Secara harfiah, talfiq berarti “menyamakan atau merapatkan dua ujung barang yang berbeda”, atau “menambahkan sesuatu yang digunakan untuk suatu berita atau cerita”. Menurut istilah fikih, talfiq berarti “mengambil atau mengikuti suatu hukum tentang suatu peristiwa dengan mengambilnya dari berbagai mazhab”.
Istilah talfiq juga digunakan sebagai sebutan bagi seseorang yang dalam beribadah mengikuti salah satu pendapat dari empat mazhab (Syafi‘i, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) atau mazhab lain yang populer, tetapi mengikuti pula mazhab lain dalam hal pokok atau salah satu bagian tertentu.
Ada juga ulama yang mendefinisikan talfiq sebagai mengikuti atau bertaklid kepada dua imam mujtahid (ahli ijtihad) atau lebih dalam melaksanakan suatu amal ibadah, sedangkan kedua imam yang bersangkutan tidak mengakui sahnya amal ibadah tersebut karena tidak sesuai dengan pendapat mereka masing-masing.
Ada juga yang mendefinisikannya dengan beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan dari dua mazhab atau lebih; atau menentukan hukum suatu peristiwa berdasarkan pendapat berbagai mazhab.
Pada prinsipnya, ibadah adalah suatu amal yang harus didasarkan atas keyakinan. Dengan demikian amal ibadah harus betul-betul mengikuti sunah, bukan mengikuti mazhab ulama. Karena itu memang mudah dipahami jika ulama berbeda pendapat mengenai talfiq dalam hal ibadah.
Perbedaan pendapat ulama dalam hal talfiq pada dasarnya dapat dibedakan dalam tiga pendapat:
(1) menyatakan bahwa orang awam harus mengikuti mazhab tertentu dan tidak boleh memilih pendapat yang semata-mata ringan, karena ia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih;
(2) membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu mazhab yang ditalfiqkan itu; dan
(3) membolehkan talfiq tanpa syarat, dengan maksud mencari yang ringan dan sesuai dengan kehendak dirinya.
Pada prinsipnya talfiq bergantung pada niat dari orang yang melakukan talfiq tersebut. Karena, dari niat tersebut akan terlihat apakah seseorang dalam menentukan sikap memilih mazhab didasarkan pada tujuan kemaslahatan atau semata-mata bertujuan untuk mencari hal yang ringan bagi dirinya.
Dalam nas Al-Qur’an dan hadis, tidak dijumpai suatu keharusan bagi seseorang untuk mengikuti suatu mazhab tertentu, melainkan hanya perintah untuk bertanya kepada orang yang ahli dalam soal agama. Adapun dalam masalah ibadah mahdah (ibadah tertentu seperti salat dan puasa), misalnya tentang jumlah rakaat salat, bacaan salat, dan waktu puasa wajib, hanya apa yang diperintahkan Rasulullah SAW yang harus diikuti tanpa pertimbangan akal di dalamnya.
Talfiq dalam masalah ibadah memang seharusnya dibatasi sehingga tidak menimbulkan sikap memandang enteng ibadah yang ditunaikan, karena akan mengurangi kekhusyukan dalam beribadah.
Berbeda dengan soal muamalah untuk kepentingan orang banyak, misalnya dalam menciptakan perundang-undangan yang sangat diperlukan, karena bertujuan mewujudkan kemaslahatan umum, jika diperlukan talfiq bisa dilakukan. Ini tidak berarti tidak konsekuen, sebab komitmen pada kepentingan umum harus di atas segala-galanya dalam bidang muamalah itu.
Inilah yang dimaksud meramu beberapa pendapat dalam berbagai mazhab, kemudian dirumuskan dalam suatu bentuk undang-undang yang dapat memenuhi hajat orang banyak. Pemerintah Mesir, misalnya dalam hal wakaf, waris, wasiat, dan keluarga telah mencoba mempraktekkannya. Begitu juga pemerintah Indonesia, seperti yang terlihat dalam pembentukan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.
Amidi, Saifuddin Abu al-Hasan. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad.al-Mustasfa min ‘Ilm al-Ushul. Cairo: Mustafa Muhammad, 1937.
Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1968.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Mesir: ar-Ramaniyah, t.t.
Zulkifli