Sulaiman ar-Rasuli yang memiliki nama asli Sulaiman bin Rasul adalah ulama besar yang gigih mempertahankan paham Ahlusunah waljamaah dan Mazhab Syafi‘i, pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah, dan seorang pendiri Ittihadul Ulama Sumatra (Persatuan Ulama Sumatra) serta Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Ia juga disebut “Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli” dan “Inyik Candung” karena berasal dari Candung, sekitar 10 km sebelah timur Bukittinggi, Sumatera Barat.
Sulaiman ar-Rasuli menempuh pendidikan pertamanya di tempat kelahirannya. Ia belajar dari ayahnya, Angku Mudo Muhammad Rasul, seorang ulama di daerah tersebut. Ia juga berguru, antara lain, kepada Syekh Yahya al-Khalidi di Magek, Bukittinggi.
Pada 1930 ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di Tanah Suci selama beberapa tahun. Selama di Mekah ia menuntut ilmu pengetahuan dari beberapa orang guru, antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1334 H/1916 M).
Teman dekatnya selama belajar di Mekah adalah Syekh Abbas Ladang Lawas dari Bukittinggi (w. 1370 H/1950 M) dan Syekh Muhammad Jamil Jaho (w. 1360 H/1940 M). Sekembalinya dari Mekah, ketiga sahabat karib ini menjadi ulama terkemuka yang sanga gigih memperjuangkan paham Ahlusunah waljamaah dan Mazhab Syafi‘i. Mereka dikenal dengan sebutan “tali pilin tiga”.
Di Candung, Syekh Sulaiman ar-Rasuli mendirikan sebuah pesantren besar dan mendapat sambutan positif dari masyarakat. Muridnya cukup banyak, datang dari berbagai penjuru: Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli, Aceh, dan bahkan dari Malaysia.
Di pesantren inilah ia mulai memberikan pendidikan dan pengajaran paham Ahlusunah waljamaah dan Mazhab Syafi‘i. Ia sangat konsisten dengan aliran ini. Setiap murid yang telah merampungkan studinya diberi ijazah yang di dalamnya dicantumkan pernyataan bahwa pemegang ijazah tersebut harus menurut Mazhab Syafi‘i jika berfatwa.
Dalam ijazah itu juga dinyatakan bahwa ia tidak rela jika muridnya berfatwa atau menganut mazhab selain Syafi‘i. Di samping sebagai ulama, Syekh Sulaiman ar-Rasuli juga seorang politisi dan aktivis organisasi.
Pada 1921 ia bersama dengan dua teman dekatnya, Syekh Abbas dan Syekh Muhammad Jamil Jaho, serta sejumlah ulama Kaum Tua di Minangkabau, mendirikan organisasi yang diberi nama Ittihadul Ulama Sumatra.
Organisasi ini merupakan saingan organisasi Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) yang didirikan oleh Kaum Muda pada 1918 dan mendapat status badan hukum (rechtspersoon) pada 7 Juli 1920. Organisasi ini bertujuan untuk membela dan mengembangkan paham Ahlusunah waljamaah dan Mazhab Syafi‘i.
Ketua umum pertama adalah Syekh Abbas Ladang Lawas. Salah satu usaha yang dilakukan organisasi ini adalah menerbitkan majalah ar-Radd wa al-Mardud yang diasuh oleh KH Sirajuddin Abbas sebagai pemimpin redaksi dan H. Mustafa Salim bin Syekh Muhammad Salim sebagai redaktur.
Pada 5 Mei 1928, dalam suatu rapat yang diselenggarakan di rumah Syekh Sulaiman ar-Rasuli, dibentuk persatuan sekolah agama yang berpaham Ahlusunah wal jamaah. Rapat tersebut dihadiri oleh Syekh Abbas dan Syekh Muhammad Jamil Jaho serta sejumlah ulama yang tidak setuju dengan aliran pendidikan yang dikelola oleh Kaum Muda, seperti Madrasah Diniyah dan Sumatra Thawalib.
Madrasah yang tergabung di dalam organisasi ini dinamakan “Madrasah Tarbiyah Islamiyah”. Dalam perkembangan selanjutnya, organisasi ini diperluas dan namanya diubah menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Perubahan tersebut dilaksanakan pada 20 Mei 1930, dan pada tahun itu pula Perti mendapat pengakuan resmi dari pemerintah Hindia Belanda sebagai suatu badan hukum.
Madrasah yang bernaung di bawah organisasi ini cukup banyak, bertebaran di berbagai daerah, mulai dari Aceh sampai ke Lampung; bahkan ada juga di Sintang (Kalimantan Barat). Pada 1942 tercatat sekitar 300 sekolah Perti dengan jumlah murid sekitar 45.000 orang. Sekolah yang dikelolanya terdiri dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kegiatan Perti bertambah luas dengan pembangunan sejumlah masjid, rumah yatim piatu, klinik, dan rumah sakit. Yang terakhir ini dilakukan melalui Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi). Sejak 1945 pula Perti menjadi partai politik.
Sebagai tokoh Kaum Tua yang sangat kuat dan kukuh mempertahankan paham Ahlusunah waljamaah, ia sering berbeda pendapat dengan tokoh Kaum Muda. Namun ia dikenal cukup toleran dan menghargai pendapat orang lain. Karena itu, sekalipun tidak sepaham, Syekh Sulaiman ar-Rasuli bisa bekerjasama dengan pihak lain.
Salah seorang tokoh yang tidak sepaham dengannya adalah Dr. H. Abdul Karim Amrullah. Sering terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya, terutama tentang masalah Tarekat Naqsyabandiyah dan rukyat dalam menetapkan awal Ramadan, namun keduanya dapat bekerjasama, khususnya dalam menghadapi pemerintah Hindia Belanda.
Kedua tokoh ini sering memberikan ceramah bersama. Keduanya juga, bersama dengan Syekh Ibrahim Musa (ulama dan tokoh pembaru di Parabek, Bukittinggi), berjanji untuk membawa umat kepada persatuan.
Syekh Sulaiman ar-Rasuli menjadi anggota Konstituante hasil pemilu 1955. Sebagai anggota tertua, ia menjadi ketua sidang pertama Konstituante tersebut. Ia juga pernah menjabat sebagai ketua Majelis Islam Tinggi Sumatera yang berkedudukan di Bukittinggi dan menghadiri konferensi ulama Sumatera-Malaysia di Singapura pada zaman Jepang.
Ia juga menghasilkan sejumlah karya tulis yang bisa dinikmati oleh generasi sesudahnya. Karya tersebut adalah:
(1) Dau‘u as-Siraj fi al-Isra’ wa al-Mi‘raj (Kisah Isra dan Mikraj Nabi),
(2) Samarat al-Ihsan fi Wiladah Sayyid al-Ihsan (cerita tentang maulid Nabi),
(3) Dau‘u al-Qulub fi Qissah Yusuf wa Ya‘qub (Kisah Nabi Yusuf dan Ya’qub),
(4) Risalah al-Aqwal al-Wasithah fi adz-zikri wa ar-Rabithah (tasawuf),
(5) al-Qaul al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (ilmu tafsir),
(6) al-Jawahir al-Kalamiyyah (usuluddin),
(7) Sabil as-Salamah fo Wirdi Sayyid al-Ummah (doa),
(8) Kisah Muhammad Arif (tasawuf), dan
(9) Perdamaian Adat dengan Syarak.
Daftar pusaka
Abbas, Kyai Haji Sirajuddin. Tabaqat asy-Syafi‘iyah: Ulama Syafi‘i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad. Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1975.
HAMKA. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942), terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1985.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985.
Noorwahidah Haisy