah disetujui sultan.
Kesemua pasal itu memberikan indikasi bahwa sultan masih mempunyai kedudukan tinggi dan mempunyai kekuasaan besar. Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang 1876 itu tidak semuanya mengandung pengertian yang tegas dalam hal pembatasan kemutlakan kekuasaan sultan, bahkan banyak pasal justru membuat sultan menjadi autokrat.
Di samping kendala yang bersifat intern dalam konstitusi, terdapat pula halangan-halangan ekstern dari luar konstitusi. Gerakan Usmani Muda pada hakikatnya bukanlah gerakan yang muncul dari rakyat dan atas dasar kepentingan rakyat.
Pada saat itu tingkat kesadaran politik dan kedalaman pengetahuan rakyat Turki masih rendah, sehingga mereka tidak memahami apa yang dikehendaki konstitusi tersebut, dan keuntungan apa yang didapat dari sistem konstitusional.
Dalam merumuskan konstitusi, kebanyakan golongan cendekiawan Turki dipengaruhi oleh pertentangan dan perbedaan pendapat yang sukar dipertemukan. Di samping itu, kebanyakan ulama menentang pengadaan konstitusi dan tetap mempertahankan kebiasaankebiasaan yang telah berlangsung lama di dalam dunia Islam.
Kegagalan Usmani Muda dalam mewujudkan konstitusi bagi Kerajaan Usmani membuat mereka hilang dari arena pembaruan Turki. Sungguhpun demikian, gerakan Usmani Muda telah memberikan sumbangan yang berharga dalam peletakan dasar konstitusi.
Pada masa sesudahnya, apa yang mereka lakukan itu dijadikan pedoman bagi penyusunan konstitusi bagi negara Turki abad ke-20.
Daftar Pustaka
Berkez, Nayazi. The Development of Secularism in Turkey. Montreal: McGill University Press, 1964.
Brockelmann, Carl. History of Islamic Peoples. London: Routledge & Kegan Paul, 1980.
Fisher, Sydney Nettleton. The Middle East: A History. New York: Alfred A. Knopf, 1967.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Holt, P.M. Cambridge History of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1977.
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age, 1878–1938. London, Oxford, New York: Oxford University Press, 1962.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Vucinich, W.S. The Ottoman Empire: Its Record and Legacy. New York: D. Van Nastrad Company Inc., 1965.
T Safir Iskandar Wijaya