Takbir

(Ar.: takbir)

Takbir adalah ucapan Allahu Akbar, yang berarti Allah Maha Besar, yang dipergunakan untuk menunjukkan kekaguman dan pujian atas kebesaran serta keagungan Allah SWT. Takbir diucapkan dalam waktu-waktu tertentu seperti pada saat salat, menyambut Idul Fitri dan Idul Adha, melakukan jihad, dan meraih sukses.

Takbir banyak dipakai di dalam salat sebagai ucapan yang menandai terjadinya pergantian rukun, kecuali ketika bangkit dari rukuk. Sebagian ulama berpendapat, seluruh takbir di dalam salat hukumnya wajib. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa hanya takbiratulihram yang wajib, sementara takbir yang lain hukumnya sunah. Tetapi ada pula ulama yang berpendapat bahwa tidak ada satu pun takbir yang wajib di dalam salat.

Pada salat jenazah, takbir dipergunakan untuk memilahkan antara bacaan yang satu dan bacaan yang lain. Takbir pada salat ini merupakan bagian dari salat jenazah yang jumlah seluruhnya empat kali. Pada salat Idul Fitri dan Idul Adha, takbir disunahkan dibaca tujuh kali pada rakaat pertama sebelum membaca surah al-Fatihah dan lima kali pada rakaat yang kedua. Ini tidak termasuk takbiratulihram dan takbir pergantian rukun salat.

Takbiratulihram adalah takbir yang menunjukkan dimulainya salat, baik salat wajib maupun sunah. Takbiratul ihram berarti “takbir yang mengharamkan sesuatu”, karena setelah takbir ini diucapkan, orang yang salat tidak boleh berkata­kata atau melakukan perbuatan apa pun selain perkataan dan perbuatan salat.

Perkataan dan perbuatan yang halal di luar salat menjadi terlarang di dalam salat. Apabila perkataan atau perbuatan itu dilakukan, salatnya batal. Menurut Imam Malik, Syafi‘i, dan Hanbali, takbiratulihram merupakan salah satu rukun salat yang wajib diucapkan setiap musalli (orang yang salat). Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat, takbiratulihram hanya salah satu syarat salat sebagaimana syarat-syarat salat yang lain, dan bukan merupakan rukun.

Mereka juga berbeda pendapat tentang lafal takbiratulihram. Bagi Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali, lafal tersebut harus Allahu Akbar, tidak bisa diganti dengan lafal yang lain. Menurut pendapat Abu Hanifah, takbiratulihram tidak harus dengan lafal Allahu Akbar.

Bisa saja lafal itu diganti dengan lafal yang lain yang mengandung arti yang sama, seperti Allahu A‘zam (Allah Maha Agung) atau Allahu al-Ajall (Allah Maha Tinggi), tetapi dengan ucapan Allahu Akbar lebih baik. Menurut Abu Hanifah, takbiratulihram dengan lafal Allahu Akbar hukumnya wajib, bukan fardu. Wajib baginya berarti sunah mu’akkad (yang dipentingkan) bagi yang lain.

Sebagai salah satu rukun salat, menurut Mazhab Syafi‘i, takbiratulihram harus diucapkan di saat seseorang memulai salat. Ketika takbir itu diucapkan, di situlah ia memasang niat untuk salat. Golongan ini mempunyai prinsip bahwa niat itu ialah mengkasad (meniatkan) sesuatu bersamaan dengan perbuatan. Karena itu, niat salat tidak bisa dipasang di luar salat, tetapi harus di awal salat.

Untuk menyambut Idul Fitri dan Idul Adha, juga diucapkan takbir yang disebut takbir Id. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, takbir Idul Fitri dimulai sejak waktu pergi ke tempat salat Id sampai dimulainya khotbah. Sebagian lain berpendapat, permulaan takbir ini ialah sejak terlihat hilal (bulan) pada malam Idul Fitri sampai salat Id dimulai.

Adapun waktu takbir untuk Idul Adha, menurut riwayat yang paling sahih yang diterima dari sahabat (yaitu keterangan dari Ali dan Ibnu Mas‘ud), berlangsung semenjak subuh pada hari Arafah sampai waktu asar hari terakhir jemaah haji di Mina. Hukum bertakbir pada kedua hari raya ini adalah sunah dan diucapkan tidak terbatas pada waktu tertentu, tetapi berlaku untuk semua waktu, kapan pun, pada masa sebagaimana disebutkan di atas.

Menurut Mazhab Syafi‘i, dan inilah yang dianut umat Islam Indonesia, takbir pada hari raya Idul Adha disunahkan sesudah selesai dari salat fardu yang lima. Lafal takbirnya ialah: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illa Allah wa Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar dan bagi Allah segala puji).

Takbir juga biasanya digunakan untuk membangkitkan semangat umat Islam melakukan jihad atau memperjuangkan sesuatu yang baik. Di dalam pertempuran, takbir diteriakkan untuk membangkitkan semangat dan menambah kekuatan mental para pejuang, sekaligus sebagai komando untuk melakukan gerakan atau serangan.

Kadang-kadang takbir juga dipakai untuk menunjukkan rasa syukur atas keberhasilan sesuatu yang sebelumnya diperjuangkan dengan gigih. Misalnya, ketika tercapai suatu kesepakatan atas suatu masalah yang rumit dalam sebuah perdebatan di antara kaum muslimin, takbir pun bergema di tengah mereka.

Daftar Pustaka

al-Hisni, al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini. Kifayah al-Akhyar. Bandung: Syarikah al-Ma‘arif, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Kuwait: Dar al-Bayan, 1968.

Noorwahidah Haisy