Tilawah Al-Qur’an

(Ar.: tilawah al-Qur’an)

Bacaan atau pembacaan Al-Qur’an disebut juga tilawah Al-Qur’an. Dalam ilmu qiraah, pembacaan Al-Qur’an memiliki berbagai lahjah (bunyi baca), karena sahabat Nabi SAW yang menerima bacaan Al-Qur’an terdiri dari beberapa golongan yang memiliki lahjah masing-masing. Ini juga merupakan konsekuensi dari lebih dari satu kebiasaan baca Al-Qur’an.

Ibnu Mujahid (w. 324 H/936 M), seorang ulama qiraah dari Baghdad yang melakukan penelitian atas bacaan yang ada, menyimpulkan bahwa ada tujuh macam bacaan (qira’at sab‘ah) yang dapat diterima. Ketujuh macam bacaan ini dipelopori oleh tujuh imam, yaitu Abdullah bin Amir asy-Syami, Ibnu Kasir al-Makki, Asim al-Kufi, Abu Amr al-Basari, Nafi‘ al-Madani, Hamzah az-Zaiyat, dan Abul Hasan Ali al-Kufi.

Setiap muslim yakin bahwa membaca Al-Qur’an termasuk amal yang sangat mulia dan akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Ali bin Abi Talib (menantu Rasulullah SAW) menerangkan tingkatan pahala bagi orang yang membaca Al-Qur’an, yakni: 50 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di dalam salat; 25 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di luar salat tetapi dalam keadaan berwudu; dan 10 kebaikan untuk setiap huruf yang dibaca di luar salat tanpa berwudu.

Al-Qur’an adalah sebaik-baiknya bacaan bagi orang muslim. Hal ini seperti sabda Nabi SAW yang berarti: “Sebaik-baik di antara kamu orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya” (HR. at-Tirmizi dari Usman bin Affan). Membaca Al-Qur’an itu bukan saja menjadi amal dan ibadah, tetapi dapat juga menjadi obat dan penawar bagi orang yang gelisah jiwanya.

Menurut ajaran Islam, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an merupakan ibadah dan amal yang mendatangkan pahala dan rahmat. Anjuran untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an disebutkan dalam surah al-A‘raf (7) ayat 204 yang berarti:

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat.” Sebagian ulama mengatakan bahwa pahala mendengarkan orang membaca Al-Qur’an sama dengan pahala orang yang membacanya. Rasulullah SAW bersabda, “Terangilah rumah-rumah kalian dengan salat dan membaca Al-Qur’an” (HR. al-Baihaqi dari Anas RA).

Rasulullah SAW pernah menyatakan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim tentang keutamaan membaca Al-Qur’an yang berarti:

“Ada dua golongan manusia yang sungguh-sungguh orang dengki kepadanya, yakni orang yang diberi oleh Allah kitab suci Al-Qur’an lalu dibacanya siang dan malam; dan orang yang dianugerahi Allah kekayaan harta, siang dan malam kekayaan itu digunakannya untuk segala sesuatu yang diridai Allah.”

Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga menerangkan bagaimana rahmat Allah SWT terhadap orang yang membaca Al-Qur’an di rumah ibadah (masjid, surau, musala, dan lain-lain). Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang masyhur lagi sahih yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah yang berarti:

“Kepada kaum yang suka berjemaah di rumah-rumah ibadah, membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan saling mengajarkan antara sesamanya akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketenteraman, akan terlimpah kepadanya rahmat dan mereka dijaga oleh malaikat, juga Allah akan selalu mengingat mereka.”

Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya rumah yang dibacakan Al-Qur’an, niscaya lapanglah penghuni rumah itu, banyaklah kebaikannya, datanglah kepadanya malaikat dan keluarlah daripadanya setan-setan. Sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan padanya Al-Qur’an, niscaya sempitlah penghuninya, sedikitlah kebaikannya, keluarlah daripadanya malaikat dan datanglah setan-setan.”

Al-Qur’an sebagai kitab suci dan wahyu Ilahi mempunyai tata cara bagi orang yang membacanya. Tata cara itu sudah diatur dengan sangat baik untuk penghormatan dan keagungan Al-Qur’an. Setiap orang harus berpedoman pada tata cara tersebut.

Imam al-Ghazali (450 H/1058 M–505 H/1111 M), pemikir Islam, teolog, filsuf, dan sufi termasyur dari Ghazalah (Khurasan), dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu Agama), menjelaskan bagaimana adab membaca Al-Qur’an. Imam al-Ghazali membagi adab membaca Al-Qur’an itu menjadi adab yang bersifat batin dan yang bersifat lahir.

Adab yang bersifat batin diperinci menjadi arti memahami asal kalimat, cara hati membesarkan kalimat Allah SWT, menghadirkan hati di kala membaca sampai ke tingkat memperluas dan memperhalus perasaan dan membersihkan jiwa. Dengan demikian kandungan Al-Qur’an yang dibaca dengan perantaraan lidah dapat bersemi dalam jiwa dan meresap ke dalam hati sanubarinya. Kesemuanya ini adalah adab yang berhubungan dengan batin, yaitu dengan hati dan jiwa.

Adapun tentang adab lahir dalam membaca Al-Qur’an, selain didapat di dalam kitab Ihya’, juga banyak terdapat di dalam kitab lainnya, seperti di dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Buku tentang Ilmu Al-Qur’an) karya Imam Jalaluddin as-Suyuti. As-Suyuti memperinci adab membaca Al-Qur’an menjadi beberapa bagian. Di antaranya yang terpenting ialah disunahkan untuk:

(1) berwudu dahulu sebelum membaca Al-Qur’an, hendaknya mengambil Al-Qur’an dengan tangan kanan dan memegangnya dengan kedua belah tangan;

(2) membaca Al-Qur’an di tempat yang bersih seperti di rumah, surau, dan di tempat lain yang dipandang bersih paling utama ialah di masjid;

(3) membaca Al-Qur’an menghadap ke kiblat dan membacanya dengan khusyuk dan tenang, sebaiknya berpakaian yang sopan;

(4) membaca Al-Qur’an dengan mulut dalam keadaan bersih, tidak berisi makanan sebaiknya sebelum membaca Al-Qur’an mulut dan gigi dibersihkan lebih dahulu;

(5) membaca taawuz (A‘uzu bi Allah min asy-syaithan ar-rajim [Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk]) sebelum membaca Al-Qur’an, kemudian membaca basmalah (Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim [Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang]);

(6) membaca Al-Qur’an dengan tartil (pelan dan tenang);

(7) membaca dengan penuh perhatian maksud dari ayat tersebut (bagi orang yang telah mengerti arti dan maksud ayat Al-Qur’an);

(8) membaca Al-Qur’an, agar benar-benar diresapkan maksudnya;

(9) membaca Al-Qur’an dengan suara yang bagus dan merdu, sebab suara yang bagus dan merdu itu menambah keindahan Al-Qur’an;

(10) sedapat mungkin jangan berhenti membaca Al-Qur’an hanya karena ingin berbicara dengan orang lain. Hendaknya pembacaan diteruskan sampai ke batas atau wakaf (jeda) yang telah ditentukan, barulah disudahi. Ketika membacanya dilarang tertawa-tawa dan bermain-main.

Daftar Pustaka

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo.: al-Masyhad al-Husain, t.t.
Muslim, Imam. Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi. Beirut: Dar Ihya’ at-Turas al-Arabi, 1984.
as-Sabuni, Muhammad Ali. at-Tibyan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Mekah: Maktaah al-Ghazali, 1981.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abi Bakar. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Asmaran As