Menurut syarak, sumpah berarti “menahkikkan sesuatu atau menguatkannya dengan menyebut nama Allah SWT atau sifat-Nya” (tahqiq al-amr au ta’kiduhu bi dzikr ismi Allah Ta‘ala au sifatin min sifatihi).
Secara etimologis, al-aiman berarti:
(1) pernyataan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan,
(2) pernyataan tekad melakukan sesuatu atau berani menanggung risiko kalau pernyataan itu tidak benar, dan
(3) ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Dalam bahasa Arab sumpah disebut al-aiman, al-half, al-ila’, dan al-qasam; disebut al-aiman (jamak dari al-yamin = tangan kanan) karena orang Arab di zaman Jahiliah saling berpegangan tangan kanan apabila bersumpah satu sama lain.
Kata al-yamin secara etimologis dikaitkan dengan tangan kanan, al-quwwah (kekuatan), dan al-qasam (sumpah). Dengan demikian, pengertian al-yamin merupakan perpaduan dari ketiga makna tersebut yang selanjutnya digunakan untuk bersumpah.
Ini dikaitkan dengan kekuatan (al-quwwah), karena orang yang ingin mengatakan atau menyatakan sesuatu dikukuhkan dengan sumpah sehingga pernyataan itu lebih kuat sebagaimana tangan kanan lebih kuat dari tangan kiri.
Lafal sumpah tersebut harus menggunakan huruf sumpah (al-qasam), yaitu waw, ba, dan ta, seperti wallahi (demi Allah), billahi (demi Allah), dan tallahi (demi Allah).
Bersumpah untuk suatu kepentingan tertentu disyariatkan dalam Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surah al-Baqarah (2) ayat 225 yang berarti:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”
Selain itu juga dalam surah al-MÎ’idah (5) ayat 89 yang berarti: “…dan jagalah sumpahmu….” Disamping itu, Rasulullah
SAW juga menyunahkan sumpah. Antara lain, dalam hadis riwayat Abu Dawud dikatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersumpah untuk memerangi orang Quraisy. Katanya, “Demi Allah, aku akan memerangi orang-orang Quraisy.” Ia mengatakan kalimat ini sebanyak tiga kali dan pada perkataan yang ketiga ia menambahkan kata “Insya’a Allah.”
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Nabi SAW bersumpah, “Demi Tuhan yang membolak-balikkan hati.” Pada saat yang lain ia bersumpah, “Demi Allah yang diriku berada di dalam kekuasaannya.”
Ulama berbeda pendapat tentang hukum bersumpah. Mazhab Maliki berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah jaiz. Hukumnya bisa menjadi sunah apabila dimaksudkan untuk menekankan suatu masalah keagamaan atau untuk mendorong orang melakukan sesuatu yang diperintahkan agama atau melarang orang berbuat sesuatu yang dilarang agama.
Jika hukum sumpah adalah mubah, maka melanggarnya pun mubah, tetapi harus membayar kafarat (denda), kecuali jika melakukan pelanggaran sumpah itu lebih baik. Misalnya, jika seseorang bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang wajib, sumpah itu wajib dilanggar. Demikian juga jika ia bersumpah akan melakukan sesuatu yang maksiat, sumpah itu wajib dilanggar.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung pada keadaannya, bisa wajib, haram, makruh, sunah, ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, seperti menyelamatkan orang dari bahaya, hukum bersumpah adalah wajib.
Sebaliknya, jika bersumpah untuk hal yang diharamkan, hukum bersumpah juga haram. Jika orang bersumpah untuk hal yang sunah dilakukan, hukum bersumpah juga sunah dan jika orang bersumpah untuk hal yang makruh, hukum bersumpah juga makruh. Demikian pula jika bersumpah untuk hal yang mubah, hukumnya juga mubah.
Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa hukum asal sumpah adalah makruh. Tetapi bisa saja hukumnya sunah (mandub), wajib, haram, atau mubah. Hal ini tergantung pada keadaannya.
Menurut Mazhab Hanafi, asal hukum bersumpah adalah jaiz, tetapi lebih baik tidak terlalu banyak melakukan sumpah. Jika seseorang bersumpah akan melakukan perbuatan maksiat, wajib ia melanggar sumpahnya.
Adapun jika ia bersumpah akan meninggalkan maksiat, ia wajib melakukan sesuai dengan sumpahnya. Demikian juga kalau ia bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan yang wajib, hukum menunaikan sumpah tersebut sesuai dengan keadaan yang disumpahkan itu.
Adapun sumpah itu ada tiga macam.
(1) Al-yamin al-lagwu, yakni sumpah yang diucapkan tanpa ada niat untuk bersumpah. Orang yang melanggar sumpah ini tidak berdosa dan tidak wajib membayar kafarat.
(2) Al-yamin al-mu‘aqqidah, yakni sumpah yang memang diniatkan untuk bersumpah. Sumpah semacam ini wajib dilaksanakan. Orang yang melanggar sumpah ini harus membayar kafarat.
(3) Al-yamin al-gamus, yakni sumpah dusta yang mengakibatkan hak orang tak terlindungi atau sumpah yang dimaksudkan untuk berbuat fasik dan khianat. Sumpah semacam ini ter-masuk salah satu bentuk dosa besar.
Menurut Sayid Sabiq, tokoh pembaru Islam, pelaku pelanggaran sumpah ini tidak wajib membayar kafarat, tetapi wajib bertobat. Namun, menurut Imam Syafi‘i dan salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), pelanggar sumpah ini wajib membayar kafarat.
Kafarat atas pelanggaran sumpah ada tiga macam, yaitu:
(1) memerdekakan budak,
(2) memberi makan sepuluh orang miskin (setiap orang satu mud [3/4 liter]), dan
(3) memberi pakaian sepuluh orang miskin, masing-masing satu lembar.
Pelanggar sumpah dapat memilih salah satu di antara tiga macam kafarat ini. Jika tidak sanggup melakukan satu pun dari ketiganya, ia boleh menggantinya dengan puasa selama 3 hari.
Sumpah akan sah apabila terpenuhi syaratnya, yaitu:
(1) menyebut nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya;
(2) sudah mukalaf;
(3) tidak terpaksa; dan
(4) sengaja (dengan niat untuk bersumpah).
Para fukaha (ahli fikih) sepakat memandang bahwa bersumpah dengan menyebut selain nama Allah SWT atau selain salah satu sifat-Nya adalah tidak sah, dan jika dilanggar mengakibatkan tidak dikenai sanksi hukum berupa kafarat. Rasulullah SAW melarang menyebut selain nama Allah SWT.
Sabdanya, “Janganlah kamu bersumpah dengan (nama) bapak-bapakmu atau dengan (menyebut nama) berhala-berhala” (HR. an-Nasa’i). Di dalam hadis lain ditegaskan, “Barangsiapa yang bersumpah dengan (menyebut nama) selain Allah, sesungguhnya ia telah syirik” (HR. Ahmad bin Hanbal).
Daftar Pustaka
al-Anshari, Abu Zakaria. Fath al-Wahhab. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Hisni, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini. Kifayah al-Akhyar. Bandung: Syarikah al-Ma‘arif, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
A Hafizh Anshari A.Z.