Taurat

(Ar.: taurat; Ibr.: thora)

Kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Musa AS disebut Taurat, yang menjadi petunjuk baginya dan Bani Israil. Kitab suci ini dipercaya sebagai firman Tuhan yang disampaikan secara langsung kepada Nabi Musa AS di Gunung Sinai.

Hal mengenai Taurat dinyatakan melalui firman Allah SWT dalam surah al-Isra’ (17) ayat 2 yang berarti:

“Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), ‘Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku’.”

Akan tetapi para pewarisnya­ telah menyembunyikan sebagian besar isi kitab Taurat tersebut (QS.6:91). Taurat merupakan bagian dari kitab suci agama Yahudi dan juga Kristen. Bagi yang beragama Yahudi, Taurat adalah kitab terpenting.

Taurat merupakan salah satu dari tiga kompo­nen (Thora, Nabiin, dan Khetubiin) yang terdapat dalam kitab suci agama Yahudi yang disebut­ Biblia (Alkitab), yang belakangan oleh orang Kristen disebut Old Testament (Perjanjian Lama). Taurat­ yang terdapat dalam Perjanjian Lama ini terdiri dari lima kitab yang dinyatakan­ berasal dari Nabi Musa AS.

Pertama, kitab Kejadian (Genesis). Kitab ini berisi kisah kejadian alam semesta dan kejadian Adam dan Hawa beserta peristiwa turunnya Adam dan Hawa ke bumi, sampai pada peristiwa Nabi Yusuf AS.

Kedua, kitab Keluaran (Exodus). Kitab ini berisi­ kisah keluarnya Bani Israil dari penindasan Farao (Fir’aun) di tanah Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa AS, keberadaan Musa di Padang Tiah, Semenanjung­ Sinai, selama 40 tahun, mu­najat (doa untuk mengharapkan keridaan, ampunan, dan hidayah) Musa terhadap Yahwe (Allah SWT), dan diturunkannya Sepu-luh Perintah (Ten Commandments).

Ketiga, kitab Imamat (Leviticus). Kitab ini berisi­ himpunan syariat di dalam agama Yahudi.

Keempat, kitab Bilangan (Numbers). Kitab ini berisi cacah jiwa turunan dua belas suku Israil pada masa Nabi Musa AS.

Kelima, kitab Ulangan (Deuteronomy). Kitab ini berisi ulangan kisah yang dikeluarkan dari tanah Mesir dan ulangan himpunan syariat.

Isi utama kitab Taurat itu adalah Sepuluh Perintah­ (Ten Commandments) atau Sepuluh Firman yang diterima Nabi Musa AS di atas bukit Tursina (Gunung Sinai). Sepuluh Perintah itu berisi­ asas keyakinan (akidah) dan asas kebaktian (syariat). Semuanya itu tersebut dalam kitab Keluaran pasal 20:1–17 dan kitab Ulangan pasal 5:1–21.

Sepuluh Perintah atau Sepuluh Firman itu adalah: (1) hormati dan cintailah satu Allah saja, (2) sebutkanlah­ nama Allah dengan hormat, (3) kuduskanlah hari Tuhan (hari Sabat, yaitu hari ke-7 setelah bekerja 6 hari seminggu),­ (4) hormatilah­ ibu-bapakmu, (5) jangan membunuh,­ (6) jangan bercabul,­ (7) jangan mencuri,­ (8) jangan berdusta,­ (9) jangan ingin berbuat­ cabul, (10) jangan ingin memiliki barang orang lain dengan cara yang tidak halal.

Taurat yang terdiri dari lima buah kitab itu berabad­-abad lamanya diajarkan turun-temurun dari mulut ke mulut, terutama dalam kalangan para imam dan para rabbi, sehingga sifatnya adalah Oral Thora (Taurat Lisan). Keharusan untuk menu­lis­­kannya belum dirasakan mendesak,­ apalagi papirus­ (tumbuhan air untuk bahan kertas) dan parkamen­ pada masa itu sulit diperoleh dan harganya­ sama dengan harga emas.

Tatkala bangsa Yahudi dalam keadaan porak-poranda karena berbagai penaklukan asing, maka dirasakan perlu ada suatu ikatan rohaniah yang akan tetap mengikat mereka Torah, kitab suci umat Yahudi yang ditulis dalam bahasa Ibrani sebagai satu bangsa dimanapun berada. Ikatan itu ialah ikatan agama, karena agama Yahudi bersifat nasional. Oral Thora perlu seluruhnya dijadikan Written Thora (Taurat Tertulis) agar wahyu itu tidak lenyap dan mudah untuk dipelajari.

Pemikiran ke arah penyusunan seluruh Thora (Taurat) itu timbul untuk pertama kalinya pada diri Nabi Ezra yang hidup sekitar 460 SM dan yang atas kemurahan Raja Artaxerxes (464–424 SM) dari Persia diizinkan bersama kelompoknya pulang kembali dari Babilonia untuk membangun kembali kota Yerusalem beserta Baitullah di Yerusalem,­ yang sudah dihancurkan dan didatarkan Nebukadnezar. Pada Kitab Nabi Ezra (salah satu kitab dalam Khetubiin) pasal 7:11–13 dikisahkan izin yang diberikan­ itu sebagai berikut:

“Inilah salinan surah, yang diberikan Raja Artahsasta kepada Ezra, imam, dan ahli kitab itu, yang ahli dalam perkataan segala perintah dan ketetapan Tuhan bagi orang Israil; Artahsasta, raja segala raja, kepada Ezra, imam dan ahli Taurat Allah semesta langit, dan selanjutnya. Maka sekarang; olehku telah dikeluarkan­ pe­rintah, bahwa setiap orang di dalam kerajaanku yang termasuk orang Israil awam, atau para imamnya atau orang-orang Lewi, dan yang rela pergi ke Yerusalem, boleh turut pergi dengan engkau.”

Sebelumnya dikisahkan:

“Ezra ini berangkat­ pulang dari Babel. Ia adalah seorang ahli kitab, mahir dalam­ Taurat Musa yang diberikan Tuhan, Allah Israil. Dan raja memberi dia segala yang diinginkannya, oleh karena tangan Tuhan, Allahnya melindunginya.” (ayat 6).

“Tepat pada tanggal satu bulan pertama ia memulai perjalanannya pulang dari Babel dan te­pat pada tang­ gal satu bulan kelima ia tiba di Ye­rusalem, oleh karena tangan murah Allahnya itu melindungi dia” (ayat 9).

Pemikiran ke arah penyusunan Taurat itu diceritakan­ dalam ayat 10 sebagai berikut:

“Karena Ezra pun sudah membetulkan hatinya akan menyelidiki­ Thora Tuhan hendak melakukan dia dan akan mengajarkan orang Israil segala syariat dan syarat.”

Ezra mengumpulkan guru-guru Thora, yang pada masa itu disebut sopherim. Dengan segala ketekunan­ pada akhir­nya tersusunlah naskah lengkap yang pertama dari kitab Thora itu.

Kelanjutan dari hasil karya besar itu dikisahkan dalam Kitab Nabi Nehemiah (bagian dari Khe­tu­biin) pasal 8:2–4, yang berbunyi sebagai berikut:

“…maka serentak berkumpullah seluruh rakyat di halaman di depan pintu gerbang Air. Mereka meminta­ kepada Ezra, ahli kitab itu, supaya ia membawa kitab Taurat Musa, yakni kitab hukum yang diberikan Tuhan kepada Israil; lalu pada hari pertama bulan yang ketujuh itu Imam Ezra membawa kitab Taurat itu ke hadapan jemaah,­ yakni baik laki-laki maupun perempuan dan setiap orang yang dapat mendengar dan me­ngerti; ia membacakan bebe­rapa bagian dari kitab itu di halaman di depan pintu gerbang Air dari pagi sampai tengah hari di hadap­an­ laki-laki dan perempuan dan semua orang yang dapat mengerti­. Dengan penuh perhatian seluruh umat mendengarkan pembacaan kitab Taurat­ itu.”

Jarak masa antara Nabi Musa (sekitar 1200 SM) dan Nabi Ezra (sekitar 460 SM) itu berlangsung sekitar 800 tahun atau 8 abad. Dalam­ masa yang panjang itu Taurat bersifat lisan, yakni diwariskan dari mulut ke mulut.

Naskah lengkap himpunan yang sudah tertulis itu disimpan di dalam ruang Holy of Holies (Ruang Teramat Suci) di dalam Baitullah di Yerusalem, di bawah pengawasan Imam Besar (High Priest).

Sejak 323 sampai 198 SM, wilayah Judea yang tadinya ditaklukkan Alexander (Iskandar) Agung (356–323 SM) telah merupakan wilayah­ taklukan pula dari raja-raja Dinasti Ptolemi (323–30 SM) dari tanah Mesir.

Ptolemi III Philadelphus (285–246 SM) membangun perpustaka­an­ besar yang terkenal di bandar Alexandria (Iskandariyah), dikenal dengan nama Alexandrian Library­ (Perpustakaan Alexandria), berisi kumpulan karya Yunani Kuno dalam bidang filsafat maupun­ cabang-cabang ilmu lainnya pada masa itu. Ia pun meminta kepada Imam Besar Eleazer di Yeru­sa­lem­ untuk mengirimkan naskah kitab suci agama­ Yahudi untuk disalin ke dalam bahasa Yunani dan mengirimkan tenaga ahli yang akan me­nyalinnya­ ke dalam bahasa Yunani.

Imam Besar Eleazer mengirimkan naskah lengkap­ satu-satunya itu beserta 70 orang tenaga ahli, kaum terpelajar Yahudi yang menguasai bahasa Yunani. Oleh sebab itulah, naskah salinan ke dalam bahasa Yunani itu diberi nama Septuaginta (Tujuh puluh) sebagai penghormatan kepada tenaga ahli itu.

Naskah Septuaginta itu tersimpan pada Perpustakaan Alexandria dan dari waktu ke waktu dilakukan penaskahan oleh juru-juru tulis yang dipekerjakan­ dalam perpustakaan itu untuk memenuhi setiap permintaan­ dari pihak yang membutuhkannya.

Adapun nasib naskah asli yang berbahasa Ibrani dan Aramaik itu sudah tidak diketahui karena ruangan Holy of Holies dalam Baitullah di Yerusalem­ sudah tidak menyimpannya. Semenjak masa itu penganut agama Yahudi cuma mengenal kitab sucinya berbahasa Yunani, yaitu Septuaginta.

Cuplikan dari kitab suci yang berbahasa Ibrani dan Aramaik itu, yang ada pada berbagai tangan, mungkin semuanya musnah pula pada masa pemberontakan­ yang gagal (65–75) dan lebih-lebih lagi pada masa pemberontakan Bar-Kocheba­ pada 132–135.

Pada kedua pembe­rontakan­ itu pihak Imperium Roma melakukan­ pembasmian total secara menyeluruh. Bahkan Panglima Titus Flavius Vespasianus (pengganti Vespasianus sebagai­ kaisar Romawi, 79–81) pada tahun 70 sengaja menghancurkan­ dan mendatarkan­ Baitullah yang terkenal megah dan agung di Bukit Zion itu.

Pada masa ini cuma dijumpai fragmen (kepingan) yang tidak lengkap dalam bahasa Suryani, Kopti, dan Ethiopi. Sehabis Perang Dunia II, di dalam himpunan naskah-naskah tua yang ditemukan dalam gua-gua di pinggir sebelah barat Laut Mati yang terkenal dengan himpunan Dead Sea Scrolls (Gulungan Perkamen Laut Mati) itu, dijumpai naskah lengkap dari Kitab Nabi Habakuk­ dan Kitab Nabi Isaiah, keduanya­ merupakan bagian dari Nebiim di dalam bahasa Ibrani.

Susunan kata dan kalimat di dalam fragmen itu, begitu pula di dalam Kitab Nabi Habakuk­ dan Kitab Nabi Isaiah yang ditemukan itu, apabila dibandingkan dengan naskah Massoretic Text (naskah kitab suci agama Yahudi yang disusun kembali dalam bahasa Ibrani pada abad ke-19), banyak di antaranya yang sama, tetapi ada pula yang berbeda.

Dengan demikian hasil penemuan­ itu makin menimbulkan rangsangan untuk melakukan peninjauan kembali secara berani tentang isi kitab yang dipandang suci selama ini. Rang­sangan itu dirasakan oleh kalangan yang paling sadar­ dalam lingkungan agama Yahudi, demikian pula dalam lingkungan agama Kristen yang memandang Perjanjian Lama (Old Testament) itu bagian­ dari Holy Bible (Kitab Suci) selama ini.

Ikhtiar pertama yang dilakukan untuk menyaring­ kitab-kitab yang dipandang suci selama ini di­lakukan oleh Sidang Besar di Jamnia (Synod of Jamnia) pada tahun 90, dihadiri rabbi-rabbi Yahudi. Hal itu terjadi setelah orang Yahudi,­ sehabis tahun 70, berangsur-angsur masuk kembali dan menetap di Palestina. Akan tetapi wilayah sekitar Yerusalem­ yang oleh pihak impe­rium Roma disebut dengan Aelia Capitolina itu, tidak boleh dimasuki orang Yahudi.

Sidang Besar di Jamnia itu berlangsung sesudah Kaisar Vespasianus mangkat dan digantikan Kaisar Titus Plavius (79–81). Pada saat itu untuk pertama kalinya ditetapkan kitab-kitab yang terpandang sah, yakni Canonical Books, seperti yang dipegang oleh pihak sekte ortodoks dalam agama Yahudi. Dalam pada itu, ada beberapa kitab di dalam Septuaginta dinyatakan sebagai kitab-kitab yang disangsikan (pseudepigrapha) sehingga dike­luarkan­ dari bagian Kitab Suci.

Pada waktu gerakan reformasi bangkit dalam kalangan agama Yahudi (pada abad VIII dan IX), yang terkenal dengan gerakan Karaite dan gerakan­ Massorah di Baghdad, kembali dilakukan­ penyaringan­ yang lebih teliti terhadap berbagai kitab. Gerakan itu mengeluarkan lagi beberapa kitab dari bagian Kitab Suci dan dinyatakan­ sebagai kitab-kitab yang tidak sah (Apocryphal­ Books). Gerakan itu menyusun teks standar di dalam bahasa Ibrani bagi kitab suci agama Yahudi, yang dikenal dengan sebutan Massoretic Text sampai kini.

Daftar Pustaka

Alkitab. Bogor: Lembaga Al-Kitab Indonesia, 1974.

HAMKA. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.

Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Syuaib, Yusuf. Agama-agama Besar di Dunia. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983.

Tatapangarsa, Humaidi. Kuliah Aqidah Lengkap. Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Oman FathurRahman