Tasybih dan Tanzih

Kata tasybih dan tanzih mengandung makna “penyerupaan” dan “penyu­cian”­. Kedua kata tersebut dipakai dalam ilmu kalam­ dan filsafat. Tasybih merujuk pada penyerupaan­ Tuhan dengan alam, dan tanzih merujuk pada penyucian sifat Tuhan dari penyerupaan­-Nya dengan alam.

Di kalangan mutakalimin (ahli ilmu kalam), pembicaraan­ tentang tasybih dan tanzih terbatas pada ayat Al-Qur’an dan hadis yang menggunakan­ kata yang dapat dipahami sebagai Tuhan yang mempunyai sifat jasmani, misalnya surah Thaha (20) ayat 5 yang berarti:

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy”;

surah Thaha (20) ayat 39: “…dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku”; surah al-Qasas (28) ayat 88: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”;

surah Sad (38) ayat 75: “Allah berfirman: Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua­ tangan-Ku”;

surah az-Zumar (39) ayat 67: “…dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya”; dan surah al-Fajr (89) ayat 22: “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.”

Adapun pembicaraan tentang tasybih dan tanzih dalam hadis dapat dilihat dalam berbagai riwayat,­ antara lain sebagai berikut: hadis riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, dan at-Tirmizi tentang penciptaan Nabi Adam AS, yang berarti, “Engkau adalah bapak seluruh manusia, Allah telah menjadikanmu dengan tangan/kekuasaan-Nya”; dan hadis riwayat Abu Dawud yang berarti “Tidak sah nazar kecuali pada sesuatu untuk mendapatkan wajah/keridaan­ Allah.”

Kaum Asy‘ariyah menerima ayat tasybih tersebut se­bagaimana adanya. Dalam keyakinan Asy‘ariyah, Tuhan memang mempunyai sifat jasmani karena Al-Qur’an sendiri menjelaskannya. Andaikata Al-Qur’an tidak memberikan penjelas­an­ tentang itu, maka seorang mukmin tidak boleh meyakini bahwa Tuhan juga mempunyai sifat tasybih tersebut.

Namun Asy‘ariyah kemudian­ memberikan penjelasan tambahan bahwa penyifat­an­ Tuhan dengan sifat jasmani tersebut tidak boleh diidentikkan dengan alam karena Tuhan sendiri berbeda dengan alam (laisa ka­mislihi syai’un). Itulah sebabnya kaum Asy‘ariyah mengatakan bahwa­ sebenarnya Allah SWT mempunyai sifat jasmani, seperti mempunyai wajah, mata, tangan, dan bersemayam di atas Arasy (singgasana), tetapi­ semua itu harus diberi batas bila kaifa (tanpa penjelasan bagaimana Dia).

Berbeda dengan kaum Asy‘ariyah, Muktazilah tidak menerima ayat tasybih tersebut sebagai­mana­ adanya. Mereka mengatakan bahwa apabila dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat jasmani, tentulah­ Tuhan itu mempunyai ukuran panjang, lebar, dan dalam, atau Tuhan adalah sebagai keharusan dari sesuatu yang bersifat jasmani. Karena itu, ayat yang mengandung pengertian bahwa Tuhan bersifat jasmani harus dipahami secara metaforis.

Dengan kata lain, dalam istilah mu­ta­kalimin, ayat tersebut harus ditakwilkan atau di­jelaskan. Kaum Muktazilah­ menakwilkan kata is­tawa’ (berse­mayam) dengan al-istila wa al-galabah (menguasai dan mengalahkan), ‘aini (penglihatan­ atau mata-Ku) dengan ‘ilmi (pengetahuan­-Ku), wajhuh dengan dzatuhu atau nafsuhu (Zat-Nya atau Diri-Nya), yad dengan al-quwwah (kekuatan),­ yamin dengan al-quwwah (kekuatan), dan “datanglah Tuhan-mu” dengan ja’a amru rabbika (telah datang urusan Tuhanmu). Dengan demikian gambaran jasmaniah yang timbul ketika memahami ayat tasybih tersebut dapat dihindari.

Bahkan lebih jauh, kaum Muktazilah tidak mau mem­ berikan definisi positif terhadap Allah SWT ketika meng­gambarkan esensi Tuhan. Mereka­ menggunakan definisi negasi (penyang­kalan atau peniadaan) tentang Tuhan untuk memelihara­ kesucian (tanzih) Tuhan dalam menyerupakan­-Nya dengan alam.

Mereka berpendapat bahwa Allah SWT adalah Yang Esa, tidak ada sesuatu yang me­nyamai-Nya, bukan jisim (materi), tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak berdaging, tidak berdarah, bukan orang (syakhs), bukan jauhar (substansi), bukan ’ard (hal yang melekat­ pada zat, bukan hakikat), tiada pada-Nya warna, tiada rasa panas, tiada rasa dingin, tidak basah, tidak kering, tidak panjang, tidak lebar, tidak dalam, tidak bertemuan, dan tidak berpisah­an­.

Dia tidak bergerak, tidak dalam ruang, dan tidak dalam waktu. Zat-Nya sederhana,­ tidak terbagi-bagi, tidak bergerak, tidak istirahat, dan tiada pada-Nya kanan, kiri, depan, belakang, atas, dan bawah. Allah SWT ada sebelum ciptaan-Nya ada. Dia bukan bapak dan bukan pula anak. Tiada yang abadi kecuali Dia, tiada yang menyerupai-Nya, tiada yang menolong­-Nya untuk menumbuhkan sesuatu yang ingin ditumbuhkan-Nya, dan tidak menciptakan ciptaan-Nya berdasarkan­ contoh yang mendahuluinya.

Di dalam filsafat, ajaran tentang tanzih atau penyucian­ sifat Tuhan dari penyerupaan-Nya dengan alam sangat diperhatikan. Bahkan para filsuf Islam dikenal dengan nama kaum Mu’at­tilah, yakni kaum yang meniadakan sifat Allah SWT untuk menghindari tasybih.

Al-Kindi, umpama­nya, dalam menegakkan sifat tanzih Tuhan, sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah (hakikat yang partial) atau mahiyah (hakikat yang universal). Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda yang ada dalam­ alam, bahkan Dia adalah pencipta alam itu sendiri.

Dia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Demikian pula Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah karena Tuhan bukan genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Dia adalah­ Yang Benar Pertama (al-haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-haqq al-Wahid). Hanya Dia-lah yang satu, selain dari Dia semuanya mengandung­ arti banyak.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.

Khafaji, Mahmud Ahmad. FI al-‘Aqidah al-Islamiyyah bain as-Salafiyyah wa al-Mu‘tazilah. Cairo: Matba‘ah al-Amanah, 1979.

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

an-Nasysyar, Ali Syami. Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1962.

Yunan Yusuf