Sihir adalah perbuatan ajaib yang dilakukan dengan pesona dan kekuatan gaib (guna-guna, mantra, atau jampi) yang digunakan untuk untuk tujuan tertentu, seperti penangkal untuk menolak bala dan penyakit.
Terdapat bermacam-macam sihir: ada yang dilakukan dengan menggunakan mantra, dengan menggunakan benda tertentu, dan bahkan tidak jarang dengan mempersembahkan sajian.
Bahasa yang indah dikatakan bahasa yang mempunyai daya pesona karena ada kesamaan pesonanya dengan sihir. Hal ini terlihat dalam hadis riwayat Bukhari yang berarti: “Sesungguhnya di antara bahasa yang indah itu adalah sihir (pesona).” Adanya sihir diakui oleh Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 51, yang berarti:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi dari bagian Alkitab? Mereka percaya kepada al-jibt dan ath-Thagut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.”
Menurut Umar bin Khattab, yang dimaksud dengan al-jibt dalam ayat ini adalah sihir dan yang dimaksud dengan ath-Thagut adalah setan. Al-Qur’an juga menjelaskan hal itu dalam pembicaraan antara Musa AS dan tukang sihir, yang berarti:
“Ahli-ahli sihir berkata, ‘Hai Musa, kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu ataukah kami yang akan melemparkan?’ Musa menjawab, ‘Lemparkanlah (lebih dahulu)!’ Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan). Dan Kami wahyukan kepada Musa, ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan” (QS.7:115–117).
Karena sihir itu adalah perbuatan secara sembunyi-sembunyi dan tak dapat diketahui orang banyak dan berbahaya bagi orang yang dituju, Allah SWT memerintahkan manusia berlindung kepada-Nya dari perbuatan tukang-tukang sihir itu:
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang mengembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki’” (QS.113:1–5).
Melakukan sihir adalah haram karena perbuatan sihir itu sendiri mengandung kemusyrikan dan di dalamnya terdapat pelanggaran akidah dan adanya campur tangan setan. Tingkat keharaman sihir amat berat karena termasuk salah satu dosa besar.
Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah olehmu tujuh dosa besar. Para sahabat (yang mendengar) bertanya, ‘Apakah tujuh dosa besar itu, ya Rasulullah?’ Rasulullah menjawab, ‘Syirik, sihir, membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan jalan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dalam peperangan melawan kafir, dan menghukum pidana wanita-wanita mukmin yang suci’” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Di dalam hadis lain tukang sihir digolongkan dalam kelompok orang musyrik. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa membuhul tali dan meniupnya berarti ia telah melakukan sihir, barangsiapa yang melakukan sihir berarti ia telah syirik” (HR. an-Nasa’i dari Abu Hurairah).
Menurut Syekh Rajab bin Ahmad, ahli ilmu kalam, tukang sihir disebut musyrik karena ia meyakini bahwa perbuatannya itu betul-betul memberi kesan pada orang yang disihirnya tanpa campur tangan Tuhan. Dengan demikian berarti ia telah menyekutukan Allah SWT dalam kekuasaan-Nya.
Syekh Muhammad al-Barkawi (ahli ilmu kalam) menganggap kafir orang yang meyakini bahwa sihir itu memberi kesan terhadap orang yang disihirnya. Akan tetapi orang yang melakukan sihir hanya untuk uji coba, tanpa meyakini kesan sihir tersebut, dianggap oleh Abu Said al-Khadimi (ahli ilmu kalam) belum sampai ke derajat kafir.
Mengenai sanksi hukum terhadap orang yang melakukan sihir, Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis: “hadd (hukuman) bagi orang yang melakukan sihir adalah dipukul dengan pedang” (HR. at-Tirmizi). Sahabat yang bernama Jabalah RA menerangkan perbuatan Umar bin Khattab, dengan berkata,
“Umar telah menulis surat: Hendaklah kamu membunuh setiap tukang sihir laki-laki dan perempuan. Kata Jabalah pula: Maka kami pun membunuh tiga orang tukang sihir” (HR. al-Bukhari).
Hadis dan asar ini secara umum menjelaskan bahwa sanksi hukum bagi orang yang melakukan sihir adalah dibunuh. Meskipun demikian, jika orang tersebut mengakui perbuatannya dan bertobat dari perbuatan tersebut, menurut al-Khadimi, ia tidak dibunuh dan tobatnya diterima. Akan tetapi jika ia mengingkari perbuatan sihirnya, ia dibunuh dan tobatnya tidak diterima.
Al-Ghazali dalam menjelaskan pengelompokan ilmu memandang bahwa ilmu sihir termasuk kelompok ilmu yang tercela, karena ilmu sihir itu memberi mudarat (kerugian) kepada tukang sihir itu sendiri dan orang yang disihirnya.
Pada dasarnya, sihir sebagai ilmu tidaklah tercela, tetapi karena akibatnya memberi mudarat, maka jadi tercela. Oleh sebab itu, orang yang mempelajari sihir hanya untuk ingin tahu, bukan untuk dipraktekkan, pada mulanya tidaklah tercela. Namun karena merupakan wasilah (perantara) kepada kejahatan, sihir menjadi ilmu yang buruk, tercela, dan tidak boleh dipelajari.
Daftar Pustaka:
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Ibnu Abdurrahman, Hasan. Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid. t.tp.: Mu’assasah an-Nur, 1966.
Ibnu Rajab, Ahmad. al-Wasilah al-Ahmadiyyah wa adz-Tari‘ah as-Sarmadiyyah fi Syarh at-Tariqah al-Muhammadiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1348 H/1929 M.
al-Juwaini, Imam al-Haramain. Kitab al-Irsyad ila Qawati‘ al-Adillah fi Ushul al-I‘tiqad. Cairo: Maktabah al-Khaniji, 1950.
al-Wahhab, Muhammad bin Abdul. Majma‘ah at-Tauhid. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
Yunasril Ali