Takhalli

Takhalli berarti “pengosongan” atau “penceraian”. Dalam istilah agama Islam, Takhalli berarti “usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan pada kelezatan duniawi”. Hal ini dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari segala kemaksiatan dan berusaha menundukkan dorongan hawa nafsu.

Menurut kaum sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi dua, yaitu maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala perilaku yang tercela yang dikerjakan anggota lahir, seperti tangan, mulut, dan mata. Maksiat batin ialah segala perilaku yang tercela yang diperbuat anggota batin, yaitu hati.

Imam al-Ghazali menyebut sifat yang tercela ini dengan sifat muhlikat (kerusakan), yaitu segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya pada kebinasaan. Istilah ini juga disebutnya sebagai suatu kehinaan (radzilah). Karena itu ia menamakan marah dengan radzilah al-gadab (kehinaan marah), dengki dengan radzilah al-hasad (kehinaan dengki), dan lain sebagainya.

Dalam tasawuf akhlaki, pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang tercela lebih didahulukan daripada pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang terpuji karena hal ini termasuk usaha takhliyah (pengosongan diri dari sifat tercela tersebut) sambil mengisinya (tahliyah) dengan sifat yang terpuji.

Oleh para sufi, membersihkan diri dari sifat yang tercela dipandang penting karena sifat itu merupakan najis maknawi (najasah ma‘nawiyah). Adanya najis itu pada diri seseorang tidak memungkinkan orang tersebut untuk dekat dengan Tuhan, sebagaimana kalau ia mempunyai najis zati (najasah huriyah) yang tidak memungkinkannya untuk mendekati atau melakukan ibadah yang diperintahkan Tuhan, karena Tuhan Yang Maha Suci tak dapat didekati orang yang tak suci.

Dalam hal menanamkan rasa benci pada kehidupan duniawi serta mematikan hawa nafsu, kaum sufi berbeda pendapat. Sekelompok sufi yang moderat berpendapat bahwa rasa kebencian terhadap kehidupan duniawi cukup sekadar jangan sampai lupa pada tujuan hidupnya dan tidak perlu meninggalkannya sama sekali.

Demikian pula dengan pematian hawa nafsu itu, cukup dengan sekadar menguasainya melalui pengaturan disiplin kehidupan. Golongan ini tetap memanfaatkan hal yang bersifat duniawi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya dengan mengatur dan mengontrol dorongan hawa nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan.

Dengan pola hidup serasi dan seimbang, sufi kelompok ini merasa menemukan kebebasan untuk menempatkan Allah SWT sebagai inti dari segala citanya. Kesibukannya terarah pada pengabdian kepada Allah SWT dan selalu berpegang pada garis kebijaksanaan yang relevan dengan tujuan hidupnya.

Sementara itu, ada pula kelompok sufi yang berkeyakinan bahwa kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Dunia adalah penghalang perjalanan. Karena itu, nafsu untuk mencintai dunia haruslah “dimatikan” dari diri manusia agar ia bebas berjalan menuju tujuan, yaitu mencapai kenikmatan spiritual yang hakiki.

Bagi mereka, untuk memperoleh keridaan Tuhan, tidak sama dengan kenikmatan materiil. Pengingkaran pada ego dengan meresapkan diri pada kemauan Tuhan adalah perbuatan utama. Dengan demikian nilai moral itu betul-betul agamis karena tiap tindakan disejajarkan dengan ibadah yang lahir dari motivasi eskatologis (mengenai hal terakhir, seperti kematian, hari kiamat, dan kebangkitan).

Jika diri atau hati telah dihinggapi oleh penyakit atau sifat yang buruk, ia harus diobati. Obatnya adalah menunjukkan sebab penyakit itu, menginsafkan akan akibat yang berbahaya, melatih membersihkannya, dan mengembalikannya pada keadaan fitrahnya, seraya mengisinya dengan sifat yang baik dan yang dapat menumbuhkan amal yang baik pula.

Usaha ke arah itu, dengan segala upaya sungguh-sungguh, tentu akan melahirkan perbuatan baik yang oleh al-Ghazali dinamakan munjiyat, yakni tingkah laku yang dapat menyelamatkan dan membahagiakan pelakunya.

Daftar Pustaka

Atjeh, Abubakar. Pendidikan Sufi (Pelajaran Akhlak). Jakarta: Lembaga Pendidikan Islam, 1962.
Burckhardt, Titus. Mengenal Ajaran Kaum Sufi, terj. Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: al-Masyhad al-Husain, t.t.
_______. Kitab al-Arba‘in fi Ushul ad-Din. Cairo: Maktabah al-Jindi, t.t.
_______. Minhaj al-‘Abidin. Semarang: Maktabah Usaha Keluarga, t.t.
al-Irbili, Muhammad Amin al -Kurdi. Tanwir al-Qulub fi Mu‘amalah ‘Allam al-Guyub. Cairo: Mathba‘ah as-Sa‘adah, t.t.
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Mau‘izah al-Mu’minin. Cairo: Dar al-’Usur li at-Tab’ wa an-Nasyr, 1929.
Tim Penyusun Naskah. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: Proyek Binperta IAIN, 1981/1982.

Asmaran As