Syura

Syura secara kebahasaan berarti “permusyawaratan, hal bermusyawarah,­ atau konsultasi”. Majlis Syura berarti “majelis permusyawaratan” atau badan legislatif. Secara terminologis, syura atau musyawarah­ berarti “saling menjelaskan, merundingkan, atau menukar­ pendapat mengenai suatu perkara”.

Istilah syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti­ “menjelaskan, menyatakan atau meng­ajukan, dan mengambil sesuatu”. Bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara (be­runding, saling tukar pendapat), syawir (minta pendapat, musyawa­rah), dan mustasyir (minta pendapat orang lain). Pengertian seperti ini terdapat pada tiga tempat dalam Al-Qur’an:

Pertama, dalam surah al-Baqarah (2) ayat 233: “…Apabila keduanya ingin menyapih­ (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya­ dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”

Menyapih anak sebelum mencapai usia 2 tahun boleh apabila didasarkan pada kere­laan dan permusyawaratan antara suami-istri.

Kedua, dalam surah asy-Syura (26) ayat 38:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) se­ruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urus­an mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Ayat ini mengandung pujian atas orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa Nabi Muhammad SAW, mendirikan salat dengan baik dan benar, memusyawarahkan­ segala urusan mereka,­ dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan­ sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah.

Ketiga, dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 159:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi me­reka, dan bermusyawarahlah dengan mereka­ dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan­ tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai­ orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”

Ayat ini me­rupakan perintah bagi Nabi SAW untuk melaksanakan musyawa­rah dengan para sahabatnya, dan perintah yang mensyariatkan musyawarah. Bermusyawarah me­rupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.

Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari, dalam­ menaf­sirkan ayat di atas, menyatakan bahwa­ sesungguhnya Allah SWT menyuruh Nabi SAW untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka mengetahui hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya.

Namun kewajiban melaksana­kan musya­ warah bukan hanya dibebankan kepada Nabi SAW, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekali­pun­ perintah ayat tersebut ditujukan kepada Nabi SAW. Artinya, perintah yang terkandung dalam ayat tersebut juga berlaku umum.

Dalam masyarakat­ modern yang ditandai dengan munculnya lembaga politik, pemerintahan,­ dan masyarakat, lembaga ini menjadi subjek musyawarah; para pemimpinnya­ dibebani kewajiban mengada­kan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya­ atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi.

Al-Qurtubi (w. 9 Syawal 671), seorang mu­fasir yang menukil dari Ibnu Atiah, menulis:

“Musya­warah­ adalah salah satu kaidah syarak dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan. Maka barangsiapa­ yang menjabat sebagai kepala ne­gara, tetapi ia tidak bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama­ (ulama) haruslah ia dipecat.”

Mengenai objek musyawarah, para mufasir berbeda pendapat. Menurut Muhammad Ra­syid Rida (pengarang Tafsir al-Manar), objek yang dimu­syawarahkan­ hanya yang berkaitan dengan­ urusan dunia,­ bukan urusan agama. Sebab kalau urusan agama,­ seperti keyakinan, ibadah dan hukum yang telah ditetapkan Allah SWT dimusyawarahkan, itu berarti ada campur tangan manusia di dalamnya,­ padahal masalah itu telah disyariatkan­ Allah SWT.

Tetapi bagi at-Tabari, Fakhruddin ar-Razi, Muhammad­ Abduh dan al-Maraghi, urusan yang dimusyawarahkan bukan ha­nya masalah ke-duniaan, melainkan juga masalah keagamaan,­ sebab banyak timbul masalah sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, ke­luarga dan se­bagainya, yang pemecahan­nya me­merlu­kan jawaban­ dari agama.

Dengan ayat tersebut di atas, Islam menjadi­kan syura prinsip utama dalam menye­lesaikan masalah sosial, politik, dan pemerintahan­. Syura merupakan suatu sarana dan cara memberi kesempatan kepada anggota ma­syarakat yang mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam­ membuat keputusan yang bersifat mengikat, baik dalam bentuk peraturan hukum maupun kebi­jakan­ politik.

Setiap orang yang ikut bermu­syawarah­ akan berusaha menyata­kan pendapat yang baik, sehingga diperoleh­ pendapat yang dapat me­nyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dengan mu­ syawarah, rakyat­ terdidik dalam mengemukakan­ pendapat dan mempraktekkannya,­ bukan mempraktekkan­ pendapat seorang pemimpin masyara­kat­ yang tidak dapat dipahami, sekalipun mungkin benar.

Jika para pemimpin masyarakat, politik, dan pemerintahan mengikutsertakan­ rakyat memusyawarahkan­ suatu urusan, rakyat akan memahami­nya­ dan ikut berpartisipasi melaksanakannya­ dan rakyat terhindar dari tindakan sewenang-we­nang (istibdad) dengan suatu pendapat. Karena itu, ayat tersebut di atas juga melarang para pemimpin umat memutuskan suatu urusan dengan sewenang­-wenang tanpa memperhatikan­ aspirasi umat.

Mengenai bentuk pelaksanaan syura, tidak ada nas yang menjelaskannya. Nabi SAW, yang telah melembagakan­ dan membudayakan syura karena ia gemar bermusyawarah­ dengan para sahabatnya, tidak mempunyai pola dan bentuk tertentu. Karena itu, bentuk pelaksanaan­nya disesuaikan dengan kondisi dan zaman umat Islam.

Daftar Pustaka

Diya’uddin, Muhammad ar-Razi Fakhruddin. Tafsir ar-Razi. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Ibnu Kasir, al-Hafiz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma‘il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Hadisah, 1384 H/1964 M.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
al-Qurtubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari. Tafsir al-Qurtubi al-Jami‘ li Ahkam Al-Qur’an. Cairo: Dar asy-Sya’b, t.t.
Qutb, Sayid. Tafsir fÓ ¨ilÎl Al-Qur’În. Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, t.t.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi Al-Qur’an. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1954.

J. Suyuti Pulungan