Bani Umayah adalah keturunan Umayah bin Abdul Syams, salah satu suku Quraisy. Dalam sejarah Islam Bani Umayah mendirikan pemerintahan dalam dua periode: Damascus dan Cordoba.
Di masa pra-Islam, Bani Umayah selalu bersaing dengan Bani Hasyim yang juga merupakan klan suku Quraisy.
Bani Umayah sangat berperan dalam masyarakat Mekah. Merekalah yang menguasai pemerintahan dan perdagangan yang banyak bergantung pada para pengunjung Ka’bah, sementara Bani Hasyim adalah orang-orang yang berekonomi sederhana.
Akan tetapi Nabi Muhammad SAW, pembawa agama Islam, adalah seorang dari Bani Hasyim. Ketika agama Islam mulai berkembang dan mendapatkan pengikut, Bani Umayah merasa bahwa kekuasaan dan perekonomiannya mulai terancam.
Oleh sebab itu, mereka menjadi penentang utama terhadap perjuangan Nabi SAW, tetapi tidak pernah berhasil melumpuhkannya. Abu Sufyan bin Harb, salah seorang anggota klan Umayah, sering kali menjadi jenderal dalam beberapa peperangan melawan pihak Nabi SAW.
Setelah Islam menjadi kuat dan dapat merebut Mekah, Abu Sufyan dan pihaknya menyerah, tetapi Nabi SAW memberi kebebasan kepada mereka. Di antara mereka adalah Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang sebagaimana sisa-sisa penduduk Mekah lainnya, kemudian memeluk Islam.
Di masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, Bani Umayah merasa rendah karena kelas mereka berada di bawah kelas kaum Ansar dan Muhajirin. Abu Bakar menyatakan bahwa mereka adalah angkatan yang paling kemudian masuk Islam, dan untuk menjadi setingkat dengan kedua kaum di atas, mereka harus mengikuti perang dalam membela Islam.
Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, mereka dikirim untuk berperang melawan orang-orang Bizantium, kemudian ditempatkan di Suriah. Yazid bin Abu Sufyan diangkat menjadi gubernur di sana, kemudian saudaranya, Mu‘awiyah.
Di masa Khalifah Usman bin Affan, yang juga merupakan salah seorang anggota Bani Umayah, Mu‘awiyah mendapat ketetapan bahwa kepemimpinan Suriah diberikan kepada Bani Umayah, sebagaimana Mekah di masa Jahiliah berada dalam kekuasaan Quraisy.
Usman terbunuh dalam suatu huru-hara yang ditimbulkan pihak yang tidak puas terhadap pemerintahannya. Sebagai penggantinya, Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim menjadi khalifah.
Mu‘awiyah menolak mengakui Khalifah Ali; dan ketika Ali tidak bertindak menghukum para pembunuh Usman, ia menyatakan diri sebagai penuntut balas darah Usman dan sekaligus sebagai pewaris jabatannya. Sekali lagi terjadi persaingan antara Bani Umayah dan Bani Hasyim.
Konfrontasi bersenjata antara kedua pihak itu terjadi di Siffin, di perbatasan antara Suriah dan Irak. Ketika kemenangan hampir berada di pihak Ali, Amr bin As, tangan kanan Mu‘awiyah yang terkenal licik, meminta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an. Qurra’ (para penghafal Al-Qur’an) di pihak Ali segera mendesak Ali untuk menerima tawaran itu. Perdamaian dilakukan dengan cara tahkim (arbitrasi).
Amr bin As diangkat sebagai pengantara dari pihak Mu‘awiyah, dan Abu Musa al-Asy‘ari dari pihak Ali. Mereka bermufakat untuk menjatuhkan pemimpin mereka masing-masing. Akan tetapi, keputusan mereka ternyata merugikan Ali sehingga ia menolaknya.
Namun Ali terlalu sibuk menenteramkan bagian-bagian wilayah yang mengakuinya sehingga tidak sempat memerangi Mu‘awiyah. Sementara itu, Mu‘awiyah berhasil mengusir gubernur tunjukan Ali dari Mesir dan mengirim pasukan penyerbu ke Irak.
Pada 660 ia menyata kan diri sebagai khalifah di Yerusalem. Sebelum Ali sempat bertindak untuk menghukum pembangkangan terhadap kekuasaannya, salah seorang lawan politiknya berhasil membunuhnya dalam suatu tindakan menuntut balas.
Meninggalnya Ali pada 661 mendorong umat Islam untuk mengakui Mu‘awiyah sebagai khalifah. Memang ada usaha dari putra Ali, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, untuk menggantikan ayahnya.
Karena tidak rela menyaksikan umat Islam saling membunuh untuk memperebutkan kekuasaan, tiga bulan sesudah dibaiat Hasan menyerahkan kekuasaannya kepada Mu‘awiyah dengan beberapa syarat.
Mu‘awiyah (memerintah 661–680) adalah orang yang bertanggung jawab atas perubahan sistem suksesi kepemimpinan dari yang bersifat demokratis dengan cara pemilihan kepada yang bersifat keturunan.
Dua tokoh, yaitu Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair, menentang dan meninggalkan Madinah. Pertentangan itu melahirkan perang saudara kedua, dengan kemenangan di tangan Bani Umayah. Bani Umayah berhasil mengokohkan kekhilafahan di Damascus selama 90 tahun (661–750).
Selama masa itu, Bani Umayah dipimpin para khalifah sebagai berikut: Mu‘awiyah I bin Abu Sufyan (661–680), Yazid I (680–683), Mu‘awiyah II (683–684), Marwan I bin al-Hakam atau Marwan bin Hakam (684–685), Abdul Malik (685–705), al-Walid I (705–715), Sulaiman (715–717), Umar bin Abdul Aziz (717–720), Yazid II (720–724), Hisyam (724–743), al-Walid II (743–744), Yazid III (744), Ibrahim (744), dan Marwan II (744–750).
Pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damascus menandai era baru. Dari pusat inilah Bani Umayah menyempurnakan perluasan wilayahnya dengan menaklukkan seluruh Imperium Persia dan sebagian Imperium Bizantium.
Ketika Mu‘awiyah merebut kekuasaan dari tangan Ali, Islam telah tersebar ke Mesir, Libya, Suriah, Irak, dan Persia, menyeberang ke Armenia sampai ke sekitar Afghanistan. Di zamannyalah Uqbah bin Nafi dengan dukungan orang-orang Barbar mengalahkan tentara Bizantium di Afrika, dan pada 670 ia mendirikan Qairawan sebagai tempat perkemahan permanen.
Serangannya telah sampai ke Atlantik, tetapi dalam perjalanan pulang ia dibunuh oleh seorang kepala suku Barbar. Di sebelah Timur, Mu‘awiyah dapat menguasai Khurasan sampai ke Sungai Oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya mengadakan serangan ke ibukota Bizantium, Constantinopel.
Di zaman Abdul Malik tentara yang dikirim panglima Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi menyeberangi Sungai Oxus dan dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Fergana, dan Samarkand. Tentaranya sampai juga ke India dan dapat menguasai Baluchistan, Sind, serta daerah Punjab sampai ke Multan.
Ekspansi ke Barat yang sempat terhenti dilakukan kembali di zaman al-Walid I. Musa bin Nusair menyerang Aljazair dan Maroko; kemudian setelah dapat menundukkannya, ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah daerah itu. Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat antara Maroko dan benua Eropa dapat mengalahkan tentara Spanyol yang dipimpin Raja Roderick.
Toledo, demikian pula kota lainnya seperti Sevilla, Malaga, Elvira, dan Cordoba, dikuasainya. Serangan selanjutnya dipimpin Musa bin Nusair. Serangan ke Perancis melalui Pegunungan Pyrénia terutama dilakukan Abdur Rahman al-Gafiqi di zaman Umar bin Abdul Aziz (Umar II).
Ia menyerang Bordeaux dan Poitiers; lalu dari Poitiers ia mencoba menyerang Tours, tetapi di antara kedua kota itu pasukannya ditahan Charles Martel dalam suatu pertempuran yang disebut Pertempuran Tours pada 732.
Meskipun ekspansi ke Perancis mengalami kegagalan, serangan lain masih dilancarkan, umpamanya ke Avignon pada 734 dan Lyons pada 743. Dalam pada itu, pulau yang terdapat di Laut Tngah: Majorca, Corsica, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus, dan sebagian dari Sicilia, jatuh ke tangan Islam.
Di zaman Dinasti Bani Umayah ini Islam telah menguasai daerah Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirghistan (di Asia Tengah).
Ekspansi yang dilakukan Bani Umayah telah membuat Islam menjadi negara besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa di bawah naungan Islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban Islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayah lebih banyak memusatkan perhatian pada kebudayaan Arab.
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan di dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani, dan Qibti (penduduk asli Mesir). Atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi secar resmi di seluruh negeri.
Meskipun demikian, bahasa-bahasa seperti tersebut di atas tidak sepenuhnya dihilangkan. Dalam pada itu, orang-orang non-Arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan bahasa Arab. Perhatian pada bahasa Arab mulai diberikan untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab.
Hal inilah yang mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih yang karya tulisnya, al-Kitab, menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair Arab jahiliah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan.
Di zaman ini muncul penyair-penyair seperti Umar bin Abu Rabi‘ah (w. 719), Jamil al-Uzri (w. 701), Qais bin Mulawwa (w. 699) yang dikenal dengan nama Laila Majnun, al-Farazdaq (w. 732), Jarir (w. 792), dan al-Akhtal (w. 710). Bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari perhatian para khalifah Bani Umayah.
Masjid-masjid di luar Semenanjung Arabia dibangun, Katedral St. John di Damascus diubah menjadi masjid, dan katedral di Hims digunakan sekaligus sebagai masjid dan gereja. Masjid Madinah juga direstorasi dan diperluas dengan mengubah bekas kamar-kamar para istri Nabi SAW.
Selain masjid-masjid, dibangun pula istana-istana untuk tempat beristirahat di padang pasir, seperti QuÂsayr Amrah dan al-Musatta yang bekas-bekasnya masih ada sampai sekarang.
Sampai sebegitu jauh kelihatannya kemajuan yang dicapai Bani Umayah terpusat pada bidang ekspansi wilayah, bahasa dan sastra Arab, serta pembangunan fisik. Sesungguhnya di masa ini gerakan-gerakan ilmiah telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat.
Dalam bidang yang pertama umpamanya dijumpai ulama-ulama seperti al-Hasan al-Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri, dan Wasil bin Ata. Pusat kegiatan ilmiah ini adalah Kufah dan Basrah di Irak. Khalid bin Yazid bin Mu‘awiyah (w. 704/709) adalah seorang orator dan penyair yang berpikiran tajam.
Ia adalah orang pertama yang menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran, dan kimia. Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai seorang khalifah yang zahid (tidak mau hidup mewah), sering mengundang ulama dan fukaha (ahli fikih) untuk mengkaji ilmu di dalam majelisnya.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz dilarang mencaci lawan politik dalam khotbah. Ketiga gerakan ilmiah seperti tersebut di atas berjalan dengan sendirinya.
Bidang keagamaan berjalan karena besarnya motivasi keagamaan pada masa itu; bidang filsafat berjalan karena umat Islam pada akhir masa Bani Umayah terpaksa menggunakannya di dalam perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani serta di antara sesama penganut Islam; sedangkan sejarah berjalan karena mempunyai warna keagamaan.
Kekuasaan dan kejayaan Dinasti Bani Umayah mencapai puncaknya di zaman al-Walid. SeÂsudah itu kekuasaan mereka menurun. Dari beberapa khalifah Bani Umayah selanjutnya hanya Marwan II yang memerintah agak lama.
Periode sekitar dua tahun antara kematian Hisyam dan masuknya Marwan ke Damascus terutama ditandai pertikaian di dalam keluarga. Namun, sekalipun dapat bersatu, masih disangsikan kesanggupan mereka untuk memperbaiki situasi yang telah buruk. Terlalu banyak faktor yang harus mereka hadapi untuk bisa terhindar dari kehancuran.
Pemindahan ibukota dari Madinah ke Damascus yang dekat dengan pusat kota –dan merupakan bekas bagian wilayah– Bizantium telah membentuk gaya hidup mewah di kalangan keluarga para khalifah.
Faktor ini turut memperlemah jiwa dan vitalitas keluarga dan anak-anak khalifah yang membuat mereka kurang sanggup memikul beban pemerintahan yang demikian besar. Di samping itu, faktor ini telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan orang saleh.
Bani Umayah telah membentuk aristokrasi militer Arab. Tentara Suriah adalah jantung kekuatan militernya. Sebagai sumber kekuatan dan keamanan, mereka memperoleh bagian harta rampasan dan pajak yang ditumpahkan ke Damascus sebagai hasil penjarahan.
Hal ini telah menimbulkan kecemburuan di kalangan orang-orang muslim Arab di Madinah, Mekah, dan Irak. Mereka memang dibebaskan dari membayar pajak yang dipikulkan kepada orang muslim non-Arab (mawali) dan nonmuslim.
Akan tetapi, kehidupan mereka tidak lebih baik dibanding dengan keluarga-keluarga Suriah. Kaum mawali pun mengeluh atas perlakuan pemerintah yang dipandang tidak sesuai dengan prinsip persamaan di dalam Islam.
Semua ini menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan pemerintahan Bani Umayah. Tambahan lagi, ketenteramannya selalu dikacau oleh pertentangan tradisional antara suku Arab Utara dan suku Arab Selatan.
Pada awal abad ke-8 (720) sentimen anti-pemerintahan Bani Umayah telah tersebar secara intensif. Kelompok yang merasa tidak puas bermunculan, yaitu: muslim non-Arab yang secara terangterangan mengeluhkan status mereka sebagai warga kelas dua di bawah muslim Arab; kelompok Khawarij dan Syiah yang terus-menerus memandang Bani Umayah sebagai perampas khilafah; kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah, dan Irak yang sakit hati atas status istimewa penduduk Suriah; dan kelompok muslim yang saleh, baik Arab maupun non-Arab, yang memandang keluarga Umayah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup yang Islami.
Rasa tidak puas ini akhirnya melahirkan suatu kekuatan koalisi yang didukung keturunan al-Abbas, paman Nabi SAW.
Gerakan oposisi yang pertama-tama dinamakan Hasyimiyah dan kemudian Abbasiyah secara berturutÂturut dipimpin Muhammad bin Ali, kemudian kedua putranya, Ibrahim dan Abu Abbas. Gerakan ini mendapat dukungan terbesar dari orang-orang Khurasan yang merupakan basis partai Ali.
Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, Abu Muslim al-Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Bani Umayah. Pada Januari 750 Marwan II, khalifah terakhir Bani Umayah, dapat dikalahkan di pertempuran Zab Hulu, sebuah anak Sungai Tigris sebelah timur Mosul.
Ia kemudian melarikan diri ke Mesir. Sementara itu, pasukan Abbasiyah membunuh semua anggota keluarga Bani Umayah yang berhasil mereka tawan. Ketika mereka mencapai Mesir, sebuah kesatuan menemukan dan membunuh Marwan II pada Agustus 750. Maka berakhirlah kekuasaan Bani Umayah di Damascus.
Namun, satu-satunya anggota keluarga Bani Umayah, Abdurrahman (cucu Hisyam), berhasil meloloskan diri ke Afrika Utara, kemudian menyeberang ke Spanyol. Di sinilah selanjutnya ia membangun kekuasaan Dinasti Bani Umayah yang baru dengan berpusat di Cordoba.
Daftar Pustaka
Bosworth, Clifford Edmund. The Islamic Dynasties: A Chronological and Genealogical Handbook. Edinburg: Edinburg University Press, 1980.
Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1848.
Esposito, John L. Islam The Straight Path. New York: Oxford University Press, 1988.
von Grunebaum, Gustave E. Classical Islam: A History 600–1258. London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1964.
Khudhari Bek, Muhammad. Muhadarat Tarikh al-Umam al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubro, 1969.
Muhammadunnasir, Syed. Islam, Its Concepts & History. New Delhi: Kitab Bhavan, 1981.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Shaban, M. A. Sejarah Islam 600–750, terj. Machmun Husein. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Syalabi, Ahmad. Sedjarah dan Kebudajaan Islam, terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Hanif. Jakarta: Jaya Murni, 1971.
Zaidan, Jurji. History of Islamic Civilization. terj. New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
Hery Noer Aly