Takhyir

Takhyir berarti “pilihan”; secara terminologis berarti “pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, pilihan antara dua kewajiban, dan pilihan antara perbuatan sunah”. Istilah Takhyir sering disamakan dengan al-ibahah (kebolehan). Menurut sebagian ahli usul fikih, al-ibahah adalah salah satu bentuk Takhyir.

Pembahasan tentang Takhyir terdapat dalam ilmu usul fikih yang terkait dengan macam hukum, seperti wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Takhyir perbuatan wajib (wajib mukhayyar) merupakan pilihan terhadap salah satu di antara perbuatan wajib yang didasarkan atas tuntutan syarak.

Salam Mazkur, ahli fikih dari Mesir, mengemukakan contoh berupa kewajiban membayar kafarat bagi orang yang melanggar sumpah dengan cara memberi makan 10 orang fakir miskin, memberi mereka pakaian, memerdekakan hamba sahaya, atau berpuasa selama 3 hari (QS.5:89). Oleh sebab itu, seseorang yang memenuhi tuntutan membayar kafarat tersebut disebut sebagai orang yang taat dan mendapat pujian, sedangkan seseorang yang tidak melaksanakannya disebut sebagai orang yang ingkar dan mendapat celaan.

Takhyir perbuatan sunah merupakan pilihan terhadap salah satu perbuatan sunah, seperti pilihan antara mengerjakan salat sunah sebelum salat zuhur apakah 2 rakaat (HR. Bukhari, Muslim, dan at-Tirmizi dari Aisyah binti Abu Bakar) atau 4 rakaat (HR. Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar).

Takhyir bentuk ini memiliki dasar yang bersifat anjuran. Oleh karena itu, setiap muslim bebas memilih antara mengerjakan salat sunah itu atau tidak. Jika ia mengerjakan anjuran itu ia mendapat pujian dari Syari‘ (pembuat syariat, Allah SWT) dan disebut sebagai taat, namun jika ia tidak mengerjakannya tidak mendapat celaan (dosa).

Takhyir perbuatan mubah (al-ibahah) yaitu suatu hukum yang membolehkan seorang mukalaf untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan yang mubah berdasarkan ketentuan syarak, yang apabila dikerjakan atau tidak dikerjakan ia tidak terpuji dan juga tidak tercela.

Contoh al-ibahah menurut Imam al-Ghazali adalah pilihan dalam melaksanaan kafarat sumpah (QS.5:89) dan pilihan dalam mengerjakan salat di awal waktu atau tidak di awal waktu. Akan tetapi, Imam asy-Syatibi (w. 790 H/1388 M), ahli usul fikih, tidak setuju dengan contoh al-ibahah yang dikemukakan al-Ghazali di atas. Menurutnya, sesuatu disebut mubah jika sejak semula tidak terkait dengan tuntutan syarak.

Sementara contoh al-ibahah yang dikemukakan al-Ghazali terkait dengan tuntutan syarak, yaitu surah al-Ma’idah (5) ayat 89 dan sabda Rasulullah SAW yang menganjurkan umat Islam untuk mengerjakan salat di awal waktu (HR. Bukhari). Oleh karena itu, menurut asy-Syatibi, jika seseorang yang dikenai kafarat telah membayarnya dengan salah satu bentuk yang ditawarkan atau mengerjakan salat di awal waktu, ia dikata kan sebagai taat.

Dilihat dari segi tidak adanya tuntutan untuk meninggalkan sesuatu yang mubah, menurut asy-Syatibi, perbuatan yang mubah sama statusnya dengan perbuatan yang wajib dan sunah, karena perbuatan yang wajib dan sunah juga tidak dituntut untuk ditinggalkan. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan yang wajib, sunah, dan mubah disebut sebagai orang yang tidak taat.

Demikian pula dengan orang yang mengerjakan sesuatu yang mubah, juga tidak dapat dikatakan sebagai orang yang taat. Sementara orang yang bernazar untuk mengerjakan sesuatu yang mubah, menurut kesepakatan para ahli fikih, tidak wajib memenuhi nazar itu.

Apabila Takhyir antara perbuatan yang wajib dan sunah memiliki dasar yang jelas dalam nas, Takhyir antara perbuatan yang mubah, menurut ulama usul fikih, dapat diketahui dengan meneliti ayat atau hadis dengan indikasi sebagai berikut:

(1) secara jelas ditunjukkan oleh nas bahwa perbuatan itu boleh dikerjakan, seperti perbuatan yang tercantum dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 3;

(2) tidak ada dalil yang mengharamkannya, seperti mendengar radio; dan

(3) secara tegas dinyatakan halal oleh ayat atau hadis, seperti memakan segala makanan yang baik dan menikahi wanita yang menjaga kehormatannya sebagaimana firman Allah dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 5 yang berarti:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, apabila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan (tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik…”

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustasfa fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

Khalaf, Abdul Wahhab. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Maktabah ad-Da‘wah al-Islamiyah, 1410 H/1990 M.

Mazkur, Muhammad Salam. an-Nazariyyah al-Ibahah ‘inda al-Ushuliyyin wa al-Fuqaha’. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1984.

asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.

Nasrun Haroen