Tajul Arifin, Sahibul Wafa’

(L. Tasikmalaya, Jawa Barat, 15 Januari 1915)

Pemimpin Pondok Pesantren Suryalaya ini terkenal dengan sebutan Abah Anom. Ia adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ayahnya, KH Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad (w. 1956), terkenal dengan panggilan Mama Ajengan, Godebag, atau Abah Sepuh. Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Suryalaya dan mursyid Tarekat Kadiriyah Naqsyabandiyah.

Pada usia 8 tahun Arifin belajar di Vervolgschool (setara dengan sekolah dasar) di Ciamis antara 1923–1928, kemudian melanjutkan studinya ke sekolah menengah di Ciawi, Tasikmalaya. Pada 1930–1931 ia mulai belajar ilmu agama di Pesantren Cicariang, Cianjur, sampai mendapat ijazah menulis huruf Arab, Al-Qur’an, maupun hadis.

Tulis-menulis huruf Arab ketika itu dikenal dengan sebutan harupat (Sunda: lidi pohon aren) tujuh (tujuh ukuran lidi dari ujung terkecil untuk huruf terkecil sampai ujung terbesar untuk huruf terbesar) karena harupat merupakan alat tulis yang digunakan ketika itu.

Pada 1931–1933 Arifin melanjutkan pendidikannya di bidang fikih, nahu sharaf (gramatika bahasa Arab), dan balaghah (gaya bahasa Arab) di Pesantren Jambudwipa, Cianjur. Kemudian ia melanjutkan lagi ke Pesantren Gentur, masih di daerah Cianjur, yang dipimpin Ajengan Syatibi.

Pada 1935–1937 Arifin meneruskan perjalanan menuntut ilmu ke Pesantren Cireungas, Cimelati (Sukabumi), yang dipimpin Ajengan Atjeng Mumu, seorang ahli hikmah (ilmu kebatinan yang biasa terdapat di kalangan penganut tarekat) dan silat. Ia kemudian belajar di Pesantren Citengah Panjalu (Ciamis) yang dipimpin Haji Junaedi, seorang ahli alat (ilmu nahu sharaf).

Pada 1938 Arifin pergi ke Mekah selama lebih kurang 7 bulan. Di sana ia bertemu dengan Syekh Romli, seorang kiai dari Garut yang sudah lama bermukim di Mekah dan merupakan pembimbing zikir Abah Sepuh. Syekh Romli memiliki Ribath Naqsyabandi (Majelis Tarekat Naqsyabandiyah).

Arifin rajin mengunjungi ribat (tempat pengkajian tarekat) sambil muzakarah kitab (membahas buku), antara lain Sirr al-Asrar (Rahasia dari Rahasia) dan Ganiyyah ath-thalibin (Kekayaan para Penuntut Ilmu) karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 1166), pendiri Tarekat Kadiriyah.

Sepulangnya dari Mekah, ia mendampingi ayahnya memimpin Pondok Pesantren Suryalaya sambil mengembangkan Tarekat Kadiriyah Naqsyabandiyah. Pada masa inilah julukan Abah Anom mulai diberikan kepadanya.

Pada masa kolonialisme, antara 1939–1945, upaya mengembangkan lembaga pendidikan ini tidak begitu mulus. Demikian pula pada masa perang kemerdekaan. Abah Anom juga membina umat untuk ikut serta mempertahankan kemerdekaan.

Seusai perang kemerdekaan sampai penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia pada 1949, timbul ancaman baru. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) memandang Pesantren Suryalaya sebagai musuh karena berpihak pada TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Pesantren Suryalaya difitnah sebagai penyebar ajaran yang menyeleweng dari ajaran Islam. Untuk mempertahankan pesantren dan daerah sekitarnya dari serangan DI/TII, para santri dipersenjatai atas bantuan Divisi Siliwangi (nama kesatuan TNI di Propinsi Jawa Barat).

Pada masa genting itu, tahun 1956, Abah Sepuh wafat di Tasikmalaya, setelah sejak 1950 mengungsi. Karena itu, sejak 1950 Abah Anom bertanggung-jawab penuh atas kepemimpinan pesantren sekaligus sebagai mursyid Tarekat Kadiriyah Naqsyabandiyah.

Tahun 1950–1960 merupakan masa paling genting bagi pesantren yang dipimpinnya; tidak kurang dari tiga puluh kali DI/TII mengadakan serangan ke kampung dan kompleks Pesantren Suryalaya. Serangan itu dapat diatasi. Atas jasa Abah Anom dan masyarakat pesantrennya dalam mempertahankan keamanan dari serangan DI/TII itu, pada tanggal 17 Agustus 1956 Resimen Infanteri 11 Siliwangi memberikan penghargaan kepada Abah Anom.

Di samping menjadi pemimpin pesantren dan guru tarekat, Abah Anom melakukan banyak hal bagi masyarakat sekitarnya. Ia memelopori penerapan teknologi tepat guna di lingkungannya.

Sebagai contoh, ia membuat kincir air untuk memutar dinamo pembangkit tenaga listrik. Kemudian pada awal 1960-an ia ikut memasyarakatkan program swasembada beras di tanah Sunda dengan menyusun puisi yang dapat dinyanyikan dengan lagu Kinanti (tembang ciptaan Sunan Muria untuk berdakwah).

Ia juga membuat area persawa-han irigasi percontohan dan mengajak masyarakat untuk melakukan reboisasi. Atas jasanya itu, pada 1958 dan 1963 ia memperoleh penghargaan dari PN Pertani Jawa Barat, dan pada tahun 1963 dari gubernur Jawa Barat.

Ketika G-30-S/PKI meletus pada 1965, ia ikut berperan dalam memulihkan keamanan dan ketertiban di daerahnya. Setiap oknum anggota PKI yang ingin benar-benar bertobat diterimanya, kemudian dibina di pesantrennya. Kegiatan ini mendapat pengakuan dan penghargaan dari Kodam VI Siliwangi, gubernur Jawa Barat, dan instansi lain.

Untuk memodernisasi pondok pesantrennya, pada tahun 1961 ia mendirikan Yayasan Serba Bhakti Pondok Pesantren Suryalaya atas prakarsa H Sewaka (w. 1966), seorang murid Abah Anom, mantan gubernur Jawa Barat (1947–1952) dan menteri Pertahanan Keamanan (1952–1953). Sampai sekarang yayasan ini telah memiliki cabang di berbagai daerah di Jawa dan di luar Jawa.

Sejak 1963 Pesantren Suryalaya memasukkan sistem pendidikan klasikal dengan mendirikan Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP). Setahun kemudian ia mendirikan Pendidikan Guru Agama (pada 1977 diubah menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah).

Pesantren Suryalaya juga merupakan cabang PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam; didirikan di Jakarta pada 1963). Pada 1986 ia mendirikan pula Perguruan Tinggi Latifah Mubarakiyah, yang 2 tahun kemudian berubah nama menjadi Institut Agama Islam Latifah Mubarakiyah (IAILM).

Di samping menyelenggarakan pendidikan agama dalam bentuk formal dan nonformal, Abah Anom dengan Pesantren Suryalayanya juga merawat dan merehabilitasi anak-anak muda yang kecanduan narkotik.

Lembaga rehabilitasi pecandu narkotik ini disebut “Inabah” yang sekarang sudah terdapat beberapa buah. Di sini para korban narkotika melalui pendekatan tasawuf dibina hingga hilang ketergantungannya pada obat tersebut. Untuk perawatan selanjutnya, yang bersangkutan diwajibkan membaca zikir menurut cara dan jumlah tertentu sesuai dengan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah dan Kadiriyah.

Pengawasan dilakukan dengan sistem pamong, yakni pasien yang sudah lebih lama dirawat dan mengalami penyembuhan memimpin riyadah (riadat: latihan ibadah, termasuk zikir) pasien yang masih baru dirawat. Praktek seperti ini merupakan cara pengobatan nonmedis pertama bagi korban narkotik.

Daftar Pustaka

Team Redaksi Tempo. Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983–1984. Jakarta: Grafiti Pers, 1984.

Atjeng Achmad Kusaeri