Syirik adalah perbuatan, anggapan atau itikad yang menyekutukan Allah SWT dengan yang lain, seakan-akan ada yang maha kuasa di samping Allah SWT. Menurut pengertian bahasa, syirik berarti “persekutuan atau bagian (nasib)”. Orang yang menyekutukan Allah SWT disebut musyrik. Syirik merupakan dosa besar yang tidak terampuni (QS.4:48).
Syirik terbagi menjadi dua macam, yakni syirk akbar (syirik akbar/besar) atau disebut syirk jali (syirik nyata) dan syirk asgar (syirik kecil) atau disebut juga syirk khafi (syirik samar-samar).
Syirik akbar atau syirk jali adalah perbuatan yang jelas-jelas menganggap ada tuhan lain (Alihah) selain Allah SWT dan tuhan itu dijadikannya tandingan di samping Allah SWT, menganggap ada sesembahan lain selain Allah SWT, dan menganggap Tuhan mempunyai anak atau segala perbuatan yang mengingkari kemahakuasaan Allah SWT.
Gambaran perbuatan orang musyrik bisa dilihat dalam Al-Qur’an surah al-Mu’minun (23) ayat 84–91, al-‘Ankabut (29) ayat 61–63, Luqman (31) ayat 31–34, az-Zumar (39) ayat 38–39, dan az-Zukhruf (43) ayat 43–87. Salah satu tugas pokok misi agama samawi yang pernah diturunkan Allah SWT adalah membersihkan kepercayaan manusia dari paham syirik (lihat antara lain surah an-Nahl [16] ayat 36).
Nabi Nuh AS, misalnya, menyerukan agar umatnya hanya ber ibadah kepada Allah SWT ketika umatnya menyembah berhala Wudd, Suwa, Yagus, Ya’uq, dan Nasr (QS.71:3,23). Nabi Hud AS menyerukan agar kaumnya, Ad, beribadah kepada Allah SWT (surah Hud [11] ayat 2 Memohon sesuatu dengan sesaji di tempat yang dianggap keramat, salah satu contoh perbuatan syirik dan seterusnya).
Nabi Ibrahim AS menentang bapaknya yang pembuat patung dan Raja Namrud sebagai penyembah berhala serta mengajak mereka untuk hanya beribadah kepada Allah SWT (QS.6:74 dan QS.21:52). Nabi SAW menghapuskan paham syirik di kalangan Arab Jahiliah.
Musyrikin Arab Jahiliah mengakui Allah SWT sebagai Tuhan mereka, tetapi mereka merasa perlu ada perantara untuk lebih mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT. Mereka membuat berhala seperti Hubal, Lata, Uzza, dan Manata sebagai perantara (QS.39:2 dan QS.53:19–23).
Perbuatan yang dapat dipandang sebagai syirik akbar (syirk jali) tidak hanya dilakukan orang yang tidak atau belum beragama Islam. Orang yang sudah mengaku beragama Islam juga bisa berbuat syirik ini. Gerakan pemurnian tauhid yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703–1787) di Nejd dan tempat lain yang pernah ia kunjungi memberantas syirik yang telah merajalela di kalangan umat Islam ketika itu.
Menurut Muhammad bin Abdul Wahhab, musyrikin Arab Jahiliah dipandang musyrik karena mengambil Lata, Uzza, Manata, dan berhala lainnya sebagai perantara dalam menyembah Tuhan. Maka yang terjadi pada masanya, umat Islam mengambil kuburan para syekh tarekat, batu, pohon kurma, dan tempat yang mereka anggap suci sebagai wasilah (pertalian, ikatan) dalam berdoa dan beribadah kepada Allah. Oleh sebab itu mereka disebut musyrik sehingga ketauhidannya perlu dimurnikan.
Syirk aœgar atau syirk khafi adalah perbuatan yang secara tersirat mengandung pengakuan ada yang kuasa di samping Allah SWT, misalnya pernyataan seseorang: “Jika seandainya saya tidak ditolong oleh si A pada peristiwa itu, saya pasti mati.” Atau misalnya, “Jika saya tidak makan obat itu, saya tidak akan sembuh dari penyakit ini.”
Pernyataan seperti itu menyiratkan seakan-akan ada pengakuan bahwa ada sesuatu yang berkuasa selain Allah SWT. Seorang mukmin yang baik dalam peristiwa seperti tersebut di atas akan berkata, “Seandainya tidak ada pertolongan Tuhan melalui si A, saya pasti mati” atau “Seandainya tidak ada pertolongan Tuhan melalui obat ini, saya tidak akan sembuh dari penyakit itu.”
Dalam salah satu hadis yang terdapat pada Musnad Ahmad Ibn hanbal (kitab hadis Imam Hanbali) dikatakan bahwa syirk khafi berarti “mengerjakan suatu perbuatan agar dipuji orang lain” (perbuatan riya).
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah . Cairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1971.
Amin, Ahmad. Zu‘ama’ al-Islah fi al-‘Asr al-Hadits. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Ibnu Taimiyah. al-Amin. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399 H/1979 M.
Qardawi, Yusuf. Haqiqah at-Tauhid, atau Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, terj., A. Rahim Haris: Bima: Pustaka Dar al-Hikmah, 1987.
Subhani, Ja‘far. Tauhidd wa asy-Syirk fi Al-Qur’an al-Karim, atau Studi Kritis Faham Wahaby, Tauhid, dan Syirik, terj. Muhammad Baqir. Bandung: Mizan, 1985.
Syaltut, Mahmud. al-Islam: ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
Atjeng Ahmad Kusaeri