Secara kebahasaan, asy-syukr berarti “ucapan”, “perbuatan”, “sikap terima kasih” (al-hamd), dan “pujian”. Dalam ilmu tasawuf istilah “syukur” berarti “ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah SWT dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya”.
Nikmat yang diberikan Allah SWT kepada manusia sangat banyak dan bentuknya bermacam-macam. Setiap detik yang dilalui manusia dalam hidupnya tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT. Nikmat-Nya sangat besar dan banyak sehingga bagaimanapun juga manusia tidak akan dapat menghitungnya (QS.16:18).
Sejak manusia lahir ke dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, kemudian diberi Allah SWT pendengaran, penglihatan, dan hati (QS.16:78) sampai meninggal dunia menghadap Allah SWT di akhirat kelak ia tidak akan lepas dari nikmat Allah SWT.
Secara garis besar nikmat itu dapat dibagi dua, yaitu nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi alat untuk mencapai tujuan. Nikmat dan tujuan utama yang ingin dicapai umat Islam adalah kebahagian di akhirat.
Adapun ciri nikmat ini adalah:
(1) kekal,
(2) diliputi kebahagiaan dan kesenangan,
(3) sesuatu yang mungkin dapat dicapai, dan
(4) dapat memenuhi segala kebutuhan manusia.
Nikmat yang kedua meliputi:
(1) kebersihan jiwa dalam bentuk iman dan akhlak yang mulia;
(2) “kelebihan” tubuh, seperti kesehatan dan kekuatan;
(3) hal yang membawa kesenangan jasmani, seperti harta, kekuasaan, dan keluarga; dan
(4) hal yang membawa sifat keutamaan, seperti hidayah, petunjuk, pertolongan, dan lindungan Allah SWT.
Menurut Imam al-Ghazali, syukur merupakan salah satu maqam (stasiun/stage) yang lebih tinggi dari sabar, khauf (takut) kepada Allah SWT, dan lain-lain.
Cara bersyukur kepada Allah SWT ada tiga:
(1) bersyukur dengan hati, yaitu mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa segala nikmat yang diperoleh berasal dari Allah SWT dan tak ada seorang pun selain Allah SWT yang dapat memberikan nikmat itu;
(2) bersyukur dengan lidah, yaitu meng ucapkan secara jelas ungkapan rasa syukur itu dengan kalimat al-hamd li Allah (segala puji bagi Allah); dan
(3) bersyukur dengan amal perbuatan, yaitu mengamalkan anggota tubuh untuk hal yang baik dan memanfaatkan nikmat itu sesuai de ngan ajaran agama.
Yang dimaksud dengan mengamalkan anggota tubuh adalah mempergunakan anggota tubuh itu untuk melakukan hal yang positif dan diridai Allah SWT, sebagai perwujudan dari rasa syukur tersebut. Misalnya, jika seseorang memperoleh nikmat harta benda, ia mempergu nakan harta itu sesuai dengan ajaran agama dan menafkahkannya di jalan Allah SWT.
Jika memperoleh nikmat berupa ilmu pengetahuan, ia akan memanfaatkan ilmu itu untuk keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan manusia, serta mengajarkan ilmunya kepada orang lain; bukan sebaliknya, menggunakan ilmu yang diperoleh untuk membinasakan dan menghancurkan kehidupan manusia. Wujud dari syukur kepada Allah SWT yang nyata adalah melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan Allah SWT.
Untuk anggota tubuh, misalnya, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa mensyukuri anggota tubuh yang diberikan Allah SWT meliputi tujuh anggota yang penting, yaitu
(1) mata, mensyukuri nikmat ini dengan tidak menggunakannya untuk melihat hal yang maksiat;
(2) telinga, digunakan hanya untuk mendengarkan hal yang baik dan tidak untuk hal yang tidak boleh didengar;
(3) lidah, dengan banyak mengucapkan zikir, mengucapkan pujian kepada Allah SWT, dan mengung kapkan nikmat yang diberikan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah adh-duha (44) ayat 11 yang berarti: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”;
(4) tangan, digunakan untuk melakukan kebaikan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, dan tidak untuk melakukan hal yang haram;
(5) perut, dipakai hanya untuk memakan makanan yang halal/ baik dan tidak berlebihan (mubazir); makanan itu dimakan sekadar untuk menguatkan tubuh terutama untuk beribadah kepada Allah SWT;
(6) kemaluan (alat kelamin), digunakan di jalan yang diridai Allah SWT (hanya bagi suami istri) dan disertai dengan niat memelihara diri dari perbuatan yang haram; dan
(7) kaki, digunakan untuk berjalan ke tempat yang baik, seperti ke masjid, berhaji ke Baitullah (Ka’bah), mencari rezeki yang halal, dan menolong sesama umat manusia.
Di samping hal tersebut, syukur kepada Allah SWT dilakukan pula dalam bentuk sujud syukur setelah seseorang mendapat nikmat dalam bentuk apa pun, maupun karena lolos dari musibah dan bencana. Sujud ini hanya dilakukan sekali dan di luar salat. Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud disebutkan: “Apabila Nabi SAW memperoleh sesuatu yang menggembirakan, ia tunduk bersujud karena Allah SWT.”
Bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan-Nya merupakan keharusan manusia, baik dilihat dari sudut fitrahnya, maupun berdasarkan nas syarak atau hukum Islam (Al-Qur’an dan hadis).
Manfaat yang diperoleh dari tindakan bersyukur itu sebenarnya dirasakan manusia yang bersangkutan, antara lain untuk mengekalkan nikmat yang ada dan menambah nikmat itu dengan nikmat lain yang berlimpah ruah. Allah SWT berfirman dalam surah Ibrahim (14) ayat 7 yang berarti:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumatkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu meng ingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.”
Maksudnya, apabila bersyukur atas nikmat Allah SWT, orang akan diberi-Nya tambahan nikmat. Sebaliknya, orang yang tidak mau bersyukur (kufur nikmat) akan mendapat siksa yang pedih.
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Ibnu Kasir, al-Hafiz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma‘il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Hadisah, 1384 H/1964 M.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. al‑Adzkar. Cairo: Matba‘ah Zakariya Ali Yusuf, t.t.
as-Sadiq, Muhammad bin Allan. al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar an-Nawawiyyah. Cairo: al-Azhar, 1929.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Tuhfah adz-Zakirun. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
A. HAFIZH ANSHARI