Dalam bahasa Arab, tawajjuh berarti “menghadap”, “mengarahkan”, atau “memperuntukkan”. Dalam terminologi Islam, tawajuh berarti “menghadapkan diri dan membulatkan hati kepada Allah SWT”. Seluruh jiwa, raga, dan aktivitas mukmin yang sedang bertawajuh haruslah tertuju kepada Allah SWT
Tawajuh merupakan konsekuensi dari pengakuan iman atau syahadat “Tiada Tuhan selain Allah”. Dengan ungkapan lain, pengakuan ini mengharuskan aspek uluhiyyah (ketuhanan) dan ‘ubudiyyah (peribadatan)-nya hanya tertuju kepada Allah SWT semata. Setiap kali salat ia berikrar: “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Tawajuh menghendaki sikap ikhlas dalam setiap pengabdian. Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Umar diceritakan bahwa ketika seorang laki-laki (yang kemudian ternyata Malaikat Jibril) menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang arti ihsan. Rasulullah SAW menjawab, “Ihsan itu ialah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, tetapi jika engkau tidak mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Allah selalu melihat engkau.”
Imam Nawawi ketika menjelaskan arti hadis ini mengatakan, hendaklah manusia selalu merasa diawasi Allah SWT dan berlaku ikhlas dalam segala pengabdian.
Dr. Abdul Halim Mahmud (ulama terkemuka Mesir dan mantan rektor Universitas al-Azhar) mengatakan, sesungguhnya tak diragukan lagi bahwa manusia tidak dapat memasuki pintu Allah SWT atau berjalan di jalan yang menuju kepada-Nya, kecuali dengan mengikhlaskan pengabdiannya semata-mata hanya untuk Allah SWT yang tiada sekutu bagi-Nya.
Kalau manusia sudah mampu mengikhlaskan pengabdiannya semata-mata hanya untuk Allah SWT dan menjadikan dirinya benar-benar sebagai hamba Allah SWT yang mukhlisin (ikhlas) dan dapat mewujudkan firman Allah SWT yang berarti: “Hanya kepada Engkau lah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS.1:5), Allah SWT tidak akan menjadikan jalan bagi setan untuk sampai kepadanya. Dalam surah al-Isra’ (17) ayat 65 Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Penjaga.” Selain itu dalam surah Sad (38) ayat 82–83, Allah SWT berfirman: “Iblis menjawab, ‘Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka’.”
Kalau seorang mukmin benar-benar telah dapat mewujudkan pengabdianya semata-mata hanya untuk Allah SWT, Allah SWT akan memberikannya anugerah ilmu makrifat. Dalam hal ini Allah SWT berfirman tentang Nabi Musa AS dan kawannya sebagai berikut:
“Lalu mereka (Musa dan muridnya) bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS.18:65).
Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umatnya telah berhasil mewujudkan pengabdiannya secara sempurna. Salatnya, semua ibadahnya, dan seluruh hidup dan matinya benar-benar hanya diperuntukkan (tawajuh) bagi Allah Sang Pencipta Alam Semesta yang tiada sekutu bagi-Nya. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW itu dijelaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti:
“Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan akulah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS.6:162–163).
Mengikuti dan meneladani jejak Rasulullah SAW dalam bertawajuh kepada Allah SWT adalah langkah yang ditempuh kaum sufi, seperti yang diutarakan Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah as-Suhrawardi (w. 1191), pendiri Tarekat Suhrawardiyah di Persia, dalam kitabnya ‘Awarif al-Ma‘arif (Ahli Ilmu Pengetahuan) sebagai berikut:
“Seorang sufi ialah orang yang senantiasa melakukan penyucian. Ia senantiasa menyucikan waktu-waktunya dari berbagai macam kekejian, menyucikan hatinya dari berbagai polusi jiwa. Yang dapat membantunya untuk mengadakan penyucian itu hanyalah dawam al-iftigar (dengan selalu memohon kepada Allah), dan dengan demikian ia benar-benar bersih dari kotoran.
Dan setiap kali jiwa itu bergerak dan menampakkan salah satu sifatnya maka ia dapat menjangkaunya dengan mata hatinya dan ia segera meninggalkannya untuk mendapatkan jalan menuju Allah.”
Agar jiwa dan raganya hanya diperuntukkan atau bagi Allah SWT, sufi selalu berusaha mengadakan kontak langsung dengan Allah SWT. Ia memperbanyak ibadah kepada-Nya (seperti memperbanyak salat sunah, membaca Al-Qur’an, mengamalkan wirid, dan mengurangi makan dengan memperbanyak puasa), sehingga mampu melepaskan ketergantungannya kepada selain Allah SWT. Bahkan Imam al-Ghazali mengajarkan:
“Engkau mengasingkan diri di tempat yang sepi, mengkhususkan diri untuk beribadah, baik yang wajib maupun yang sunah, duduk mengosongkan hati, menyatukan keinginan, menghadap Allah dengan selalu ingat kepada-Nya. Dan hal ini, pertama-tama engkau tekuni dengan lidah mengingat Allah dengan senantiasa menyebut: ‘Allah, Allah,’ disertai hadirnya hati dan kesadaran hingga sampai kepada suatu keadaan di mana jika engkau tidak lagi menggerakkan lisan, engkau akan merasakan seakan-akan kata tersebut bergetar di lidahmu karena seringnya mengulang-ulang.
Kemudian jadikanlah kebiasaan hingga tidak ada lagi yang melekat di hatimu kecuali makna lafal tersebut, tidak ada yang terlintas di hatimu kecuali huruf-huruf dan bentuk-bentuk lafal tersebut; bahkan makna itu sajalah yang selalu dan senantiasa hadir dalam hatimu. Usahamu sampai di batas ini saja, tidak ada usaha lebih dari itu kecuali permohonan agar selalu terhindar dari gangguan yang menyesatkan. Habislah usahamu, tidak ada lagi yang dapat kamu lakukan kecuali terbukanya sesuatu sebagaimana tampak bagi para wali dan sebagian para nabi.”
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
Mahmud, Abdul Halim. al-Munqidz min ad-dalal li hujjah al-Islam al-Gazali ma‘a Abhatsin fi at-Tasawwuf wa Dirasah ‘an al-Imam al-Gazali. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1968.
an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. Sahih Muslim bi Syarh an‑Nawawi. Cairo: Dar al‑Misriyah, 1924.
as-Suhrawardi, Syihabuddin Abu Hafs. ‘Awarif al-Ma‘arif. Cairo: ’Alamiyah Press, 1939.
Asmaran As