Sistem pembagian waktu atas suatu periode seperti hari, minggu, bulan, dan tahun, serta pengaturan pembagian tersebut dalam susunan tertentu disebut tarikh, atau sistem penanggalan, atau kalender. Secara bahasa, tarikh berarti era, kronologi, penanggalan, kronik, karya sejarah, atau sejarah itu sendiri.
Ada dua sistem penanggalan. Pertama, sistem penanggalan yang didasarkan pada waktu perputaran bumi mengelilingi matahari yang disebut sistem penanggalan Syamsiah (didasarkan pada matahari) atau disebut juga Masehi atau miladiyyah karena perhitungan tahun pertamanya didasarkan pada kelahiran (milad) Isa al-Masih (Nabi Isa AS).
Kedua, sistem penanggalan yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi, disebut sistem penanggalan Kamariah (didasarkan pada bulan) atau penanggalan Hijriah, karena tahun pertamanya dihitung sejak peristiwa hijrah Nabi SAW dari Mekah ke Madinah. Sistem penanggalan inilah yang disebut sistem penanggalan Islam atau tarikh Islam.
Penetapan tahun Hijriah diambil oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun keempat ia menjadi khalifah, tepatnya pada suatu pertemuan dengan para sahabat lainnya pada hari Kamis, 8 Rabiulawal tahun ke-17 setelah hijrah.
Menurut riwayat seorang sahabat Nabi SAW, Maimun bin Mahran, suatu hari Khalifah Umar dihadapkan pada sebuah dokumen yang bertanda bulan Syakban. Khalifah Umar bertanya, “Bulan Syakban yang mana?” Para sahabat tidak ada yang tahu persis.
Menurut riwayat asy-Sya‘bi, seorang tokoh hadis, suatu ketika Abu Musa al-Asy‘ari mengirim sepucuk surat kepada Khalifah Umar yang isinya menyatakan bahwa ia menerima surat dari Khalifah Umar tanpa diberi tanggal, bulan, dan tahun. Hal ini akan menimbulkan kesulitan dan kekeliruan.
Atas dasar peristiwa tersebut maka Khalifah Umar mengundang para sahabat yang lain untuk menetapkan dasar yang dipakai dalam memulai perhitungan tahun. Di antara sahabat yang hadir ada yang mengusulkan supaya pangkal tahun dihitung sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Ada yang mengusulkan sejak turunnya wahyu pertama dan yang lain mengusulkan sejak Perang Badar dan peristiwa penting lainnya dalam kehidupan Nabi SAW. Ali bin Abi Thalib mengusulkan penghitungan awal tahun dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah (Yatsrib). Tanggal hijrah Nabi SAW itu (tanggal tiba di Madinah) adalah 8 Rabiulawal/20 September 622.
Usul itu diterima Khalifah Umar karena peristiwa hijrah merupakan titik pemisah periode Mekah dan periode Madinah dan merupakan awal keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam.
Sebelum ada penetapan awal tahun Kamariah, orang Arab menandai tahun dengan peristiwa penting atau peristiwa luar biasa yang terjadi pada tahun itu. Misalnya, ketika Nabi Muhammad SAW lahir, tahunnya dinamakan Tahun Gajah karena pada tahun tersebut terjadi serangan tentara bergajah yang hendak meruntuhkan Ka’bah.
Tahun pertama keberadaan Nabi Muhammad SAW di Madinah (setelah kerasulannya) disebut Tahun Azan karena tahun tersebut disyariatkan azan; tahun keduanya disebut Tahun Izin Berperang, Tahun Puasa, Tahun Zakat atau Tahun Kurban, karena pada tahun itu disyariatkan izin perang, puasa, zakat, dan kurban.
Tahun kesembilan hijrah disebut Tahun al-Bara’ah (berlepas diri) karena tahun itu turun surah al-Bara’ah (at-Taubah) yang menyatakan Tuhan dan Rasul-Nya melepaskan ikatan perjanjian dengan kaum musyrik Mekah. Tahun kesepuluh disebut Tahun Wada‘ (Tahun Perpisahan) karena terjadi haji wada‘ Nabi SAW.
Perhitungan hari, bulan, dan tahun sudah dikenal jauh sebelum Islam. Satu tahun Kamariah lamanya 354 hari, 8 jam, 47 menit, dan 36 detik; terdiri dari 12 bulan, masing-masing lamanya 29 hari, 12 jam, 44 menit, dan 3 detik. Perhitungan waktu berdasarkan matahari dan bulan disebut dalam Al-Qur’an surah Yunus (10) ayat 5.
Adapun perhitungan 1 tahun 12 bulan disebut dalam surah at-Taubah (9) ayat 36 dan 37. Setiap bulan ada yang berjumlah 30 hari dan ada yang 29 hari. Yang berjumlah 30 hari ialah bulan ganjil (bulan ke-1, ke-3, ke-5, ke-7, ke-9, dan ke-11), sedangkan yang berjumlah 29 hari ialah bulan genap (bulan ke-2, ke-4, ke-6, ke-8, ke-10, dan ke-12).
Nama bulan pun sudah dikenal jauh sebelum Islam. Bulan pertama dinamai Muharam (diharamkan). Dinamakan demikian karena pada bulan itu diharamkan untuk berperang atau menumpahkan darah. Ketika Islam datang, larangan perang pada bulan itu dicabut. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 191 yang berarti: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai….” Namun penamaan bulan pertama itu tetap dipakai Muharam.
Bulan kedua dinamai Safar (kosong atau kuning). Dinamakan demikian karena pada bulan kedua ini dahulu semua laki-laki bangsa Arab meninggalkan rumah; ada yang pergi berperang, berniaga, atau mengembara sehingga rumah-rumah kosong dari kaum laki-laki.
Bulan ketiga dinamai Rabiulawal (rabi‘ al-awwal = pertama menetap). Dinamakan demikian, karena pada bulan ketiga ini semua laki-laki yang tadinya meninggalkan rumah sudah kembali berada di rumah keluarganya masing-masing.
Bulan keempat dinamakan Rabiulakhir (Rabi‘ ats-tsani = menetap yang kedua atau penghabisan). Dinamakan demikian karena semua laki-laki yang tadinya meninggalkan rumah telah menetap di rumah masing-masing untuk terakhir kalinya.
Bulan kelima dinamai Jumadilawal (Jumada al-ula = kekeringan pertama). Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang Arab mengalami kekeringan.
Bulan keenam disebut Jumadilakhir (Jumada ats-tsaniyah = kekeringan kedua atau penghabisan). Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu bangsa Arab mengalami kekeringan untuk kedua kali atau terakhir kalinya pada tahun itu.
Bulan ketujuh dinamakan Rajab (mulia). Orang Arab dahulu memuliakan bulan ini dengan cara menyembelih anak unta yang pertama dari induknya. Kurban ini disebut fara‘a dan dilakukan pada tanggal 1 Rajab. Pada tanggal 10 Rajab disembelih lagi anak unta, tetapi tidak mesti anak unta pertama.
Penyembelihan kurban ini disebut ‘atirah. Kebiasaan ini kemudian dihapuskan ajaran Islam. Pada bulan Rajab ini orang Arab Kuno juga pantang berperang dan pintu Ka’bah selalu dibuka, sedangkan pada bulan biasa pintu Ka’bah selalu ditutup. Kebiasaan ini tidak diteruskan lagi dalam tradisi Islam.
Bulan kedelapan dinamakan Syakban (Sya‘ban = berserak-serak). Dinamakan demikian karena pada bulan ini masyarakat Arab dahulu bertebaran pergi ke lembah-lembah dan oase mencari air. Pada waktu itu terjadi musim kering sehingga mereka dilanda kesulitan air.
Bulan kesembilan disebut Ramadan (Ramadan = panas sangat terik atau terbakar). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini dahulu cuacanya sangat panas. Jika orang berjalan kaki tanpa alas kaki, telapak kaki terasa terbakar.
Pada zaman Islam, arti Ramadan dimaksudkan sebagai pembakaran dosa bagi orang yang melakukan puasa Ramadan, sesuai dengan hadis Nabi SAW yang berarti: “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadan dengan ikhlas dan karena Allah, niscaya diampuni segala dosanya yang terdahulu” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darimi, dan Ahmad).
Bulan kesepuluh disebut Syawal (Syawwal = naik). Dinamakan demikian karena pada bulan ini dahulu orang Arab mempunyai kebiasaan naik unta. Pinggul unta dipukul, sehingga ekor unta menjadi naik. Pada masa Islam, Syawal diartikan sebagai naik atau peningkatan amal kebajikan setelah sebelumnya dilatih selama sebulan dengan berpuasa Ramadan.
Bulan kesebelas disebut Zulkaidah (Dzu al-Qa‘idah = yang empunya duduk). Dinamakan demikian karena dahulu orang Arab pada bulan ini mempunyai kebiasaan duduk-duduk di rumah, tidak pergi mengadakan perjalanan.
Bulan keduabelas disebut Zulhijah (Dzu al-hijjah = yang empunya haji). Sejak Nabi Adam AS, manusia sudah biasa melaksanakan ibadah haji di Baitullah (Ka’bah). Semua nabi sebelum Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji, tetapi tata cara ibadah haji mereka tidak diketahui secara pasti.
Orang Arab Jahiliah juga melaksanakan ibadah haji dengan tata cara yang berbeda dengan praktek ibadah haji dalam Islam. Dalam agama Islam, pelaksanaan haji juga dilaksanakan pada bulan Zulhijah dengan tata cara sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
Semua nama bulan yang dipakai orang Arab sejak dahulu dipakai juga pada masa Islam, baik di Arab maupun di dunia Islam lainnya. al-Biruni, sejarawan muslim, meriwayatkan bahwa di kalangan bangsa Arab Kuno dikenal nama bulan, yaitu al-Mu’tamir (bersamaan dengan bulan Safar dan dianggap sebagai bulan pertama), Najir, Khawwan, Bussan, Hantam atau Hanam, Zaba’ atau Zubi, al-Asamm, Adil, Nafik, Waghl, Huwa’, dan Burak. Tetapi nama-nama tersebut tidak lazim lagi dipakai di dunia Arab.
Dahulu orang Arab membagi hari setiap bulan dalam tiga satuan yang masing-masing terdiri dari sepuluh hari. Hari pertama dihitung sejak al-hilal (bulan sabit) dengan nama: Gurar, Nufal, Tusa’, ‘Usar, Bid, Dura’, Zulam, Hanadis atau Duhm, Da’adi, dan Mihak. Tetapi yang lazim dipakai adalah satuan yang masing-masing terdiri dari tujuh hari yang dikenal dengan satu minggu.
Orang Arab memberi nama Awwal (untuk hari Ahad), kemudian Ahwan, Jubar, Dubar, Mu’nis, ‘Aruba’, dan Siyar. Dalam Islam, nama tersebut menjadi al-Ahad, al-Isnain, as-Sulasa’, al-Arba’a, al-Khamis, al-Jumu’ah, dan as-Sabt. Diindonesiakan menjadi Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.
Nama hari dan waktu jatuh hari-hari tersebut bersamaan antara sistem penanggalan Kamariah dan sistem penanggalan Syamsiah. Artinya, jika hari ini Selasa, baik dalam Kamariah maupun dalam Syamsiah sama-sama hari Selasa. Yang berbeda adalah bulan dan tahunnya, sedangkan tanggal sekali-sekali saja bersamaan.
Daftar Pustaka
Gibb, Hamilton A.R. dan Kramers, J.H.. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1961.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1976.
Said, H A. Fuad. Hari Besar Islam. Jakarta: Haji Masagung, 1989.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Cairo: Dar al-Fikr, 1979.
Atjeng Achmad Kusaeri