Takwa

(Ar.: taqwa)

Menjaga diri dari azab Allah SWT dengan menjauhi tindakan maksiat dan melaksanakan tata aturan yang telah digariskan Allah SWT disebut takwa. Dengan kata lain, takwa berarti “melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya”.

Dalam takwa terkandung pula pengertian pengendalian manusia akan dorongan emosinya dan penguasaan kecenderungan hawa nafsunya. Ini berarti, ia memenuhi dorongan itu dalam batas yang diperkenankan ajaran agama.

Selain itu terkandung perintah kepada manusia agar ia melakukan tindakan yang baik. Misalnya, berlaku benar, adil, memegang amanah, dapat dipercaya, dapat menyesuaikan diri dan bergaul dengan orang lain, dan menghindari permusuhan serta kezaliman.

Ketakwaan dalam pengertian ini akan menjadi tenaga pengarah manusia pada tingkah laku yang baik dan terpuji serta menjadi penangkal tingkah laku buruk, menyimpang, dan tercela. Untuk itu manusia dituntut untuk bisa membina dirinya dan mengendalikan serta menahan hawa nafsunya. Berbagai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-hadid (57) ayat 28 yang berarti:

“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”­ (QS.57:28).

Dan juga firman-Nya dalam surat al-Anfal (8) ayat 29:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu al-furqan (petunjuk yang dapat membedakan antara yang hak dan batil; pertolongan) dan menghapuskan segala kesalahan­kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)-mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Sikap takwa lahir dari adanya kesadaran moral transendental. Manusia yang bertakwa adalah manusia yang memiliki kepekaan moral yang teramat tajam untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan suatu perbuatan. Dia memiliki mata batin yang menembus jauh untuk melihat yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk. Dengan demikian tingkah lakunya sehari-hari selalu mencerminkan perilaku mulia dan selalu berusaha menghindari hal yang menjadikan Allah SWT marah dan murka.

Sejalan dengan makna tersebut, dalam hadis yang diriwayatkan at-Tirmizi, Nabi SAW memerintahkan agar manusia selalu bertakwa kepada Allah SWT di mana saja ia berada. Jika ia terlanjur melakukan suatu kejahatan, segeralah ia menebusnya dengan melakukan kebaikan. Nabi SAW juga memerintahkan agar manusia senantiasa berakhlak mulia di tengah pergaulan. Dengan demikian takwa berarti melindungi diri dari akibat perbuatan sendiri yang buruk dan jahat.

Menurut Fazlur Rahman, mungkin sekali takwa ini adalah istilah tunggal yang terpenting di dalam Al-Qur’an. Takwa pada tingkatan yang tertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral. Ini merupakan semacam “stabilitas” yang terjadi setelah semua unsur positif diserap masuk ke dalam diri manusia.

Perkataan takwa biasa juga diterjemahkan menjadi “takut kepada Allah SWT” atau “kesalehan”. Walaupun tidak salah, tetapi takwa lebih tepat diartikan sebagai “berjaga-jaga” atau “melindungi diri dari sesuatu”. Perkataan takwa dengan pengertian ini dipergunakan dalam Al-Qur’an (misalnya, surah at-tur [52] ayat 27 dan al-Mu’min [40] ayat 45).

Takwa merupakan buah dari iman yang sesungguhnya. Iman dan takwa merupakan dwitunggal, satu kesatuan yang utuh. Seorang yang benar-benar beriman seharusnya benar-benar bertakwa. Takwa inilah yang akan membedakan derajat kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT. Dalam surah al-hujurat (49) ayat 13 Allah SWT berfirman yang berarti: “… Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa di antara kamu….”

Manusia yang berhasil mencapai derajat takwa dan kemudian berusaha terus mempertahankannya dipandang sebagai manusia sukses dalam melaksanakan agamanya. Ia laksana sebatang pohon yang baik, yang ditanam serta dipelihara, kemudian berbuah sehingga memberi manfaat dan kenikmatan kepada manusia dan lingkungannya.

Karena itu Allah SWT menempatkan manusia takwa sebagai manusia paling mulia di sisi dan dalam pandangan-Nya. Menjadi mutakin (orang yang bertakwa) merupakan tujuan kaum muslimin dalam hidupnya di dunia.

Orang yang bertakwa mempunyai kekuatan yang mampu menghadapi berbagai macam persoalan hidup, sanggup menghadapi saat yang kritis, dapat mendobrak jalan buntu yang menghambat, dan bisa melihat sinar yang menerangi jalan di tengah malam gelap gulita. Dengan kata lain takwa membukakan jalan keluar bagi dirinya dari setiap persoalan dan situasi kritis.

Dalam surat ath-talaq (65) ayat 2 Allah SWT berjanji bagi orang yang bertakwa: “…Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar” (QS.65:2). Dan janji-Nya dalam surat ath-talaq (65) ayat 4: “… Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS.65:4).

Allah SWT juga berjanji dalam Al-Qur’an: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS.7:96).

Agama Islam membina kehidupan manusia yang diawali dengan tauhid. Dari tauhid tumbuh iman dan akidah yang kemudian membuahkan amal ibadah dan amal saleh. Akhirnya amal perbuatan yang dijiwai oleh iman dan dipelihara terus-menerus menciptakan suatu sikap hidup muslim yang bernama takwa. Dalam surah an-Naba’ (78) ayat 31 Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan.”

Daftar Pustaka

Madini. “Pendidikan Seumur Hidup Dalam Konsep Islam,” Tesis Doktor Fakultas Pasca Sarjana dan Pendidikan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1991.
al-Maududi, Abul A’la. Towards Understanding Islam. Lahore: Islamic Publications, 1966.
Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.
at-Tabari, Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1972.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1983.

Mahdini