Tas‘ir berarti “penetapan harga” dan jabari, “secara paksa”. Dalam terminologi Islam, tas‘ir jabari berarti “penetapan harga suatu komoditas oleh penguasa secara paksa atau sepihak”. Prinsip dan tujuan tas‘ir jabari adalah kemaslahatan bersama, yang dalam istilah fikih disebut al-maslahah al-mursalah.
Menurut Mazhab Hanbali, tas‘ir jabari adalah upaya penguasa dalam menetapkan harga suatu komoditas dan memberlakukannya pada transaksi jual beli warganya. Imam asy-Syaukani (1172 H/1759 M–1250 H/1834 M), tokoh usul fikih dan ahli hadis Mazhab Zaidiyah (salah satu mazhab dalam Syiah), dalam kitabnya Nail al-Authar (Pencapaian Tujuan) mengemukakan bahwa tas‘ir jabari adalah instruksi penguasa kepada para pedagang untuk tidak menjual barang dagangannya kecuali sesuai dengan harga yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan kemaslahatan bersama.
Selain definisi tersebut, ada pula yang mengemukakan bahwa tas‘ir jabari hanya berkaitan dengan barang konsumtif. Namun menurut Fathi ad-Duraini (guru besar fikih dan usul fikih Universitas Damascus), pengertian tas‘ir jabari mencakup semua komoditas yang dibutuhkan manusia, termasuk bidang jasa, demi kemaslahatan bersama.
Pembahasan atau dalil tentang tas‘ir jabari tidak ditemu kan dalam Al-Qur’an, namun ada pada hadis Nabi SAW. Salah satunya adalah hadis yang mengemukakan bahwa pada zaman Nabi Muhammad SAW terjadi lonjakan harga di pasar.
Kemudian sekelompok orang menghadap Rasulullah SAW seraya berkata, “Ya Rasulullah, harga-harga di pasar kian melonjak begitu tinggi, tolonglah tetapkan harga tersebut.” Rasulullah SAW menjawab, “Sesungguhnya Allahlah yang (berhak) menetapkan harga, menurunkannya, melapangkan, dan memberi rezeki. Janganlah seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku lalim dalam soal harta dan nyawa” (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ahmad bin Hanbal dari Anas bin Malik).
Hadis senada juga datang dari Abu Hurairah melalui riwayat al-Baihaqi. Menurut ulama, hadis tersebut meng gambarkan bahwa kenaikan harga yang terjadi pada saat itu bukan merupakan tindakan sewenang-wenang para pedagang, tetapi karena terbatasnya komoditas di pasaran. Karena itu, Rasulullah SAW menyatakan bahwa hanya Allah SWT yang berhak mengaturnya.
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama jika terjadi kenaikan harga padahal persediaan barang mencukupi. Pendapat pertama yang dikemukakan oleh Mazhab az-Zahiri, Maliki, Syafi‘i, Imam asy-Syaukani, serta sebagian ulama Mazhab Hanbali, menyatakan bahwa dalam situasi dan kon disi apa pun penetapan harga tidak dapat dibenarkan. Jika tetap dilakukan, hukumnya haram.
Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 29 yang menyataka bahwa segala bentuk transaksi harus didasarkan pada kerelaan hati kedua belah pihak. Jika pemerintah ikut mene tapkan harga komoditas tersebut, berarti unsur terpenting dari jual beli (bahkan oleh ulama fikih dikatakan sebagai rukun), yaitu kerelaan hati kedua belah pihak, telah hilang. Ini berarti pemerintah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kehendak ayat di atas.
Menurut mereka, larangan bagi pemerintah untuk melakukan penetapan harga juga bertujuan agar kepentingan konsumen dan produsen dapat terpenuhi. Alasannya berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW dari Anas bin Malik tersebut di atas. Jika penetapan harga diberlakukan, tidak mustahil para pedagang akan menimbun barang dan tidak menjualnya karena harga yang ditetapkan tidak sesuai dengan keinginan mereka. Akibatnya, keadaan pasar akan menjadi lebih kacau dan berbagai kepentingan akan terabaikan.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Mazhab Hanafi, sebagian besar ulama Mazhab Hanbali abad pertengahan (seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah), dan mayoritas Mazhab Maliki. Mereka menyatakan, pemerintah boleh (bahkan wajib) menetapkan harga jika terjadi kenaikan harga, meskipun persediaan barang mencukupi.
Alasan yang dikemukakan Mazhab Hanafi adalah bahwa dalam syariat Islam pemerintah diberi wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat demi tercapainya kemaslahatan bersama. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan “segala tindakan penguasa terikat dengan kemaslahatan warganya.” Meskipun demikian, dalam melakukan penetapan harga tersebut pemerintah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(1) tindakan tersebut sangat dibutuhkan masyarakat,
(2) adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak pedagang dalam menentukan harga,
(3) penetapan harga dilakukan berdasarkan penelitian para ahli ekonomi,
(4) penetapan harga dilakukan dengan mempertimbangkan keuntungan bagi pedagang, dan
(5) pengawasan pasar dilakukan secara terus-menerus oleh pihak penguasa, baik yang menyangkut harga maupun persediaan barang, sehingga tidak terjadi penimbunan barang oleh pedagang.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah membedakan antara penetapan harga yang bersifat lalim dan bersifat adil. Menurut mereka, penetapan harga yang bersifat lalim dilarang secara hukum. Sebaliknya, penetapan harga yang bersifat adil dibolehkan secara hukum, bahkan apabila sangat diperlukan, hukumnya menjadi wajib.
Penetapan harga dikatakan lalim jika persediaan barang terbatas sementara permintaan akan barang tersebut tinggi, atau modal yang dikeluarkan pedagang untuk mendapatkan barang tersebut tinggi sehingga harga barang naik atau persediaan menjadi terbatas. Dalam keadaan seperti ini, jika pemerintah menetapkan harga, berarti mereka melakukan kelaliman seperti terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dan Abu Hurairah di atas.
Dalam hadis tersebut dikemukakan bahwa Rasulullah SAW tidak menetapkan harga meskipun terjadi lonjakan harga di pasar. Diharamkannya penetapan harga dalam hadis tersebut bertujuan menghindari perlakuan lalim terhadap para pedagang, karena kenaikan harga yang terjadi bukan kehendak sewenang-wenang pedagang.
Penetapan harga dikatakan bersifat adil apabila para pedagang terbukti mempermainkan harga, sehingga merugikan kepentingan orang banyak. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah wajib menetapkan harga. Alasannya berdasarkan hadis Nabi SAW tersebut di atas dan hadis tentang Samrah bin Jundab yang tidak mau menjual pohon kurmanya kepada seorang keluarga Ansar.
Diriwayatkan bahwa pohon kurma Samrah tumbuh dengan posisi miring ke kebun seorang keluarga Ansar. Apabila Samrah akan memetik buah atau membersihkan pohon kurma itu, ia harus masuk ke kebun keluarga Ansar tersebut. Di kebun itu banyak terdapat tanaman lain, sehingga jika Samrah masuk ke kebun tersebut akan ada tanaman yang rusak terinjak. Akhirnya orang Ansar ini mengadukan persoalan tersebut kepada Rasulullah SAW.
Nabi SAW menanggapinya dengan menyuruh Samrah menjual pohon kurma tersebut, tetapi Samrah tidak mau melakukannya. Lalu Nabi SAW menyuruhnya untuk menyedekahkan satu batang pohon kurma tersebut. Hal ini juga tidak mau dilakukan Samrah. Akhirnya Rasulullah SAW memerintahkan orang Ansar itu untuk menebang pohon kurma tersebut, seraya berucap kepada Samrah: “Kamu ini orang yang memberi mudarat orang lain” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abi Sa‘id al-Khudri).
Menurut Ibnu Taimiyah, inti kasus ini adalah kemudaratan yang diderita orang Ansar disebabkan sikap egois Samrah yang memaksakan pemanfaatan hak miliknya. Berdasarkan analogi terhadap kasus tersebut, jika pedagang melakukan permainan harga maka pemerintah harus membatasi harga atas dasar kepentingan masyarakat, karena tindakan yang dilakukan pedagang akan membawa pada kemudaratan yang lebih besar. Analogi semacam ini oleh para ahli usul fikih disebut qiyas aulawi (analogi paling utama).
Daftar Pustaka
al-Buti, Muhammad Said Ramadan. Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran. Beirut: Dar al-Fikr, 1390 H/1970 M.
ad-Duraini, Fath. al-Haqq wa Mada Sulthan ad-Daulah fi Taqyidih. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1977.
___________. Nazariyyah at-Ta’assuf fi Isti‘mal al-haqq. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1978.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. ath-thuruq al-hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Mu’assasah al-‘Arabiyyah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1961.
asy-Syurbaji, Basyri. at-Tas‘ir al-Jabari. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1976.
Nasrun Haroen