Orang yang ahli dalam ilmu agama Islam disebut ulama. Dengan ilmu pengetahuannya, mereka memiliki rasa takwa, takut, dan tunduk kepada Allah SWT. Ulama juga memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat Allah SWT, baik kauniyyah (gejala alam semesta) maupun qur’aniyyah (Al-Qur’an).
Kata ulama merupakan bentuk jamak dari ‘alim atau ‘alim, yang berarti “yang tahu” atau “yang mempunyai pengetahuan”. Di dalam Al-Qur’an kata “ulama” ditemukan pada dua tempat. Pertama, dalam surah Fathir (35) ayat 28, “…Sesunguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama….”
Jika ayat ini dihubungkan dengan ayat sebelumnya (ayat 27), pengertian ulama pada ayat tersebut adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman atau ilmu kauniyyah. Kedua, ulama dalam pengertian orang yang memiliki pengetahuan agama, seperti dalam surah asy-Syu‘ara’ (26) ayat 196 dan 197,
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar (ter sebut) dalam kitab-kitab orang yang dahulu. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?”
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa ulama adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman dan ilmu agama, dan pengetahuan yang dimilikinya itu dipergunakan untuk mengantarkannya pada rasa khasyyah (takut atau tunduk) kepada Allah SWT.
Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari menyatakan, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi.” Meskipun Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli hadis, meragukan kesahihan hadis ini, tetapi jiwa hadis ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Al-Qur’an pada surah Fathir (35) ayat 32, “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami….”
Ketika para nabi sudah tiada, tugas para nabi itu menjadi tugas para ulama, yaitu tablig atau menyampaikan (surah al-Ma’idah [5] ayat 67), tabyin atau menjelaskan (surah an-Nahl [16] ayat 44), tahkim atau memutuskan perkara ketika ada persoalan di antara manusia (surah al-Baqarah [2] ayat 213), dan sebagai uswah atau contoh teladan (surah al-Ahzab [33] ayat 21).
Pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah pertama) tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama, ilmu pengetahuan kealaman, dan pemimpin politik praktis.
Para sahabat Nabi SAW umumnya memiliki pengetahuan keagamaan, pengetahuan kealaman, dan sekaligus mereka juga pelaku-pelaku politik praktis. Para sahabat terkemuka pada masa itu biasanya duduk dalam suatu dewan pertimbangan yang disebut Ahl al-Hall wa al-‘Aqd. Oleh ulama, para sahabat ini kemudian disebut ulama salaf.
Baru pada masa pemerintahan Bani Umayah dan sesudahnya, istilah ulama lebih ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagamaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama lebih dipersempit lagi.
Misalnya, ahli fikih disebut fukaha, ahli hadis disebut muhadditsin, ahli kalam disebut mutakalim, ahli tasawuf disebut mutasawif, dan ahli tafsir disebut mufasir. Sementara itu orang yang memiliki pengetahuan tentang ilmu kealaman tidak lagi disebut sebagai ulama, tetapi disebut ahli dalam bidangnya masing-masing.
Tokoh-tokoh seperti al-Khawarizmi, al-Biruni, dan Ibnu Hayyan tidak disebut sebagai ulama, tetapi disebut sebagai ahli kauniyyah. Tokoh-tokoh itu baru disebut ulama jika merangkap memiliki ilmu pengetahuan keagamaan. Ahli filsafat juga tidak disebut ulama. Mereka disebut failasuf (filosof) atau hukama’ (orang yang memiliki kebijaksanaan). Misalnya, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan al-Ghazali.
Kecuali jika mereka memiliki pengetahuan keagamaan, mereka bisa disebut ulama. Misalnya, Ibnu Rusyd, yang selain filosof juga disebut sebagai ulama fikih karena keahliannya dalam bidang fikih sangat kuat dan al-Ghazali yang selain filosof juga dapat dikatakan sebagai ulama fikih, tasawuf, kalam, dan ahli ilmu kealaman.
Di Indonesia, istilah ulama atau alim ulama yang semula dimaksudkan sebagai bentuk jamak, berubah pengertiannya menjadi bentuk tunggal. Pengertian ulama juga menjadi lebih sempit, karena diartikan sebagai orang yang memiliki pengetahuan ilmu keagamaan dalam bidang fikih.
Di Indonesia, ulama identik dengan fukaha. Bahkan dalam pengertian awam, ulama adalah fukaha dalam bidang ibadah saja. Betapapun semakin sempitnya pengertian ulama dari dahulu sampai sekarang, namun ciri khasnya tetap tidak bisa dilepaskan, yakni ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu diajarkan dalam rangka khasyyah kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, ulama harus orang Islam. Seseorang yang baru memiliki ilmu keagamaan (keislaman) seperti para ahli ketimuran (orentalis) tidak dikatakan ulama.
Ada beberapa macam istilah atau sebutan bagi ulama di Indonesia. Di Aceh disebut Teungku; di Sumatera Barat disebut Tuanku atau Buya; di Jawa Barat disebut Ajengan; di Jawa Tengah/Timur disebut Kiai; dan di daerah Banjar (Kalimantan Selatan), Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara lazim disebut Tuan Guru. Adapun ulama yang memimpin tarekat disebut Syekh.
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl Ibnu Hajar. Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1951.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Nusantara di Haramain. Bandung: Mizan, 1994.
–––––––. “Ulama Indonesia di Haramain: Pasang Surut Sebuah Wacana Intelektual Keagamaan,” Ulumul Qur’an, Vol. III, No. 3, 1992.
Ihsan Adiwiguna. “Antara Ulama dan Cendekiawan,” Pesantren. t.tp.: t.p, 1985.
Noer, Deliar. Masalah Ulama Intelektual dan Intelektual Ulama. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Shihab, M. Quraish. “Ulama Pewaris Nabi,” Pesantren. t.tp.: t.p, 1985.
Atjeng Achmad Kusaeri