Tajdid

(Ar.: tajdid)

Secara harfiah, tajdid berarti “pembaruan”; pelakunya disebut mujadid. Tajdid berarti pembaruan dalam hidup keagamaan, baik berbentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan internal maupun eksternal menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat.

Sejak permulaan sejarahnya, Islam telah mempunyai tradisi pembaruan. Orang Islam segera memberikan jawaban terhadap apa yang di pandang menyimpang dari akidah. Hal ini disebabkan tajdid mendapat pembenaran dan pengesahan dari Al-Qur’an (lihat QS.7:170 dan QS.11:117) dan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

“Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (umat Islam) pada permulaan setiap abad orang yang akan memperbarui (memperbaiki) urusan agamanya.”

Walaupun demikian, istilah ini baru terdengar nyaring setelah timbul pemikiran dan gerakan dalam Islam sebagai hasil dari kontak yang terjadi antara Islam yang dianggap mundur dan Barat yang dianggap maju.

Gerakan pembaruan dalam Islam memang terdapat di Periode Modern. Namun, sebelum masa itu keinginan untuk mengadakan perubahan juga telah timbul. Di Arab Saudi, keinginan itu dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1792). Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahabi dilatarbelakangi faktor internal, yaitu paham tauhid kaum awam waktu itu yang telah dirusak oleh kebiasaan syirik dan bid’ah.

Gerakan ini berhasil berkat bantuan kepala suku bernama Muhammad bin Sa‘ud (w. 1765) yang kemudian mendirikan kerajaan di bawah pimpinan keturunannya, dan Gerakan Wahabi dijadikan mazhab resmi kerajaan itu. Di samping mempunyai gerakan, Ibnu Abdul Wahhab juga mempunyai pendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka dan ijtihad boleh dilakukan dengan jalan kembali pada Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW.

Gerakan Wahabi disusul oleh serentetan gerakan di Afrika. Gerakan yang bercorak sufistik itu akhirnya berhasil mendirikan negara Islam. Di antara para pemimpinnya yang terkenal ialah Usman dan Fodio (1754–1817) di Nigeria, Muhammad Ali bin as-Sanusi (1787–1859) di Libya, dan Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843–1885) di Sudan yang gerakannya disebut Mahdiyah.

Di India, pembaruan terutama dilakukan Syekh Ahmad Sirhindi (1564–1624) dan Syah Waliyullah (1702–1762). Mereka melihat bahwa akidah umat Islam India telah dirusak oleh sinkretisme. Oleh sebab itu, mereka mengeluarkan seruan untuk kembali pada Al-Qur’an dan sunah dalam segala lapangan kehidupan.

Selanjutnya Syah Waliyullah berpendapat bahwa untuk memperbaiki masyarakat muslim di India mesti diadakan perombakan terhadap kekuasaan Mughal. Sumbangannya yang terutama bagi pemikiran modernis adalah kritiknya terhadap taklid (meniru, ikut) dan dibukanya kembali pintu ijtihad.

Gerakan pra-modern telah mewariskan bagi Islam modern suatu interpretasi ideologis terhadap Islam dan metode-metode gerakan serta organisasi. Kalau gerakan pramodern terutama dimotivasi faktor internal, gerakan modern dimotivasi faktor internal dan eksternal, baik oleh kelemahan internal, maupun oleh ancaman politis dan religiokultural kolonialisme.

Tanggapan para tokoh pembaruan di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak Barat bagi masyarakat muslim terwujud dalam usaha sungguh-sungguh untuk menginterpretasi Islam dalam menghadapi perubahan kehidupan.

Mereka menekankan sikap dinamis, luwes, dan dapat menyesuaikan diri, yang menjadi ciri kemajuan Islam di Zaman Klasik (650–1250), terutama kemajuan di bidang hukum, pendidikan, dan sains. Mereka juga menekankan pembaruan internal melalui proses reinterpretasi (ijtihad) dan adaptasi secara selektif (Islamisasi) terhadap ide dan teknologi Barat. Sebab, pembaruan dalam Islam merupakan suatu proses kritik diri ke dalam dan perjuangan untuk menetapkan Islam kembali guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang dihadapi masyarakat Islam.

Beberapa belahan bumi telah melahirkan gerakan pembaruan Islam yang tema dan aktivitasnya diilustrasikan di dalam beberapa figur utama:

(1) di Timur Tengah adalah Jamaluddin al-Afghani (1838–1897) dengan gerakan Pan-Islamisme serta para pengikutnya seperti Muhammad Abduh (1849–1905) dengan gerakan Salafiyah dan Muhammad Rasyid Rida (1865–1935), dan

(2) di Asia Selatan adalah Sayid Ahmad Khan (1817–1898) dan Muhammad Iqbal. Meskipun mereka tidak berhasil melahirkan reinterpretasi terhadap Islam secara sistematis, pandangan mereka telah menerobos ke dalam masyarakat Islam dan memungkinkan generasi baru merangkul peradaban modern dengan kepercayaan bahwa Islam dapat menyesuaikan diri secara selektif dengan berbagai tuntutan dan tantangan modernitas.

Di antara tokoh pembaruan generasi berikutnya adalah Hasan al-Banna (1906–1949) dari Mesir dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan Maulana Abu A’la al-Maududi (1903–1979) dari India dengan gerakan Jamiat al-Islam. Di Indonesia, gerakan pembaruan melahirkan organisasi pembaru seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).

Daftar Pustaka

Amin, Ahmad. Zu‘ama’ al-Islah fi al-‘Asr al-Hadits. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1965.
al-Bahi, Muhammad. al-Fikr al-Islami al-Hadits wa silatuh bi al-Isti‘mar al-Garb. Cairo: Maktabah Wahbah, 1985.
Esposito, John L. Islam the Straight Path. New York: University Press, 1988.
Nadvi, Syed Habibul Haq. The Dynamics of Islam, terj. Asep Hikmat. Bandung: Risalah, 1984.
Nasution, Harun. Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: Ul Press, 1986.
______________. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
______________. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.

Hery Noer Aly