Ahmad Rasyid Sutan Mansur adalah seorang ulama dan tokoh Muhammadiyah yang berperan besar dalam menyebarkan gerakan itu di daerah Minangkabau dan Sumatera pada umumnya. Ia lebih dikenal dengan nama A.R. Sutan Mansur.
Ahmad Rasyid Sutan Mansur pada masa kecilnya memperoleh pendidikan agama secara tradisional dalam lingkungan keluarga. Pada 1902 ia belajar di Tweede Class School (Sekolah Kelas Dua) di Maninjau sampai 1909. Atas rekomendasi controlleur Maninjau, ia diberi peluang untuk melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi.
Tetapi karena bercita-cita ingin melanjutkan pendidikan ke Mesir, ia belajar ilmu agama Islam kepada H Abdul Karim Amrullah (w. 1364 H/1945 M, terkenal dengan sebutan Haji Rasul, ayahanda HAMKA) di Sungai Batang, Maninjau. Ketika gurunya pindah ke Padang (1912), ia ikut serta, dan kemudian menjadi menantu gurunya (1917). Sesuai dengan adat Minangkabau, sejak perkawinannya itu ia mendapat gelar Sutan Mansur.
Ketika perkumpulan Sumatra Thawalib berdiri pada Februari 1918 di Padangpanjang, ia sudah dipandang layak menjadi guru. Sumatra Thawalib mengutusnya untuk menjadi guru di Kuala Simpang, Aceh, selama 2 tahun.
Pada 1920 ia pindah ke Pekalongan. Cita-citanya untuk belajar di Mesir tidak tercapai. Tetapi kekecewaannya itu terobati tatkala pada 1922 ia bertemu dengan KH Ahmad Dahlan (w. 1923, pendiri Muhammadiyah) yang datang ke Pekalongan untuk mengadakan tablig Muhammadiyah. Ia sangat terkesan pada kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menguraikan persoalan agama dan kepribadiannya yang lembut, tenang, dan penuh wibawa.
Dari tokoh ini ia memperoleh banyak hal tentang Muhammadiyah. Pada tahun itu juga ia menjadi anggota organisasi tersebut. Kemudian ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah lainnya, seperti KH A.R. Fakhruddin dan KH Mas Mansur. Dari mereka itulah ia mengenal Islam tidak hanya aspek hukumnya, tetapi juga aspek sosial kemasyarakatan, kesehatan, dan ekonomi.
Sejak 1923 ia aktif menjadi guru dan mubalig Muhammadiyah. Muridnya terdiri dari bermacam-macam kalangan, seperti bangsawan Jawa (antara lain R. Ranuwihardjo, R. Tjitrosoewarno, dan R. Oesman Poedjooetomo), keturunan Arab, dan orang Minang perantauan yang tinggal di Pekalongan dan sekitarnya. Pada 1925 ia kembali ke Maninjau sebagai mubalig besar Muhammadiyah untuk Sumatera.
Sebelum Sutan Mansur pulang ke Maninjau, pemikiran Muhammadiyah sudah mulai disebarkan Syekh H Abdul Karim Amrullah. Beberapa cabang Muhammadiyah telah berdiri, seperti di Maninjau dan Padangpanjang.
Syekh H Abdul Karim Amrullah dengan demikian membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk berkiprah mengembangkan Muhammadiyah. Gerakan ini disebarkan semakin pesat oleh Sutan Mansur setelah mendapat dukungan dari tokoh masyarakat dan para alim ulama “Kaum Muda”, terutama dari mertuanya sendiri.
Sebagai mubalig tingkat pusat Muhammadiyah (1926– 1929), Sutan Mansur ditugaskan mengadakan tablig keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai, dan Kuala Kapuas), Mentawai, dan beberapa bagian Sumatera Tengah serta Sumatera Selatan. Ia juga melatih pemuda-pemudi dalam lembaga Kulliyatul Muballigin yang didirikannya untuk menjadi kader mubalig Muhammadiyah.
Metode yang digunakannya dalam latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Muridnya meliputi antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis tafsir Al-Qur’an), Zein Jambek (w. 1963), Marzuki Yatim (mantan ketua KNI Sumatera Barat 1945), HAMKA (w. 1981), Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis (w. 1986, ibunda H Tarmizi Taher, menteri agama RI).
Kongres ke-19 Muhammadiyah pada 1930 diadakan di Minangkabau. Pada kongres itu diputuskan perlu adanya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap wilayah keresidenan. Berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh pada 1931, A.R. Sutan Mansur diangkat menjadi konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat sampai 1944. Atas usul Konsul Aceh, konsul seluruh Sumatera sepakat mengangkat Sutan Mansur sebagai imam Muhammadiyah Sumatera.
Pada Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto pada 1953, Sutan Mansur terpilih sebagai ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun kemudian, pada kongres ke-33 di Palembang, ia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah.
Pada kongres ke-34 di Yogyakarta 1959, ia tak dapat hadir. Pada kongres ke-35 1962 di Yogyakarta (Peringatan Setengah Abad Muhammadiyah) ia diangkat menjadi penasihat PP Muhammadiyah sampai 1980.
Selama dua periode masa kepemimpinan (1953–1959) itu, ia berhasil merumuskan khiththah (perjuangan) Muhammadiyah yang mencakup usaha: menanamkan dan mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawaduk, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh rasa tanggung jawab, memberikan contoh dan suri teladan kepada umat, mengadakan konsolidasi administrasi, mempertinggi kualitas sumber daya, dan membentuk kader.
Ahmad Rasyid Sutan Mansur menulis beberapa buku, antara lain Pokok-Pokok Pergerakan Muhammadiyah, Penerangan Azas Muhammadiyah, Hidup di Tengah Kawan dan Lawan, Tauhid, Ruh Islam, dan Ruh Jihad. Buku ini sampai sekarang masih dijadikan pegangan bagi anggota Muhammadiyah.
Tema pokok yang sering diketengahkan dalam bukunya berkisar pada soal iman dan jihad. Iman kepada rukun iman yang enam merupakan syarat pokok untuk melakukan jihad. Jihad adalah segala perbuatan yang dilakukan sepenuh hati untuk menegakkan kebenaran. Jihad dengan senjata hanya dilakukan dalam keadaan darurat. Jihad yang sesungguhnya dilakukan dalam tiga tahap:
(1) dari roh (jiwa) yang suci dan keimanan timbul hubungan dengan Tuhan,
(2) dari roh (jiwa) yang suci akan timbul kekuatan dinamis, dan
(3) dari kekuatan dinamis timbul perbuatan nyata yang didasarkan kepada ‘ilm al-yaqin dan haqq al-yaqin.
Dalam bidang fikih ia dikenal sangat toleran. Ia tidak terlalu mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu‘iyyah (hukum agama yang tidak pokok). Hasil Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama; itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat yang lebih kuat.
Jika ada pendapat yang lebih kuat, HPT bisa ditinjau kembali. Karena itu menurutnya HPT tidak mengikat anggota Muhammadiyah. Sikapnya ini tercermin pula pada buku karangannya yang lebih menekankan kepada penanaman akidah dan jihad dalam arti seluas-luasnya.
Kalau KH Mas Mansur dipandang sebagai “bintang timur” Muhammadiyah, A.R. Sutan Mansur dipandang sebagai “bintang barat”-nya. Ia juga dipandang sebagai salah satu dari tujuh tokoh utama Muhammadiyah dari generasi pertama. Keenam tokoh lainnya adalah KH Ahmad Dahlan, KH A.R. Fakhruddin, KH Ibrahim (ketiganya dari Kauman, Yogyakarta), KH Abdul Mu‘thi (Madiun), KH Mukhtar Bukhari (Solo), dan KH Mas Mansur (Surabaya).
Daftar Pustaka
Anis, Yunus. Kenalilah Pemimpin Anda. Jakarta: Majlis Pustaka PP Muhammadiyah, t.t.
HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
–––––––. Muhammadiyah di Minangkabau. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1974.
Hamka, Rusydi. “Peranan Sutan Mansur dalam Kebangkitan Islam di Indonesia,” Panji Masyarakat, No. 464, 1985.
Mansur, A.R. Sutan. Ruh Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Atjeng Achmad Kusaeri