Surau adalah bangunan kecil tempat salat yang dipergunakan juga sebagai tempat mengaji Al-Qur’an bagi anak-anak dan tempat belajar agama bagi orang dewasa. Kata “surau” berasal dari istilah Melayu-Indonesia dan penggunaannya meluas di Asia Tenggara. Pengertian surau ini dalam penggunaannya hampir sama dengan istilah “langgar” atau “musala”.
Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang terletak di puncak bukit atau di tempat yang lebih tinggi daripada lingkungannya. Bangunan ini dipergunakan untuk penyembahan arwah nenek moyang.
Dalam sejarah Minangkabau, diduga bahwa surau itu didirikan pada masa Raja Adityawarman pada 1356 di kawasan Bukit Gombak. Surau tersebut, di samping berfungsi sebagai tempat peribadatan Hindu-Buddha, juga menjadi tempat berkumpul anak-anak muda mempelajari berbagai pengetahuan serta keterampilan sebagai persiapan menghadapi kehidupan dan tempat berkumpulnya para lelaki dewasa yang belum menikah atau yang sudah duda.
Dengan datangnya Islam ke Sumatera Barat, surau juga mengalami proses islamisasi, walaupun sisa kesakralan surau di sana masih tetap terlihat jelas, seperti adanya puncak (gonjong) yang merefleksikan kepercayaan mistis dan sekaligus sebagai simbol adat.
Namun fungsi surau di sana tidak berubah. Hanya saja, fungsi keagamaannya menjadi semakin penting. Selain dipergunakan untuk ibadah, surau juga menjadi lembaga pendidikan dan pengajaran serta kegiatan sosial budaya.
Dalam perkembangannya fungsi surau di Minangkabau lebih menyerupai pesantren di Pulau Jawa atau pondok di Malaysia. Perkembangan terakhir tersebut dimulai semenjak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman, pada abad ke-17 setelah ia kembali dari belajar agama Islam kepada Syekh Abdur Rauf Singkel (1615–1693), ulama besar Aceh.
Di samping itu, surau Syekh Burhanuddin ini, dan juga surau muridnya, juga berfungsi sebagai pusat Tarekat Syatariyah yang diterima dari Syekh Abdur Rauf Singkel, walaupun ada juga di antara surau muridnya yang menganut Tarekat*Naqsyabandiyah.
Pada masa Syekh Burhanuddin, Surau Ulakan mempunyai otoritas keagamaan yang tinggi, sehingga apa pun yang dilakukannya di sana, tidak ada yang berani mempertanyakannya. Tetapi pada akhir abad ke-18 ada sekelompok murid Surau Ulakan yang berani melakukan koreksi dengan menawarkan pembaruan di bidang amaliah agama.
Bahkan menjelang akhir abad ke-18 suara para pembaru yang mengajak kembali kepada syariat Islam sudah mulai lantang. Semenjak itu surau mulai memainkan peranan penting dalam gerakan pembaruan Islam di Minangkabau yang berpangkal pada tema “kembali kepada syariat”.
Wujudnya antara lain berupa peningkatan pengajaran Al-Qur’an dan hadis dalam pendidikan surau. Sebagai contoh, Surau Kota Tuo di daerah Agam yang dipimpin Tuanku Nan Tuo (pemrakarsa Gerakan Paderi) dengan giat menyebarkan pandangan tentang pentingnya syariat bagi perbaikan masyarakat Minangkabau.
Kemudian, dalam Perang Paderi yang pecah karena pertikaian antara Kaum Tua dan Kaum Muda yang radikal, banyak surau di daerah Minangkabau mengalami kehancuran. Kelompok Kaum Muda yang radikal menyerang surau yang dipandang penuh praktek khurafat dan takhayul.
Surau Syekh Jalaluddin, pembaru yang moderat dan murid terkenal dari Surau Kota Tuo, juga menjadi sasaran serangan ini. Pada 1821 konflik ini diintervensi oleh Belanda. Perang pembaruan agama berganti menjadi perang kolonial.
Setelah mulai bangkit kembali dari kehancurannya, menjelang akhir abad ke-19 surau di Minangkabau mulai dihadapkan kembali kepada pembaruan Islam. Pada awal abad ke-20 terjadi gelombang pembaruan kedua dari Kaum Muda yang dipelopori oleh murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Pada umumnya, surau dalam pengertian pesantren di Sumatera Barat dimiliki dan dikelola oleh syekh secara turun-temurun. Surau tersebut biasanya mempunyai banyak bangunan. Bahkan surau besar bisa mempunyai bangunan sampai dua puluh buah atau lebih. Ada bangunan utama, bangunan untuk tamu, tempat suluk, tempat tinggal para murid, dan tempat tinggal syekh.
Adapun penyelenggaraan pendidikannya biasanya tidak mempunyai tingkatan kelas, walaupun terkadang ada semacam pembagian kelompok murid. Pengelompokannya biasanya berdasarkan kelompok ilmu yang dipelajari murid.
Metode pengajaran yang dipakai adalah ceramah, pembacaan, dan hafalan yang biasa dikenal dengan nama halaqah (belajar secara melingkar sekitar guru). Bahkan ada surau yang khusus mengajarkan ilmu tertentu saja, seperti ilmu bahasa Arab, ilmu fikih, ilmu mantik, dan ilmu tafsir.
Pada dasawarsa kedua abad ke-20, setelah kelompok muslim modernis mulai memperkenalkan sistem pendidikan klasikal ala Belanda dan juga bentuk madrasah, popularitas surau di kalangan masyarakat Sumatera Barat mulai menurun.
Sebenarnya peranan surau sebagai lembaga pendidikan mulai disaingi sejak pertengahan abad ke-19, ketika pemerintah Belanda mendirikan sekolah di kota yang merupakan benteng. Sejak 1933 jumlah surau di daerah Sumatera Barat terus menurun. Setelah zaman kemerdekaan, hanya beberapa surau dengan sistem pesantren yang masih bertahan.
Daftar Pustaka
Rahardjo, M. Dawam, ed. Pergumulan Dunia Pesantren. Jakarta: P3M, 1985.
Yunus, Mahmud. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hadikarya, 1977.
Ridlo Masduki