Di kalangan nabi dan rasul, ada lima orang yang memiliki ketabahan luar biasa dalam menghadapi penderitaan ketika menjalankan tugas risalah mereka. Kelima nabi dan rasul itu disebut ulul azmi (pemilik keutamaan). Mereka ialah Nabi Muhammad SAW, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, dan Nuh AS.
Secara kebahasaan, ulul azmi adalah orang-orang yang mempunyai kemauan yang kuat dan teguh. Mereka adalah para rasul Allah SWT yang sangat kuat dan teguh hatinya menghadapi segala halangan dan rintangan di dalam menjalankan tugas-tugas kerasulannya dan terus berjuang dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan.
Rasul yang termasuk dalam kelompok ulul azmi adalah rasul yang terkenal kesabaran dan ketabahannya dalam menjalankan tugas, sehingga kesabaran mereka dipuji Allah SWT dan dijadikan sebagai contoh kesabaran yang baik.
Hal itu ditegaskan-Nya di dalam Al-Qur’an surah al-Ahqaf (46) ayat 35, “Maka bersabarlah kamu seperti ulul azmi (orang-orang yang mempunyai keteguhan hati) dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka….”
Ulama berbeda pendapat tentang siapa nabi dan rasul yang termasuk ulul azmi tersebut, karena pada dasarnya setiap nabi dan rasul mempunyai kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi segala cobaan, godaan, dan halangan ketika melakukan tugas risalahnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa seluruh rasul yang diutus Allah SWT untuk menyeru manusia ke jalan Tuhan adalah ulul azmi. Kata “min” yang tercantum di dalam surah al-Ahqaf (46) ayat 35 itu bukan menunjukkan li at-tab‘id atau sebagian, tetapi li al-bayan, yang menerangkan jenis rasul utusan Tuhan.
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, rasul yang termasuk ulul azmi hanya lima orang dengan urutan yang tidak sama. Yang paling utama dari yang lima itu adalah Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS, dan terakhir Nuh AS.
Penderitaan yang dialami kelima rasul ini luar biasa, tetapi mereka sangat tabah dan sabar menanggung penderitaan itu dan tetap melaksanakan tugas dalam keadaan yang bagaimanapun.
Nama kelima orang rasul tersebut secara eksklusif disebut Allah SWT pada dua ayat dalam Al-Qur’an. Yang pertama adalah surah al-Ahzab (33) ayat 7,
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
Kedua, surah asy-Syura (42) ayat 13, “Dia telah mensyariatkan bagi kamu (Muhammad) tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya….”
Bagi jumhur ulama, nabi dan rasul Allah SWT mempunyai derajat masing-masing, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah. Dasar yang dipakai mereka untuk menyatakan hal tersebut adalah firman Allah SWT dalam surah al-Isra’ (17) ayat 55, “…dan sesungguhnya telah Kami lebihkan sebagian nabi-nabi itu atas sebagian (yang lain)….”
Nabi dan rasul Allah SWT yang paling utama adalah Nabi Muhammad SAW, kemudian nabi dan rasul yang termasuk ulul azmi yang lain, setelah itu rasul-rasul selain ulul azmi, dan yang terakhir adalah para nabi yang tidak menjadi rasul.
Yang dimaksud dengan nabi ialah orang yang menerima wahyu dari Tuhan tetapi tidak ditugaskan untuk menyampaikannya kepada umat. Jika wahyu yang diberikan Tuhan kepada seseorang itu diperintahkan untuk disampaikan kepada umat, orang tersebut disebut nabi dan rasul atau rasul saja (karena perkataan rasul sudah mengandung arti nabi).
Ulama yang tidak membedakan kedudukan dan derajat rasul mendasarkan pendapatnya pada Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 285, “(Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya….” Di samping itu, ada hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Bukhari, “Janganlah kamu melebih-lebihkan di antara para nabi itu.”
Daftar Pustaka
HAMKA. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
–––––––. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.
an‑Naisaburi, Abu Ishak Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim. Qasas al‑Anbiya. Singapura: Sulainian Nar’i, t.t.
Sabiq, Sayid. Akidah Islam, terj. Bandung: Diponegoro, 1978.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. al-Islam: Kepercayaan, Kesusilaan, Amal Kebajikan. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
HafizH Anshari