Siyasah Syar‘iyyah

Siyasah syar‘iyyah terdiri dari dua kata: siyasah (mengatur) dan syar‘iyyah (syarak). Dalam terminologi Islam, istilah ini berarti “wewenang penguasa pemerintahan Islam untuk mengatur kepentingan umum berdasarkan syarak”.

Dalam fikih, istilah ini berarti “pembentukan hukum dengan tujuan kepentingan umum” (maqashid asy-syari’ah). Prinsip dan tujuan dari kedua makna tersebut adalah kemaslahatan umat.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf (ahli fikih Universitas Cairo), siyasah syar‘iyyah adalah wewenang penguasa dalam negara Islam untuk mengatur kepentingan umum berdasarkan syarak dan kaidah umum yang berlaku.

Hal ini bertujuan agar rakyat memperoleh kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan, sekalipun upaya tersebut tidak sejalan dengan ijtihad ulama. Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah segala peraturan dan perundang-­undangan negara, baik yang berkaitan dengan urusan dalam negeri maupun hubungan luar negeri.

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691 H/1292 M–751 H/1352 M), meskipun tidak ada wahyu dan hadis yang mengatur hal tentang pemberian wewenang tersebut, penguasa berhak melakukannya selama tidak bertentangan dengan prinsip umum syariat Islam.

Kajian terhadap siyasah syar‘iyyah meliputi tiga aspek utama:

(1) dusturiyyah (tata negara), meliputi aturan pemerintahan, prinsip dasar yang berkaitan dengan pendirian suatu pemerintahan, serta aturan yang berkaitan dengan hak pribadi, masyarakat, dan negara;

(2) kharijiyyah (luar negeri), meliputi hubungan antarnegara, kaidah yang melandasi hubungan ini, dan tata aturan tentang keadaan perang dan damai; dan

(3) maliyyah (harta), meliputi sumber keuangan dan belanja negara.

Dalam siyasah syar‘iyyah dikenal tiga lembaga kekuasaan, yaitu: as-sulthah at-tasyri‘iyyah (pembuat undang-undang/ legislatif), as-sulthah at-tanfiziyyah (pemerintahan/eksekutif), dan as-sulthah al-qadza’iyyah (kekuasaan kehakiman/ yudikatif).

Menurut Muhammad Abduh (1849–1905) dan Muhammad Rasyid Rida (1865–1935), keduanya tokoh pembaru dari Mesir, lembaga legislatif harus melibatkan banyak pihak (misalnya, ekonom, pengusaha, militer, cendekiawan, dan rakyat) untuk memikirkan kebijakan yang akan diambil dan dijalankan pihak penguasa, karena urusan negara mencakup seluruh persoalan umat.

Siyasah syar‘iyyah muncul karena semakin bertambahnya kebutuhan akan perangkat negara. Hal semacam ini belum dilakukan pada masa awal Islam, begitu pula pada masa Rasulullah SAW.

Saat itu, kekuasaan dengan segala aspeknya masih dipegang Rasulullah SAW karena sumber peraturan pada masa itu muncul dari Rasulullah SAW sendiri, baik yang bersifat wahyu maupun sunah.

Namun, untuk keadaan dan masalah tertentu Rasulullah SAW pernah mendelegasi kannya kepada para sahabat. Misalnya, untuk memimpin suatu daerah setingkat propinsi, Rasulullah SAW menunjuk seorang amir sebagai wakilnya.

Dalam soal peradilan, Rasulullah SAW pernah mendelegasikannya kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, Usaid bin Atid, dan Muhammad bin Salamah. Pembagian kekuasaan baru muncul pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

Beberapa riwayat menunjukkan bahwa Umar menyerahkan kekuasaan yudikatif kepada beberapa sahabat, seperti Abu Musa al-Asy‘ari sebagai kadi di Kufah dan Syuraih bin Amir sebagai kadi di Basrah.

Pada zaman al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar), yang menjadi acuan dalam menjalankan ketiga kekuasaan tersebut adalah Al-Qur’an dan sunah. Akan tetapi, jika kedua sumber itu tidak memuat secara tegas persoalan yang dihadapi, para sahabat melakukan ijtihad melalui kias atau melakukan ijtihad bersama.

Pada zaman Dinasti Umayah, pembagian kekuasaan ini semakin jelas, karena Mu‘awiyah bin Abu Sufyan telah membuat pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Badan legislatif diserahkan sepenuhnya kepada ulama dan persoalan pemerintahan diserahkan kepada penguasa.

Sejak saat itu dimulai pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Meskipun sudah ada pembagian tugas melalui badan tersebut, sumber hukumnya masih merujuk pada Al-Qur’an dan sunah, atau hasil ijtihad para sahabat.

Masalah sumber hukum muncul pada masa akhir pemerintahan Umayah. Hal ini terjadi karena banyaknya fatwa mujtahid dan mulai munculnya mazhab di setiap kota. Misalnya, di Irak muncul Mazhab Ibnu Mas‘ud.

Di Madinah dan Mekah, orang berpegang pada ijtihad Ibnu Abbas dan Sa‘id bin Musayyab. Sejak saat itu hubungan ketiga kekuasaan tersebut mulai tidak lancar. Keadaan seperti ini berlanjut terus sampai zaman Abbasiyah dan Dinasti Usmani (Ottoman).

Sesuai dengan perkembangan zaman, kebutuhanakan perangkat negara semakin hari semakin bertambah. Pada masa Umar bin Khattab telah dikenal adanya polisi, sekretaris di pengadilan (panitera), dan perangkat peradilan lainnya.

Di zaman Abbasiyah mulai dikenal jabatan ketua Mahkamah Agung. Jabatan ini pertama kali dipegang oleh Imam Abu Yusuf (113 H/731 M–182 H/798 M), seorang ahli fikih dan sahabat Imam Hanafi. Selain itu, pada masa ini juga dikenal jabatan perdana menteri (ra’is al-wuzara’).

Daftar Pustaka

ad-Duraini, Fathi. Khasa’is at-Tasyri‘ al-Islami fi as-Siyasah wa al-Hukm. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1982.
Ibnu Taimiyah. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘yah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. ath-Turuq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: Mu’assasah al-‘Arabiyyah li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, 1961.
Khalaf, Abdul Wahhab. as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Kuwait: Dar al-Qalam, 1978.
al-Mawardi. al-Ahkam as-Sulthaniyyah fi as-Siyasah asy-Syar‘iyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.

Nasrun Haroen