Silsilah adz-dzahab secara kebahasaan berarti “untaian emas”. Dalam ilmu hadis, istilah silsilah adz-dzahab digunakan ketika membicarakan sanad (para penutur hadis) dari perawi sampai kepada Rasulullah SAW. Silsilah adz-dzahab sering juga disebut asahh al-asanid (sanad yang paling sahih).
Para ahli hadis berpendapat bahwa silsilah adz-dzahab atau asahh al-asanid adalah urutan para penutur hadis berdasarkan tingkat kesahihan hadis yang dirawikannya. Hadis sahih mempunyai tingkatan sesuai dengan kualitas persyaratan hadis sahih itu sendiri.
Ada ulama hadis yang menyatakan bahwa jika satu hadis disampaikan penutur tertentu, hadis itu secara mutlak mereka anggap sebagai yang paling sahih dan paling berhak untuk dijadikan landasan hukum.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), sanad hadis yang paling sahih diawali dari az-Zuhri dari Salim dari ayahnya; menurut Ali bin al-Madini (kritikus hadis), dari Muhammad bin Sirin dari Ubaidah dari Ali bin Abi Thalib; menurut Yahya Ibnu Ma‘in (pakar hadis), dari al-A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah bin Mas‘ud; menurut Abu Bakar bin Abi Syaibah (kritikus hadis), dari az-Zuhri dari Ali bin Husein dari Husein bin Ali dari Ali bin Abi Thalib; dan menurut Imam Bukhari yang dikenal sebagai penyusun hadis sahih, dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Dikatakannya, ada juga yang menambahkan nama Syafi‘i sebelum Malik.
Di samping itu, ada juga ulama hadis yang mengemukakan syarat tertentu dalam menetapkan sanad hadis yang paling sahih, seperti asal para rawi atau sahabat tertentu. Jika dilihat dari asalnya, ada yang mendahulukan penduduk Madinah atau Mekah daripada negeri lainnya dan ada pula yang menyamakan kedudukan Madinah dengan Mekah dalam merawikan hadis yang paling sahih.
Menurut Ibnu Taimiyah (611 H/1263 M–728 H/1328 M), hadis yang paling sahih adalah yang diriwayatkan penduduk Madinah, kemudian penduduk Basrah (Irak), dan penduduk Suriah. Imam Syafi‘i mengatakan bahwa sebuah hadis yang diriwayatkan ahli hadis dari Irak, tetapi tidak diriwayatkan ahli hadis dari Hijaz (Mekah dan Madinah), tidak dapat diterima.
Muhammad Adib Salih, guru besar hadis di Universitas Damascus, Suriah, mengatakan bahwa jika dilihat dari segi sahabat yang meriwayatkan hadis, sejumlah sanad hadis yang paling sahih adalah sebagai berikut.
(1) Ahlulbait (keluarga Nabi SAW): dari Ja‘far bin Muhammad bin Ali bin Husein dari Husein dari Ali bin Abi Thalib;
(2) Abu Bakar as-Siddiq: dari Ismail bin Abi Khalid dari Qays bin Abi Hazim dari Abu Bakar as-Siddiq;
(3) Umar bin Khattab: dari az-Zuhri dari Salim dari Ibnu Umar dari Umar bin Khattab;
(4) Aisyah binti Abu Bakar: dari Ubaidillah bin Umar dari al-Qasim dari Aisyah;
(5) Abu Hurairah: dari az-Zuhri dari Sa‘id bin Musayyab dari Abu Hurairah;
(6) Abdullah bin Umar bin Khattab: dari Malik dari Nafi‘ dari Ibnu Umar dan az-Zuhri dari Salim dari ayahnya dari Ibnu Umar;
(7) Abdullah bin Amr bin As: dari Amr bin Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya; dan
(8) Anas bin Malik: dari az-Zuhri dari Anas bin Malik.
Silsilah adz-dzahab atau asahh al-asanid ini dikemukakan ahli hadis dalam rangka memelihara hadis itu sendiri dan menunjukkan bahwa penelitian terhadap sebuah hadis harus dilakukan secara cermat. Penentuan sanad yang paling sahih terkait erat dengan kualitas keadilan, kekuatan hafalan, pengetahuan, dan kemasyhuran/kepopuleran seorang perawi.
Istilah asahh al-asanid perlu dibedakan dari istilah asahh syay’ fi al-bab atau asahh al-hadits fi al-bab. Dua istilah yang disebutkan terakhir ini tidak mengandung pengertian bahwa hadis atau sanad hadis itu yang paling sahih, tetapi hanya menunjukkan bahwa dalam masalah yang dibahas hanya hadis itu yang sahih.
Meskipun ulama sepakat bahwa suatu hadis telah memenuhi kriteria sahih, penilaian mereka dalam menerapkan syarat yang disepakati itu bisa berbeda. Jika seorang ulama hadis mengatakan bahwa hadis itu paling sahih dalam masalah tersebut, ahli hadis lain mungkin saja mengajukan hadis yang berbeda.
Demikian juga halnya dengan istilah silsilah adz-dzahab atau asahh al-assnid. Walaupun para ahli hadis sepakat dalam kriteria, dalam penerapannya mereka dapat berbeda pendapat.
Misalnya, para ahli hadis Yaman akan mengatakan bahwa sanad paling sahih adalah dari jalur Abu Hurairah, karena ia berasal dari Yaman. Hakim an-Naisaburi (321 H/933 M–405 H/1014 M) mencoba mengkompromikan perbedaan itu setelah melakukan penelitian yang cermat.
Ia mengatakan bahwa perlu dibuat pembedaan antara pembicaraan yang menyangkut pribadi perawi dan asalnya. Menurutnya, untuk keduanya harus tetap dipertimbangkan syarat yang menyangkut sanad, seperti perawinya dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya, ingatannya kuat, dan perawinya kon-sisten dengan agamanya.
Dalam bukunya Ma‘rifah fi ‘Ulum al-Hadit (Mengetahui Ilmu Hadis), Hakim an-Naisaburi memerinci sanad yang paling sahih sebagai berikut:
(1) ahli hadis Mekah: jalur Sufyan bin Uyainah dari Amr bin Dinar dari Jabir bin Abdullah;
(2) ahli hadis Yaman: jalur Ma‘mar dari Humam bin Munabbih dari Abu Hurairah;
(3) ahli hadis Mesir: jalur al-Lais bin Sa‘ad dari Yazid bin Abi Habib dari Abi al-Khayr dari Uqbah bin Amir al-Juhani;
(4) ahli hadis Suriah: jalur Abdurrahman al-Auza‘i dari Hassan bin Atiyah dari salah seorang sahabat; dan
(5) ahli hadis Khurasan: dari jalur al-Husain bin al-Waqid dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya.
Dalam teorinya, masalah pribadi dan asal perawi dapat diatasi, sehingga tidak perlu muncul perbedaan pendapat ulama hadis karena fanatisme terhadap pribadi atau asal negeri tertentu.
Daftar Pustaka
al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. al-Manar al-Munif fi as-Sahih wa adh-dha‘if. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
an-Naisaburi, al-Hakim. Ma‘rifah fi ‘Ulum al-Hadits. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Qawa‘id at-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1987.
Salih, Muhammad Adib. Lamhat fi Ushul al-Hadits. Damascus: al-Maktab al-Islami, 1983.
Nasrun Haroen