Menurut kesusastraan Arab, syair adalah ucapan atau susunan kata yang fasih yang terikat pada rima (pengulangan bunyi) dan matra (irama berpola tetap) dan biasanya mengungkapkan imajinasi indah serta berkesan dan memikat.
Dalam bahasa Melayu/Indonesia, satu bait syair biasanya terdiri atas empat baris, yang berakhir dengan bunyi yang sama: a, a, a, a.
Syair dari negeri Arab diduga sudah ada jauh sebelum lahirnya agama Islam. Syair tertua yang diduga berasal dari zaman Jahiliah diperkirakan berasal sekitar 2 abad sebelum Hijriah, disebut syair jahiliah (asy-syi‘ir al-jahili). Syair di masa Jahiliah menempati posisi penting di kalangan orang Arab.
Di samping pengungkapan imajinasi dan perasaan, syair juga memberikan pemberitaan hal yang dibanggakan, pemerian (pelukisan) peperangan dan sebagainya, sehingga syair dinamai juga diwan al-‘Arab (catatan sejarah Arab).
Pada masa itu biasanya syair dibacakan di tengah orang banyak di tempat tertentu, seperti suq (pasar). Syair yang terkenal biasanya digantungkan di Ka’bah yang dikenal dengan mu‘allaqat as-sab‘ (tujuh macam syair terkenal yang digantung di pintu Ka’bah).
Penggubah dan pembaca syair atau penyair (Ar.: sya‘ir, jamaknya syu‘ara’) juga mendapat penghormatan dari masyarakat lebih dari seorang khatib atau orator (ahli pidato). Apabila seseorang menjadi penyair terkenal dan berhasil memenangkan perlombaan, orang sekabilahnya menyelenggarakan pesta sebagai ucapan selamat atas keberhasilannya.
Sekelompok wanita memainkan alat musik yang disebut mizhar (semacam kecapi). Mereka bergembira ria karena penyair telah mengangkat nama baik kabilah. Menurut al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 225 H/869 M), ahli balaghah, penghargaan kepada para penyair mulai menurun ketika mereka memanfaatkan kepandaian bersyair untuk mencari nafkah dan mencari muka kepada penguasa, sehingga orator lebih dihargai masyarakat daripada mereka.
Berdasarkan isinya, syair Jahiliah bertujuan antara lain sebagai berikut:
(1) Al-Wasf (pemerian atau pelukisan). Sesuai dengan lingkungan Arab pada masa Jahiliah, pemerian dalam syair berkisar pada alam lingkungan yang disaksikannya seperti padang pasir, lembah, hujan, sungai, dan angin; pemerian perburuan dan kendaraan yang ditunggangi penyair seperti unta dan kuda; dan pemerian bekas tempat tinggal kekasih tercinta. Imru al-Qais adalah penyair Jahiliah yang terkenal sebagai penggubah syair al-wasf.
(2) Al-Hamasah (semangat). Syair ditujukan untuk membangkitkan semangat dengan penggambaran peperangan dan kebanggaan pada diri dan nenek moyang.
(3) Al-Gazl, ungkapan cinta kepada wanita. Penyair mengungkapkan keindahan lekak-lekuk tubuh dan wajah wanita yang dicintainya secara sopan dan jelas.
(4) Al-Madh (pujian). Penyair menggambarkan kebaikan-kebaikan dan kemuliaan orang yang dipujinya baik sebagai tanda terima kasih karena mendapat karunia dari orang yang dipuji, maupun karena maksud mendapatkan lebih banyak kebaikan dari orang yang dipuji.
(5) Al-Hija’ (ejekan). Syair ini bertujuan membesar-besarkan keburukan dan kejelekan seseorang serta mengingkari kebaikan dan kemuliaan seseorang atau menyerang musuhnya dengan bait (rangkaian sejumlah baris) syair.
(6) Ar-Ratsa’ (ratapan). Syair ini bertujuan memuji-muji dan meratapi orang mati serta menyatakan duka dan kesedihan yang amat dalam karena ditinggal oleh si mati. Setelah datangnya Islam, yakni masa Nabi SAW, syair tidak lagi menempati tempat yang utama seperti pada masa pra-Islam, karena umat Islam pada masa awal itu sibuk dengan Al-Qur’an dan hadis.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa penyair itu diikuti orang yang sesat, senang mengembara di tiap lembah, dan suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya) (QS.26:224–226).
Tetapi hal ini tidak berlaku bagi orang-orang (para penyair) yang beriman, seperti bunyi ayat Al-Qur’an yang berarti: “Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman…” (QS.26:227).
Orang kafir Arab menuduh Nabi SAW sebagai seorang penyair gila yang mengarang ayat Al-Qur’an. Tuduhan mereka itu disebutkan dalam Al-Qur’an surah al-Anbiya’ (21) ayat 5 yang berarti:
“Bahkan mereka berkata (pula), ‘(Al-Qur’an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut malah diadaadakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus,”
surah as-Saffat ayat 36 yang berarti:
“Dan mereka berkata, apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”
dan surah ath-Tur (52) ayat 30 yang berarti:
“Bahkan mereka mengatakan: Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.”
Namun, Al-Qur’an membantah semua tuduhan atas diri Nabi SAW tersebut. Bantahan itu terlihat dalam surah Yasin (36) ayat 69 yang berarti:
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan.”
Hal ini terbantah juga dalam surah al-Haqqah (69) ayat 41 yang berarti:
“Dan Al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”
Sekalipun demikian, Nabi SAW tidak melarang sama sekali kegiatan bersyair asalkan ungkapannya berisi dakwah yang mengajak kepada perbuatan luhur dan mulia. Nabi SAW sendiri mempunyai seorang penyair, Hassan bin Sabit, yang disuruh Nabi SAW untuk menjawab syair penghinaan dari pihak kafir Quraisy dalam peperangan.
Di masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar), syair juga kurang mendapat perhatian sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Syair mulai berkembang kembali di masa Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah sampai masa kebangkitan Arab.
Dalam sastra Melayu, bentuk syair pertama kali diperkenalkan oleh Hamzah Fansuri, tokoh tasawuf dari Aceh yang hidup pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Syairnya berisi ajaran tasawuf, riwayat hidupnya, dan cerita pengembaraannya ke banyak tempat.
Syair sebagai salah satu bentuk puisi lama dalam kesusastraan Melayu terdiri dari empat baris dalam satu bait dengan rima akhir yang sama dan tanpa memakai sampiran (baris pertama dan kedua). Setiap baris umumnya terdiri dari empat kata. Setiap bait merupakan bagian dari sebuah puisi panjang yang bercerita mengenai sesuatu hal.
Dalam kesusastraan Melayu terdapat syair keagamaan, suatu bentuk syair yang berisi ajaran agama, pengetahuan tentang Allah SWT, dan riwayat para nabi. Syair yang berisi masalah fikih meliputi antara lain Syair Rukun Haji, Syair Rukun Ibadat, dan Syair Rukun Nikah.
Yang berisi riwayat para nabi mencakup antara lain Syair Nur Muhammad, Syair Nabi Allah Ayyub, dan Syair Nabi Allah Yusuf. Hari kiamat dan siksa neraka terdapat pada Syair Kiamat, Syair Neraka, dan Syair Azab dalam Neraka. Pengetahuan tentang Allah SWT terdapat antara lain pada Syair Marifat Allah.
Syair keagamaan terpenting adalah syair tasawuf Hamzah Fansuri. Syairnya bersifat mistis, melambangkan hubungan Tuhan dengan manusia, dan berisi ajaran tentang mengenal Tuhan dan Zat Tuhan serta mengesakan Tuhan. Syair tasawufnya antara lain adalah Syair Perahu dan Syair Burung Pingai.
Ditinjau dari segi isi, selain syair keagamaan juga terdapat berbagai jenis syair lainnya, seperti syair panji (berisi cerita mitos yang dipengaruhi kesusastraan Jawa, umumnya bercerita tentang kepahlawanan seseorang), syair romantis (antara lain tentang percintaan dan duka nestapa), syair kiasan (berisi sindiran terhadap peristiwa tertentu), dan syair sejarah atau syair perang (berisi sejarah atau peperangan).
Selain itu juga terdapat syair saduran yang umumnya merupakan gubahan dari cerita Jawa atau wayang.
Daftar Pustaka
Farukh, Umar. Tarikh al-Adab al-‘Arabi. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, 1981.
Shadily, Hassan. ed. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1984.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: al-Maktabah al-’Ilmiyah al-Jadidah, t.t.
M Rusydi Khalid