Sunah

(Ar.: as-sunnah)

Secara etimologis as-sunnah berarti:

(1) at-thariqah: jalan, cara, atau metode, baik terpuji maupun tercela;
(2) as-sirah: perikehidupan atau perilaku;
(3) kebalikan dari makruh (anjuran menghindari);
(4) at-thabi‘ah: tabiat atau watak;
(5) asy-syari‘ah: syariat, peraturan, atau hukum; dan
(6) al-hadits: perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad SAW. Dalam fikih, sunah adalah satu dari al-ahkam al-khamsah (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah).

Di kalangan fukaha (ahli fikih) ada perbedaan pendapat tentang pengertian sunah. Ada yang menyamakannya dengan al-mandub, al-mustahabb, dan fadilah, ada pula yang membedakannya.

Golongan Syafi‘iyah (Syafi’i, Mazhab) berpendapat, sunah, al-mandub, al-mustahabb dan at-tathawwu‘ adalah kata yang muradif (sinonim). Pengertiannya sama, yaitu sesuatu yang dituntut kepada mukalaf untuk melakukannya, tetapi tuntutan itu tidak keras. Jika melakukannya, ia akan mendapatkan pahala, tetapi jika tidak melakukannya, ia tidak berdosa.

Golongan Malikiyah (Maliki, Mazhab) membuat perbedaan antara sunah dan al-mandub. Bagi mereka, sunah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan syari‘ (pembuat syariat) untuk dilakukan.

Sunah merupakan suatu perintah yang sangat ditekankan dan memiliki nilai yang tinggi, meskipun tidak ada dalil yang menunjukkan kewajiban pelaksanaannya. Karena itu, orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala, tetapi tidak berdosa jika meninggalkannya.

Adapun al-mandub adalah sesuatu yang dituntut syari‘ untuk dikerjakan, tetapi tuntutan itu tidak sangat ditekankan (gair mu’akkadah). Pelaksananya juga diberikan pahala dan ia tidak berdosa jika meninggalkannya. Contohnya adalah salat sunah empat rakaat sebelum salat zuhur. Golong­an ini menyamakan pengertian al-mandub dengan fadilah.

Golongan Hanafiyah (Hanafi, Mazhab) membagi sunah atas dua bagian.

(1) Sunah mu’akkadah, yaitu sesuatu yang harus dikerjakan. Sunah dalam pengertian ini, bagi mereka, sama dengan wajib (bukan fardu). Karena itu, jika pekerjaan yang termasuk sunah mu’akkadah ditinggalkan mukalaf, ia berdosa, dan jika dikerjakan, ia akan mendapat pahala.

Golongan ini membedakan wajib dan fardu. Wajib adalah sesuatu yang telah ditetapkan syarak (hukum Islam) dengan dalil tertentu.

Mereka menamakannya juga fardan ‘amalan (kefarduan yang amali), dalam arti dikerjakan sebagai pekerjaan yang fardu dalam amaliah, tetapi tidak wajib diiktikadkan sebagai sesuatu yang fardu, seperti salat witir. Bagi mereka salat witir adalah fardu amali tetapi tidak secara i‘tiqadi (dogmatik), jika ditinggalkan berdosa, tetapi tidak kafir jika kefarduannya diingkari.

Ini berbeda dengan salat lima waktu, yang fardu baik secara amali maupun i‘tiqadi, berdosa jika ditinggalkan dan kafir jika kefarduannya diingkari. Dengan demikian, kedudukan wajib lebih rendah daripada fardu.

Dosa meninggalkan yang wajib tidak sebesar dosa meninggalkan yang fardu.

(2) Sunah gair mu’akkadah, yang biasa mereka sebut al-mandub atau al-mustahabb. Pengertiannya sama dengan sunah menurut Syafi’iyah, yaitu berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.

Golongan Hanabilah (Hanbali, Mazhab) menyamakan pengertian sunah, al-mandub atau al-mustahabb, yaitu sesuatu yang berpahala bagi orang yang mengerjakannya dan tidak berdosa jika meninggalkannya.

Mereka membagi sunah atas dua bagian.

(1) Sunah mu’akkadah, yaitu suatu pekerjaan yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan, tetapi tidak wajib. Bagi yang meninggalkannya hukumnya adalah makruh (dianjurkan untuk dihindari tetapi tidak berdosa apabila dilakukan), seperti salat witir, sunah dua rakaat sebelum salat subuh, salat tarawih, dan lain-lain.

(2) Sunah gair mu’akkadah, yaitu sesuatu yang dianjurkan untuk dikerjakan, meskipun anjurannya tidak begitu keras dan tidak makruh jika ditinggalkan.

Sunah dalam pengertian ulama usul fikih adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir (peneguhan) yang dijadikan sebagai dalil hukum syariat.

Istilah yang biasanya digunakan adalah sunah. Di kalangan ahli usul fikih sunah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, sunah berfungsi sebagai:

(1) penguat (mu’akkid) terhadap ketetapan hukum yang disebut Al-Qur’an mengenai suatu peristiwa hukum tertentu;

(2) pemberi penjelasan (bayan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam
(a) memberikan tafsil (rincian) terhadap ayat yang masih mujmal (tafsil al-mujmal/konsep umum);
(b) membatasi kemutlakan dari ayat Al-Qur’an (taqyid al-mutlaq); dan
(c) mentakhsis (membatasi) yang umum (takhsis al-‘amm);

(3) pencipta hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an, seperti haramnya memakan binatang buas yang bertaring kuat dan burung yang berkuku (HR. Muslim) dan haramnya mengawini wanita sesusuan karena dipersamakan dengan saudara sendiri (senasab/seketurunan) dari hadis riwayat Bukhari dan Muslim.

Sunah terbagi atas tiga macam:

(1) Sunah qauliyyah, yaitu segala ucapan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bentuknya yang berkaitan dengan masalah hukum seperti sabda beliau, “Innama al-’a‘malu bi an-niyati, wa innama likullimri’in ma nawah…” (sesungguhnya segala amal itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya…).

(2) Sunah fi‘liyyah, yaitu segala perbuatan atau tindakan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan hukum, seperti beliau berwudu, melaksanakan salat, dan melaksanakan ibadah haji. Perbuatan tersebut sekaligus merupakan penjelasan terhadap perintah syariat yang diucapkan beliau atau yang tercantum dalam Al-Qur’an.

(3) Sunah taqririyyah, yaitu sunah yang berkenaan dengan takrir Nabi SAW terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan para sahabat. Bentuknya bermacam-macam, bisa dalam bentuk diamnya Rasulullah SAW ketika mendengar atau melihat suatu perbuatan yang dilakukan sahabat, tidak adanya larangan atau bantahannya terhadap perkataan atau perbuatan itu, bisa juga dalam bentuk pujian atas perkataan atau perbuatan tersebut yang berarti legitimasi darinya.

Sunah dalam pengertian ahli hadis adalah segala perkataan, perbuatan, takrir, sifat, keadaan, tabiat/watak, dan sirah (perjalanan hidup) Nabi Muhammad SAW, baik yang berkaitan dengan masalah hukum maupun tidak. Dalam pengertian ini, di samping perkataan (sunah qauliyah), perbuatan (sunah fi‘liyyah), dan takrir Nabi Muhammad SAW (sunah taqririyyah) termasuk juga sifat, keadaan, dan hasrat (himmah) Rasulullah SAW.

Sunah yang berkenaan dengan sifat Nabi Muhammad SAW, misalnya gambaran tentang sifat dan bentuk jasmaniah beliau yang dilukiskan oleh sahabat, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Anas bin Malik RA mengatakan bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang paras muka dan bentuk tubuhnya baik.

Beliau tidak jangkung (tinggi), tidak pula pendek (rendah). Sunah dalam pengertian ahli hadis ini kadang-kadang disebut hadis, kabar, atau atsar (hadis), meskipun sebagian dari mereka membedakan ketiganya.

Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad. Usul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Istanbul: al-Maktabah Isyiq, 1975.
al-Khatib, Muhammad ’Ujjaj. Usul al-Hadits ‘Ulumuh wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
as-Salih, Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, 1977.
as-Siba’i, Mustafa. as-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri‘ al-Islami. Beirut: Dar al-Qaumiyah, 1966.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Irsyad al-Fuhul. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Yahya, Mukhtar dan Fathurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: al-Ma‘arif, 1986.

A Hafizh Anshari A.Z.