Soekarno

(Surabaya, 6 Juni 1901 – Jakarta, 21 Juni 1970)

Soekarno adalah seorang tokoh politik, pejuang kemerdekaan, proklamator, dan presiden pertama Republik Indonesia. Ia pernah mengemukakan ideologi Nasakom, yakni penggabungan nasionalisme, agama, dan komunisme di Indonesia. Gagasan ini ternyata tidak berhasil karena ditolak keras umat Islam.

Soekarno adalah anak kedua dari pasangan Idayu Nyoman Ray dan R. Soekemi Sosrodihardjo. Idayu yang beragama Hindu berasal dari Bali, sedangkan Soekemi yang beragama Islam dan keturunan sultan Kediri dari Jawa Timur.

Soekemi adalah orang Jawa yang masih kental memegang nilai kebatinan, yang dalam kategori Clifford Geertz (antropolog Amerika Serikat) disebut abangan. Sejak kecil, Bung Karno –panggilan akrab Soekarno– terdidik dalam budaya Jawa.

Setelah lulus dari Europese Lagere School (ELS) di Mojokerto, Jawa Timur, Soekarno melanjutkan pendidikan formalnya ke Hogere Burger School (HBS) di Surabaya, Jawa Timur.

Selama studi di Surabaya itu, Soekarno tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto (1882–1934), politikus Jawa yang memimpin Sarekat Islam (SI). Di sini, ia aktif bertukar pikiran dengan Haji Agus Salim (1884–1954), dr. Tjipto Mangoenkoesoemo (1886–1943), Douwes Dekker (1820–1887), dan Muso (w. 1948).

Perkenalannya dengan Islam bermula ketika ia menetap di rumah HOS Tjokroaminoto. Di rumah itulah Soekarno menimba banyak ilmu tentang politik dan keagamaan (Islam), sambil ikut mendengarkan percakapan politik para aktivis SI dengan Tjokroaminoto.

Melalui Tjokroaminoto pula Bung Karno mengenal KH Ahmad Dahlan (1868–1923), tokoh nasional pendiri Muhammadiyah. Selain menimba ilmu politik Islam dari HOS Tjokroaminoto, Bung Karno juga menghabiskan waktu luangnya di perpustakaan yang dikelola perhimpunan teosofi.

Lewat buku berbahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris Bung Karno mengenal pemikiran Barat. Ketika melanjutkan pendidikannya ke Bandung, Bung Karno berkenalan dengan Ahmad Hassan, seorang tokoh Persatuan Islam (Persis) yang dikenal sebagai organisasi kemasyarakatan pembaruan Islam.

Perkenalannya dengan Ahmad Hassan itu menjadikan Bung Karno lebih terpikat mempelajari Islam. Bung Karno merasa cocok dengan Ahmad Hassan. Keduanya sama-sama progresif, anti bid’ah dan khurafat (takhayul).

Mereka sering kali terlibat dalam diskusi dan debat, terutama apabila pembicaraan mereka memasuki tema politik Islam, serta hubungan antara Islam dan negara. Ketika Bung Karno dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung, Ahmad Hassan pula satu-satunya ulama yang paling rajin menjenguknya, sekaligus memberikan buku bacaan.

Ketika diasingkan oleh penguasa Hindia Belanda ke Ende, Flores, Bung Karno tetap melanjutkan hubungannya dengan Ahmad Hassan melalui surat-menyurat. Dari sini muncul Surat-Surat Islam dari Endeh. Bung Karno membahas banyak hal, dari soal kejumudan sampai bagaimana membangkitkan gairah agar umat Islam tidak tertinggal dari bangsa lain.

Selain belajar Islam dari Ahmad Hassan, Bung Karno yang tidak bisa berbahasa Arab juga membaca buku Islam melalui literatur dan tafsir Al-Qur’an dari bahasa Barat yang ia kuasai. Ia pun mengenal Mirza Ghulam Ahmad (1835–1908), pendiri Ahmadiyah dari India. Buku dan tafsir Al-Qur’an keluaran Ahmadiyah juga dipelajarinya.

Dari Ende, Flores, Bung Karno dipindahkan ke sebuah penjara di Bengkulu. Di sinilah, pada tahun 1938 secara resmi Bung Karno menjadi anggota Muhammadiyah, karena ia merasa cocok dengan paham pembaruan Muhammadiyah. Ia lalu diangkat menjadi ketua Bagian Pengajaran Muhammadiyah untuk daerah Bengkulu.

Pemikiran Bung Karno pun terus meluncur, melalui berbagai surat kabar dan majalah, antara lain tulisan keislamannya yang dimuat di Panji Islam, Pemandangan, dan Almanak Muhammadiyah. Ketika di Bengkulu itulah Bung Karno terlibat polemik dengan A. Muchlis, nama samaran Mohammad Natsir (1908–1993), tokoh Islam dari Masyumi.

Polemik dengan Natsir menyangkut pemisahan negara dengan agama. Secara menggebu-gebu, Bung Karno mengatakan bahwa negara dan agama hendaknya dipisahkan. Ia melihat Turki dengan Kemal Ataturknya yang secara gemilang berhasil memisahkan agama dari negara. Adapun Natsir berpendapat sebaliknya: agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Perdebatan itu muncul pada 1940, yang berakhir dengan pendirian masing-masing.

Keislaman Bung Karno terlihat, antara lain, setiap kali memulai pidatonya, ia selalu memohon kepada Allah SWT, “Ini senjataku yang paling besar saudara-saudara,” katanya, sebagaimana dikisahkan ketika memberi amanat pada peringatan Maulid Nabi SAW di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada 6 Agustus 1963. Kata Bung Karno,

“Nah, ini orang tidak tahu, dikiranya Presiden Soekarno is a great orator, Presiden Soekarno adalah seorang ahli pidato yang besar. Tidak. Lidahku ini, saudara-saudara saya, tumpakan atas tauhid, atas kepercayaanku bahwa Allah SWT hanya satu, saudara-saudara. Bahwa Dia yang menentukan segala hal. Bahwa jikalau Dia meridai, saudara-saudara, kita punya perjuangan akan bisa berhasil, bahwa jikalau Dia meridai, aku bisa berpidato meskipun dalam bahasa Inggris yang grothal-grathul dapat menyemangatkan rakyat-rakyat lain.”

Sebagai seorang muslim, Bung Karno mempunyai perhatian yang tulus terhadap ajaran agama. Ia pernah mengkritik orang yang mendengarkan Al-Qur’an sambil bergoyang kaki. Bung Karno ketika memberikan amanat pada peringatan Nuzulul Qur’an di Istana Negara, pada 6 Maret 1961, berkata, “Nabi Muhammad SAW tiap-tiap kali mendapatkan wahyu gemetar, kok kita kadang-kadang mendengar Al-Qur’an itu sambil goyang kaki.”

Dari segi ritual muamalah, Bung Karno adalah seorang muslim yang baik. Sebagai politikus, proklamator kemerdekaan, dan presiden pertama RI, ia menganut paham pemisahan antara negara dan agama alias sekuler.

Bagaimana teologinya? Soekarno pernah menyebut dirinya sebagai panteismonoteis. Penegasan tentang ini disampaikannya tatkala menerima gelar doktor kehormatan dalam filsafat tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 1964 setahun menjelang meletusnya G-30-S/PKI (Gerakan 30 September/PKI).

Adapun ideologinya, pada 1941, Bung Karno dengan jujur mengatakan, “Aku adalah seorang nasionalis yang yak-in, seorang muslim yang yakin, seorang marxis yang yakin.”

Ideologi ini secara meyakinkan telah dipropagandakan oleh Bung Karno sejak 1926, ketika untuk pertama kali ia menulis artikel tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme-Komunisme (Nasakom). Ide ini terus digulirkan sampai ia menjadi presiden.

Ketika ia tidak puas dengan kinerja Konstituante untuk merumuskan dasar negara, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam pelaksanaannya, Bung Karno memaksakan diberlakukannya ide Nasakom.

Pada prakteknya, unsur nasionalis dan agama terpinggirkan, sedangkan orang komunis dengan cerdik memanfaatkan Bung Karno. Puncaknya adalah pecahnya G-30-S/PKI pada tahun 1965 yang mengakibatkan Bung Karno kehilangan jabatan, kursi kepresidenan, dan kemerdekaannya.

Bung Karno tampaknya ingin membuat sejarah dengan menggabungkan unsur agama dan komunisme-marxisme dalam satu bejana, meskipun agama dan komunisme-marxisme bagaikan air dan minyak, tidak mungkin menyatu dalam satu wadah.

Penggabungan nasionalisme, Islam, dan komunisme –yang diidentikkan dengan anti Tuhan– jelas-jelas tidak diterima dan ditolak keras oleh umat Islam dan sejarah telah membuktikan bahwa paham tersebut tidak berhasil di Indonesia.

Daftar Pustaka
Adam, Cindy. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Ma’arif, A. Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Mohammad, Herry. “Pengamal Minus Ideologi Islam”, Gatra edisi khusus, 9 Juni 2001.
Mortimer, Rex. Indonesian Communism Under Soekarno. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1974.
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Gunung Agung, 1965.
Suhelmi, Ahmad. Polemik Negara Islam: Soekarno versus Natsir. Jakarta: Teraju, 2002.
Yatim, Badri. Dr. Soekarno, Islam dan Nasionalisme. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Herry Mohammad